TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Mencapai Derajat Magister (S-2)
Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai
Oleh
STEFANUS STANIS
K4A003013
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2 0 0 5
PENGESAHAN
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT MELALUI
PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN LEMBATA
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
NAMA PENULIS : STEFANUS STANIS
N I M : K4AOO3013
Tesis telah disetujui :
Tanggal : 14 Desember 2005
Pembimbing I, Pembimbing II,
(Prof. Dr. Ir. Supriharyono, MS) (Dr. Ir. Azis Nur Bambang, MS)
Ketua Program Studi
Magister Manajemen Sumberdaya Pantai,
(Prof. Dr. Ir. Sutrisno Anggoro, MS)
PENGESAHAN
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT MELALUI
PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN LEMBATA
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Dipersiapkan dan disusun oleh:
STEFANUS STANIS
K4AOO3013
Tesis telah dipertahankan di depan Tim Penguji
Tanggal : 16 Desember 2005
Ketua Tim Penguji, Penguji
I,
(Prof. Dr. Ir. Supriharyono, MS) (Prof.
Dr. Ir. Sutrisno Anggoro, MS)
Sekretaris Tim Penguji, Penguji
II,
(Dr. Ir. Azis Nur Bambang, MS) (Ir. B. Argo Wibowo, M.Si)
Ketua Program Studi
Magister Manajemen Sumberdaya Pantai,
(Prof. Dr. Ir. Sutrisno Anggoro, MS)
”Karya ini kupersembahkan bagi
orang-orang yang kucintai dan berjasa”
Istriku tercinta Florentina Yasinta Sepe ,buah hatikuku yang tersayang
Euprasiane Griseldis Beting, Margreth Ernestin Linati, Rafaela Wihelmina Dhana,
dan Yonanes Bendito Mitang yang senantiasa tabah dalam untung dan malang
melalui doa dan harapan serta dorongan yang tak ternilai harganya.
”Ayah dan Ibuku terkasih Martinus Mitan (Almahrum) dan Bernadetha Balik, Mertuaku
terkasih Bapak Rafael Lama (Almahrum) dan Mama Imelda Dhana yang menabur benih
kasih dan kebaikan kepadaku” Kakak dan adikku Simus Mitang, Nurak Sensi, Linus,
Anas Sei, P. Maxi Manu SVD, Rm. Nyus Wangga Pr, German, Fince, Marsel, Nurak
Ade, Ima, Albin, dan Blas, yang dengan caranya sendiri-sendiri telah membantu
dan mendukungku.
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang karena atas, bimbinganNya,
maka kegiatan seluruh proses penulisan Tesis dengan Judul “Pengelolaan Sumber
Daya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata
Propinsi Nusa Tenggara Timur” dapat Penulis menyelesaikannya dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dan menganalisis masalah
pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Lembata dan pemanfaatan kekayaan kearifan
lokal sebagai salah satu strategi yang dapat membantu suksesnya pengelolaan
sumberdaya pesisir.
Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan
dan perhatian dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini, penulis
dengan ikhlas menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Direktur Program Pascasarjana Universitas Diponegoro yang telah
memberikan kesempatan dan menerima penulis untuk menuntut ilmu pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Semarang.
2. Pimpinan Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus Kupang yang telah membantu
dan mendukung penulis baik moril, materil maupun finansial sejak dari proses
testing, matrikulasi, proses perkuliahan, penelitian sampai selesainya
penulisan tesis ini.
3. Rektor Universitas Katolik Widya Mandira Kupang yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Studi Magister
Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Sutrisno Anggoro, MS, dan Ir. Asriyanto, DFG, MS
sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai
Universitas Diponegoro, yang telah mendorong, menuntun dan memberikan
kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Supriharyono, MS, selaku Pembimbing Utama yang
dengan setia dan rela meluangkan waktu dan pikiran guna memberikan arahan dan
pemikiran-pemikiran yang konstruktif dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
6. Bapak Dr. Ir. Azis Nurbambang, MS, selaku Pembimbing II, yang juga
dengan setia dan rela meluangkan waktu dan pikiran guna memberikan arahan dan
pikiran yang konstruktif dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.
7. Bapak Prof. Dr. Sutrisno Anggoro dan Ir. Argo Wibowo, M.Si sebagai Tim
Penguji yang telah merelakan waktu dan kesempatan serta memberikan masukan dan
saran-saran perbaikan dalam penyempurnaan tesis ini.
8. Bapak Bupati Kabupaten Lembata bersama seluruh staf dinas dan instnasi,
para camat dan kepala desa bersama staf di lokasi penelitian, yang telah
mendukung peneliti melalui proses perijinan dan dukungan data-data serta
bersedia menjadi nara sumber penelitian ini.
9. Tokoh-tokoh kunci dan Tokoh Masyarakat Desa Pantai Harapan, Wulandoni,
Lamalera B, Balawuring, Lebewala, Wailolong, Watodiri, Lamatokan dan Desa
Dulitukan, sebagai nara sumber yang telah membantu penulis dalam memberikan
informasi data yang berkaitan dengan kearifan, tradisi, adapt istiadat pada
masing-masing desa.
10. Bapak dan Ibu Dosen Staf Pengajar dan Staf Tata Usaha pada Program
Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro, yang telah
memberi dorongan dan membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan dan
informasi ilmiah dan membantu melayani kebutuhan-kebutuhan adaministrasi.
11. Rekan-rekan seangkatan yang tak dapat penulis menyebutkan satu persatu
yang dengan caranya sendiri telah memberikan bantuan dan dorongan kepada
penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, baik dari segi isi
maupun teknis penulisan, oleh karena itu dengan rendah hati penulis bersedia
menerima sumbangan pemikiran dalam rangka penyempurnaan. Atas kerelaan semua pihak
dalam memberikan saran-saran perbaikan penulis menyampaikan banyak terima
kasih.
Semarang, Desember 2005
Penulis
ABSTRAK
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT MELALUI
PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN LEMBATA
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Oleh
Stefanus Stanis
Sumberdaya pesisir dan laut dewasa ini mengalami degradasi sebagai akibat
dari perilaku pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Pemanfaatan cenderung
bersifat destruktif dan merusak, serta tidak mempertimbangkan aspek konservasi
dan keberlanjutan sumberdaya. Masyarakat memegang peranan penting, karena itu
pengelolaan dengan berbasis pemberdayaan sumberdaya lokal. Tradisi dan hukum
adat yang mempunyai kaitan dan bermanfaat terhadap upaya pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik
pengambilan sampel secara purposive pada narasumber dan tokoh-tokoh kunci.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi lestari penangkapan 12.813
ton/thn dan rata-rata produksi penangkapan selama lima tahun untuk ikan pelagis
sebesar 91,56% dan ikan pelagis sebsar 40,92%, serta tingkat pemanfaatan baru
mencapai 19,88%. Potensi dan luas areal budidaya sebesar 886 Ha, dengan tingkat
pemanfaatan 180 Ha (20,32%).
Nilai kearifan lokal yang mempunyai peranan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
adalah Badu, Muro, Kolo Umen Bale Lamaq, Poan Kemer Puru Larang, Toto, Bito Berue,
Lepa Nua Dewe, Bruhu Bito dan Leffa Nuang. Ketaatan masyarakat terhadap nilai kearifan
lokal sangat tinggi, karena mereka memiliki kesadaran dan persepsi bahwa
eksistensi kehidupan mereka tidak terlepas dengan eksistensi kehidupan makhluk
lainnya dalam kebersamaan di bumi yang satu dan sama ini.
Kata-kata kunci: Pengelolaan, Pemberdayaan, Kearifan Lokal, dan Sumberdaya
Pesisir
ABSTRACT
COASTAL RESOURCES MANAGEMENT AND SEA BY EMPOWERING
THE COMMUNAL WISDOM IN LEMBATA REGENCY,
EAST NUSA TENGGARA PROVINCE
By
Stefanus Stanis
The coastal and marine resources nowadays are degrading as the result of
the behavior in exploiting them neglecting the essence of environmental
aspects. The exploitation tends to be destructive without considering the conservation
aspects and resources sustainability. The communities play important role,
therefore, the management based on the communal wisdom is one of the essential
things. Traditions, and traditional laws which relevant and potential for the
efforts of coastal and marine resources in Lembata Regency, East Nusa Tenggara
Province.
The method used in this research is a descriptive method in which the
technique of
sampling taken conducted in purposive way towards the key persons.
The results of this research shows that fishing potential catch is 12.813
tone/year and the average production catch during the last five years for
pelagis fish 91,56% and demersal fish 40,92%, while the target of exploitation
only reach 19,88%. The potential and width of marine culture area cover 886 ha,
with the potential reaches only 180 ha (20,32%).
The value of Communal Wisdom plays important role in managing the coastal resources
include Badu, Muro, Kolo Umen Bale Lamaq, Poan Kemer Puru Larang, Toto, Bito
Berue, Lepa Nua Dewe, Bruhu Bito dan Leffa Nuang. The obedience of communities
on the communal wisdom is very uprooted as they realize and think that their
life existence can not be separated from the other living beings (creatures)
that share the same world.
Key Words: Management, Empowerment, Communal Wisdom and Coastal Resources.
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Sumberdaya alam pesisir dan laut, dewasa ini sudah semakin disadari banyak
orang bahwa sumberdaya ini merupakan suatu potensi yang cukup menjanjikan dalam
mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Konsekuensi
logis dari sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common
property) dan terbuka untuk umum (open acces) maka pemanfaatan sumberdaya alam
pesisir dan laut dewasa ini semakin meningkat di hampir semua wilayah.
Seiring dengan meningkatnya usaha penangkapan dalam memenuhi kebutuhan pangan
baik bagi masyarakat di sekitarnya maupun terhadap permintaan pasar antar pulau
dalam negeri dan luar negeri. Ghofar (2004), mengatakan bahwa perkembangan
eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir dewasa ini (penangkapan, budidaya,
dan ekstraksi bahan-bahan untuk keperluan medis) telah menjadi suatu bidang
kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar (market driven) terutama
jenis-jenis yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mendorong eksploitasi
sumberdaya alam laut dan pesisir dalam skala dan intensitas yang cukup besar.
Sebagai akibatnya pemanfaatannya cenderung melebihi daya dukung sumberdaya (over
eksploitation) dan bersifat destruktif. Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan
jumlah armada penangkapan, penggunaan alat dan teknik serta teknologi
penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Disamping itu berbagai aktivitas manusia
baik di wilayah pesisir dan laut serta kegiatan di daratan (upland) yang juga
dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan. Kondisi ini menimbulkan tekanan
lingkungan bahkan cenderung merusak sumberdaya alam pesisir dan laut yang
cenderung meningkat intensitasnya dari waktu ke waktu, sehingga pada akhirnya
menimbulkan menurunnya daya dukung sumberdaya dan dalam jangka panjang akan
mengakibatkan suatu tragedi bersama (open tragedy).
Namun demikian, hingga saat ini tingkat pemanfaatan sumberdaya pesisir
masih
jauh dari tingkat optimal dan berkelanjutan, sehingga diperlukan upaya yang
secara terus menerus dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan yang lebih
optimal. Kondisi ini umumnya terjadi karena:
a. Kebijakan nasional cenderung bias pada sektor pertanian di luar
perikanan laut, dimana propgram-program pengamanan penyediaan bahan pangan bagi
masyarakat memberi bobot yang sangat kecil, bahkan dapat dikatakan mengabaikan
sumberdaya pesisir dan perikanan. Prioritas kebijakan ekonomi pemerintah
agaknya juga bias pada ekonomi daratan, dimana sektor-sektor yang terkait
dengan pesisir belum menjadi prioritas utama untuk ditumbuh kembangkan secara
optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan memberikan kontribusi
yang signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional.
b. Faktor kedua adalah pembangunan produksi perikanan didominasi oleh
penerapan usaha efisiensi penangkapan dan penerapan teknologi, dibanding
pendekatan yang mempromosikan cara-cara pemanfaatan dan pengelolaan yang
berkelanjutan. Akibatnya, kebijakan maupun program yang diselenggarakan kurang
komprehensif menjangkau isu-isu seperti kemiskinan, pengamanan penyediaan
pangan bagi masyarakat, berkelanjutan, dan kesesuaian usaha tersebut terhadap
kemampuan lingkungan.
c. Ketiga, kerusakan ekosistem sumberdaya pesisir di Indonesia pada umumnya
terjadi karena kesadaran publik yang masih rendah. Disatu sisi karena
pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal, belum banyak menyadari
wewenang dan tanggung jawab mereka dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Selain
itu, isu-isu pesisir belum menjadi prioritas pemerintah maupun masyarakat umum
dibanding pengelolaan sektor daratan seperti pertanian dan kehutanan.
Kekurangan dalam mengintegrasikan kekayaan lokal (setempat) juga
menyebabkan kegagalalan dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam pesisir. Di
banyak tempat/daerah di Indonesia
terdapat kebiasaan adat istiadat yang selalu dan terus menjunjung tinggi
nilai-nilai kearifan lokal/tradisional dan ternyata cocok dan efektif dalam
menjaga keberlangsungan kehidupan sumberdaya alam pesisir.
Kebijakan pengembangan kawasan pesisir yang dilaksanakan selama ini sering bersifat
parsial dan berpola “top-down”, sehingga sering kali kurang atau bahkan tidak mencerminkan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal, tidak berpola “bottom-up”, sedang
dalam implementasinya kurang mendayagunakan potensi yang ada secara optimal termasuk
nilai-nilai atau kearifan lokal.
Sejalan dengan otonomi daerah yang diiringi dengan menguatnya tuntutan demokratisasi
dan peningkatan peranan masyarakat (stakeholders), pemerataan dan keadilan serta
perhatian terhadap potensi dan keanekaragaman daerah, maka proses pengembangan kawasan
pesisir dan laut hendaknya disusun dalam bingkai pendekatan integralistik yang sinergistik
dan harmonis, dengan memperhatikan sistem nilai dan kelembagaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat setempat serta sejalan dengan pengembangan
sumbersumber potensi lokal.
Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir yang berbasis pada sumber daya lokal
akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan
pengawasan pengelolaan potensi sumberdaya. Dengan demikian akan lebih
menjamin kesinambungan peningkatan pendapatan dan pelestarian sumberdayanya.
Penerapan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah membawa
konsekuensi pada kabupaten dan/atau kota sebagai basis penyelenggara otonomi
daerah. Pertama, daerah kabupaten/kota dituntut untuk lebih mampu menjalankan
roda pemerintahan secara mandiri. Untuk itu pemerintah daerah harus mampu
menggali potensi lokal guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Kedua, otonomi
daerah harus mampu mendorong masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam
berbagai aspek kehidupan.
Dalam pendekatan yang terdahulu, partisipasi sering diartikan secara sempit
yaitu sekedar mobilisasi sumberdaya masyarakat untuk kepentingan suatu program
atau proyek yang didesain dari atas. Pada era otonomi seyogyanya partisipasi
masyarakat (pemangku kepentingan) diartikan lebih luas yaitu mulai dari analisis
permasalahan, perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan keberhasilan program.
Dengan demikian masyarakat ikut serta dalam semua tahapan suatu program. Hal
ini akan membawa banyak keuntungan baik dari pemerintah sendiri maupun bagi
masyarakatnya.
Keikutsertaan masyarakat dari awal dalam menentukan permasalahan akan lebih
memastikan bahwa program yang akan dilaksanakan benar-benar merupakan kebutuhan
masyarakat setempat. Pendekatan yang demikian juga membuat masyarakat ikut
merasa memiliki dan bertanggung jawab pada program tersebut sehingga lebih
mudah dalam mengajak masyarakat untuk ikut mengelola sumberdaya yang mereka
miliki. Pada gilirannya metode pendekatan ini akan menumbuhkan kepercayaan diri
masyarakat dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada pemerintah.
Kabupaten Lembata merupakan satu kabupaten yang seluruh wilayah daratannya dikelilingi
oleh laut, karena kabupaten ini merupakan satu pulau tersendiri yaitu Pulau Lemabta
(Lomblen). Secara geografis Kabupaten Lembata terletak pada 080 040 – 080 45’ Lintang
Selatan dan 1230 15’ –1240 38’ Bujur Timur dengan batas-batas: Utara berbatasan
dengan Laut Flores, Selatan dengan Laut Sawu, Timur berbatasan dengan Selat
Mrica (Kabupaten Alor) dan Barat berbatasan dengan Selat Lamakera dan Selat
Boleng (Kabupaten Flores Timur).
Luas wilayah daratan 1.266,38 Km2 dan secara administratif Kabupaten
Lembata terdiri dari 8 (delapan) kecamatan dengan 5 (lima) kelurahan dan 112
desa. Jumlah
penduduk di Kabupaten Lembata 96.602 jiwa (data tahun 2003) terdiri dari
laki-laki 42.968 jiwa (44,20%) dan perempuan 53.904 jiwa (55,80%) dengan jumlah
penduduk miskin sebanyak 66.969 jiwa (69,32%) dari total penduduk Kabupaten
Lembata.
Dalam sektor perikanan Kabupaten Lembata mempunyai sumberdaya alam perairan
yang cukup besar yakni memilki luas wilayah lautan 3.353,995 km2 dengan panjang
garis pantainya mencapai 493 km dan tersebar di semua kecamatan. Kecamatan yang
memiliki garis pantai paling panjang adalah Kecamatan Nagawutung (104 km),
kemudian disusul kecamatan Ile Ape dengan panjang garis pantai 102 km. Sedangkan
wilayah kecamatan yang garis pantainya paling pendek adalah kecamatan Nubatukan
(30 km).
Berdasarkan data tipologi desa di Kabupaten Lembata diketahui bahwa
Kecamatan Ile Ape memiliki keunikan tersendiri dibanding kecamatan lainnya,
dimana seluruh desa dalam wilayah kecamatan ini (21 desa) adalah termasuk desa
pantai (Bappeda Kabupaten Lembata, 2001). Hampir sebagian besar penduduk pada
masing-masing desa memiliki kegiatan sebagai nelayan baik nelayan tetap maupun
sambilan.
Dalam bidang Lingkungan Hidup, permasalahan pokok yang dihadapi adalah
budaya ladang berpindah-pindah, penebangan hutan di lereng-lereng gunung/bukit
dan Daerah Aliran Sungai (DAS), pembakaran hutan/padang, penebangan hutan bakau
(mangrove), pemboman ikan dan penggunaan potassium cyanida serta bahan beracun
lainnya dalam kegiatan penangkapan ikan, serta pengambilan pasir laut dan
batu-batu karang menyebabkan rusaknya mutu dan daya dukung lingkungan
.
Gambar 1.1 Peta Kabupaten Lembata
Permasalahan pokok lainnya adalah bagaimana mengurangi ketergantungan
terhadap hasil ekspor/antar pulau produksi yang mengekstrasi sumberdaya alam,
terutama pada sektor kehutanan, perikanan dan kelautan, pertambangan dan sektor
lainnya dimana sumber daya alam dipandang sebagai tumpuan utama dalam
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan aspek
pelestarian dan keberlanjutannya. Kenyataan menunjukkan bahwa hingga saat ini
sebagian besar masyarakat Lembata masih dililit kemiskinan.
Berbagai fenomena kerusakan lingkungan pesisir di Kabupaten Lembata bukan
saja disebabkan oleh kegiatan pembangunan, tetapi seringkali juga diakibatkan
oleh penduduk miskin yang karena terpaksa (ketiadaan alternatif mata
pencaharian) harus mengeksploitasi sumberdaya alam pesisir dengan cara-cara
yang tidak ramah lingkungan, yang secara ekologis sangat rentan terhadap
kerusakan lingkungan. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari kurangnya
supermasi hukum (termasuk hukum adat) dan semakin pudarnya bahkan hilangnya
nilai-nilai kearifan lokal/tradisional yang sebelumnya berlaku menjadi norma,
etika dan moral yang mengatur pranata kehidupan dan menuntun manusia untuk
perpikir dan berperilaku secara baik dan bertanggung jawab dalam relasi
komunitas ekologis.
Di beberapa daerah di Indonesia telah tumbuh aturan-aturan/tradisi
masyarakat yang diwarisi secara turun temurun. Tradisi yang ini disebut juga
sebagai hukum adat/tradisi lokal yang berlaku bagi masyarakat pesisir dan
ternyata cukup efektif sebagai pengendalian pengelolaan sumberdaya alam kelautan
dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari aktivitas yang
bersifat destruktif dan merusak. Beberapa sistem tradisional masih cukup banyak
yang bertahan dan terus dipraktekkan oleh sekelompok anggota masyarakat
walaupun terdapat tekanan dari konfigurasi sistem pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan modern. Di sisi lain, terdapat pengakuan bahwa
eksistensi hukum adat di Indonesia terutama yang berkaitan dengan sistem
pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dapat merupakan modal nasional
yang memiliki nilai strategis dan penting dalam menunjang pengelolaan
sumberdaya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan.
Oleh karena itu dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagai
pengganti UU No. 09 Tahun 1985 yang ditelah disahkan oleh DPR RI tanggal 14
September 2004 dalam pasal 6 ayat (2) berbunyi : Pengelolaan perikanan untuk
kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan harus mempertimbangkan hukum
adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran-serta masyarakat. Dengan
demikian penelitian tentang “Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui
Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur”
menjadi esensial untuk dilakukan untuk kepentingan pengelolaan yang akan
datang.
1.2. Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.2.1. Potensi sumberdaya alam pesisir dan laut apa saja yang terdapat di
Kabupaten Lembata dan sejauhmana tingkat pemanfaatannya.
1.2.2. Nilai-nilai kearifan lokal apa saja yang terdapat pada mansyarakat
pesisir di Kabupaten Lembata yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut?
1.2.3. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat
dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten
Lembata?
1.2.4. Bagaimana persepsi dan aspirasi masyarakat terhadap nilai-nilai
kearifan lokal, ketaatan terhadap tradisi/hukum adat dan pengelolaan sumberdaya
alam pesisir dan laut?
1.2.5. Sejauhmana peluang pemberdayaan nilai kearifan lokal dan hukum adat
dapat dipertahankan dan dimanfaatkan dalam perumusan kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam pesisir dan laut?
1.3. Pendekatan Masalah
Permasalah pengelolaan pesisir dan laut selama ini terjadi karena pola
pendekatan pembangunan yang kurang mengakomodasi dan mengintegrasikan potensi
lokal baik sumberdaya alam pesisir maupun sumberdaya manusia termasuk
nilai-nilai kearifan lokal/tradisional. Kebijakan pengembangan kawasan pesisir
yang dilaksanakan selama ini sering bersifat parsial dan berpola “top-down”,
sehingga sering kali kurang atau bahkan tidak mencerminkan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat lokal, tidak berpola “bottom-up”, sedang dalam
implementasinya kurang mendayagunakan potensi yang ada secara optimal termasuk
nilai-nilai atau kearifan lokal. Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir
yang berbasis pada sumber daya lokal akan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pengelolaan potensi sumberdaya.
Dengan demikian akan lebih menjamin kesinambungan peningkatan pendapatan
dan pelestarian sumberdayanya. Pemanfaatan sumberdaya yang kurang maksimal
sampai saat ini, antara lain dikarenakan masih terdapat kendala yaitu skala
usaha yang rata-rata kecil di bawah skala ekonomis, kualitas sumberdaya manusia
yang masih rendah, kurangnya penguasaan teknologi serta tingkat pemanfaatan
sumberdaya yang kurang merata dan tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.
Keikutsertaan masyarakat dari awal dalam menentukan permasalahan akan lebih
memastikan bahwa program yang akan dilaksanakan benar-benar merupakan kebutuhan
masyarakat setempat. Pendekatan yang demikian juga membuat masyarakat ikut
merasa memiliki dan bertanggung jawab pada program tersebut sehingga lebih
mudah dalam mengajak masyarakat untuk ikut mengelola sumberdaya yang mereka
miliki. Pada gilirannya metode pendekatan ini akan menumbuhkan kepercayaan diri
masyarakat dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada pemerintah.
1. 4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1. Untuk menganalisis potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir
dan laut Kabupaten Lembata.
1.4.2. Untuk menganalisis nilai-nilai kearifan lokal yang memiliki
keterkaitan erat dengan penegelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir di
Kabupaten Lembata.
1.4.3. Untuk menganalisis program dan kegiatan serta usaha-usaha yang
dilakukan oleh pemerintah dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam
pesisir dan laut di Kabupaten Lembata.
1.4.4. Untuk menganalisis persepsi dan aspirasi masyarakat terhadap
nilai-nilai kearifan lokal dan ketaatan terhadap taradisi/hukum adat yang
berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut.
1.4.5. Untuk menganalisis sejauhmana peluang pemberdayaan nilai kearifan
lokal dapat dipertahankan dan dimanfaatkan dalam perumusan kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut di Kabupaten Lembata.
1.5. Kegunaan Penelitian
Penelitian diharap dapat berguna dalam memberikan sumbangan bagi:
1.5.1. Masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar dapat mempertahan
nilai-nilai kearifan lokal/tradisional yang sebelumnya pernah ada dan menjadi
penuntun moral dalam berperilaku secara baik dan bertanggung jawab dalam
membangun relasi kehidupan dengan alam sebagai suatu komunitas ekologis.
1.5.2. Pemimpin informal, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama agar
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal/tradisional yang hidup dan
tidak terkontaminasi dengan pengaruh arus globalisasi dan modernisasi. Dengan demikian tetap menjadi panutan dalam menata
kehidupan alam sebagai bagian integral dari satu komunitas ekologis.
1.5.3. Pemimpim formal Pemerintah Daerah (instansi terkait) baik pada
tingkat kabupaten, kecamatan, desa, kelurahan agar dalam berbagai implentasi
pembangunan yanag berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
dapat memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal/tradisional yang dimiliki oleh
masyarakat di Kawasan pesisir dan laut Kabupaten Lembata.
1.5.4. Merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah dan Masyarakat
(stakeholders) untuk menjadikan nilai-nilai kearifan lokal/tradisonal sebagai
hukum adat yang perlu disosialisasikan secara luas dan kemudian dapat
diimplementasikan dalam kerangka penegakan hukum dan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut di Kabupaten Lembata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum
Karakteristik Wilayah Pesisir
2.1.1. Pengertian Wilayah Pesisir Sampai sekarang belum ada defenisi
wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia
bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah
darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi
oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin.
Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Brahtz, 1972;
Soegiarto, 1976; Beatly, 1994) dalam Direktoral Jendral Pesisir dan Pulau Kecil
(2003).
Dahuri, dkk. (1996) mendefenisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas ke arah darat adalah jarak
secara arbiter dari rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah
yurisdiksi wilayah propinsi atau state di suatu negara.
Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan
laut. Seacara fisiologi didefenisikan sebagai wilayah antara garis pantai
hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan
lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta dibentuk
oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya
berupa kerikil.
Ruang kawasan pesisir merupakan ruang wilayah diantara ruang daratan dengan
ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan adalah ruang yang terletak
di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari
garis terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut dimulai sisi laut pada garis laut terendah, termasuk dasar laut
dan bagian bumi di bawahnya.
Dalam cakupan horizontal, wilayah pesisir di batasi oleh dua garis
hipotetik. Pertama, ke arah darat wilayah ini mencakup daerah-daerah dimana
proses-proses oseanografis (angin laut, pasang-surut, pengaruh air laut dsbnya)
yang masih dapat dirasahkan pengaruhnya. Kedua, ke arah laut meliputi
daerah-daerah dimana akibat proses-proses yang terjadi di darat (sedimentasi,
arus sungai, pengaruh air tawar dsbnya). Wilayah perbatasan ini mempertemukan
lahan darat dan masa air yang berasal dari daratan yang relatif tinggi (elevasi
landai, curam atau sedang) dengan masa air laut yang relatif rendah, datar, dan
jauh lebih besar volumenya. Karakteristik
yang demikian oleh Ghofar (2004), mengatakan bahwa secara alamiah wilayah ini
sering disebut sebagai wilayah jebakan nutrient (nutrient trap). Akan tetapi,
jika wilayah ini terjadi pengrusakan lingkungan secara massif karena pencemaran
maka wilayah ini disebut juga sebagai wilayah jebakan cemaran (pollutants
trap).
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa berbagai sumberdaya hayati serta
lingkungan di wilayah pesisir relatif lebih rentan terhadap kerusakan,
dibandingkan dengan wilayah-wilayah atau ekosistem-ekosistem lainnya. Dari
seluruh tipe ekosistem yang ada, biasanya ekosistem pesisir merupakan wilayah
yang mendapatkan tekanan lingkungan yang paling berat (Kay dan Alder, 1999)
dalam Ghofar (2004).
2.1.2. Potensi Sumberdaya Alam Pesisir
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (interface)
antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark, 1996). Kekayaan ini mempunyai
daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan
mendorong berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya.
Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan dan
jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri (1999),
potensi sumberdaya pesisir secara umum dibagi atas empat kelompok yakni (1)
sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tidak dapat
pulih (non-renewable resources), (3) energi kelautan dan (4) jasa-jasa
lingkungan kelautan (environmental services).
Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput
laut, padang lamun, mangrove, terumbu karang termasuk kegiatan budidaya pantai
dan budidaya laut (marine culture). Ketersedian lahan pesisir merupakan salah
satu potensi yang dapat dikembangkan untuk kegiatan perikanan. Demikian juga
dengan wilayah perairan pantainya dapat dikembangkan untuk berbagai kegiatan
budidaya terutama budidaya laut.
Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak
bumi dan gas. Sumberdaya energi terdiri dari OTEC (Ocean Thermal Energy
Conservation), pasang surut, gelombang dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk
jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut.
Wilayah pesisir dan laut sebagai ekosistem yang dinamis memiliki
karakteristik yang sangat unik. Keunikan wilayah ini mengisyaratkan pentingnya
pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu dan bijaksana.
Secara biofisik wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik
antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan
lahan atas (upland) dengan laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu
eksosistem pesisir, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi
ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika pengelolaan kegiatan pembangunan
(industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain) di lahan atas (upland) suatu
DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara bijaksana akan merusak
tatanan dan fungsi ekologis kawsan pesisir dan laut.
b. Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk
kepentingan pembangunan. Terdapat keterkaitan langsung yang sangat komplek antara
proses-proses dan fungsi lingkungan dengan pengguna sumberdaya alam.
c. Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu
kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlihan dan kesenangan
(preference) bekerja yang berbeda sebagai petani, nelayan, petani tambak,
petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga
dan sebagainya. Pada hal sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah
kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah mentradisi menekuni
suatu bidang pekerjaan.
d. Baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan
pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan
internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Misalnya suatu
hamparan pesisir hanya digunakan untuk satu peruntukan, seperti tambak, maka
akan lebih rentan, jika hamparan tersebut digunakan untuk beberapa peruntukan.
e. Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common
property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access).
Pada hal setiap sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan
keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran over eksploitasi sumberdaya
alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan ini, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan suatu tragedi bersama (open tragedy).
Kawasan pesisir memiliki tiga habitat utama (vital) yakni mangrove, padang
lamun dan terumbu karang. Di antara ketiga habitat tersebut terdapat hubungan
dan interaksi yang saling mempengaruhi. Kerusakan yang terjadi pada satu
habitat akan mempengaruhi kehidupan biota pada habitat lainnya, sehingga
pengelolaan pada suatu habitat harus mempertimbangkan kelangsungan habitat
lainnya. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1. Interaksi Antara Tiga Habitat Utama di Kawasan Pesisir Sumber :
Dahuri, (2003)
2.2. Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir
Pengelolaan sumberdaya alam adalah usaha manusia dalam mengubah ekosistem
untuk memperoleh manfaat maksimal, dengan mengupayakan kesinambungan produksi
dan menjamin kelestarian sumberdaya tersebut (Afiati, 1999).
Pengelolaan perikanan yang baik dan bertanggung jawab terutama perikanan
tangkap haruslah benar-benar memperhatikan daya dukung sumberdaya perikanan di
wilayah perairan Indonesia, bahkan Purwanto (2003), secara eksplisit mengungkapkan
bahwa apabila sumberdaya ikan laut yang hidup dalam wilayah perairan Indonesia
dimanfaatkan secara benar dan bertanggungjawab yaitu tidak melebihi daya
dukungnya, sumberdaya tersebut akan dapat mengahasilkan produksi maksimum
lestari sekitar 6,4 juta ton pertahun. Selain itu masyarakat Indonesia juga
memiliki peluang untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high sea).
Sebaliknya bila sumberdaya ikan tersebut dimanfaatkan melebihi daya dukungnya,
kelestarian sumberdaya ikan akan terancam dan produksinya akan menurun.
Ketersediaan (stok) sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan
(fishing ground) di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan melebihi daya
dukungnya sehingga kelestariannya terancam. Beberapa spesies ikan bahkan
dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris hilang dari perairan Indonesia
(Purwanto, 2003). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa ancaman ini diperkirakan
akan meningkat pada dekade ini, karena terjadi pergeseran daerah penangkapan
armada perikanan dunia ke daerah yang masih potensial, termasuk perairan
Indonesia, baik secara legal maupun ilegal.
Pengelolaan Sumberdaya alam pesisir pada hakekatnya adalah suatu proses
pengontrolan tindakan manusia atau masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar
pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan
mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono, 2002).
Dalam pengelolaan lingkungan sumberdaya alam pesisir tidaklah bersifat
serta merta atau latah, namun kita perlu mengkaji secara mendalam isu dan
permasalahan mengenai sumberdaya yang hendak dilakukan pengelolaan. Penting
atau tidaknya sumberdaya alam yang ada, potensi dan komponen sumberdaya mana
yang perlu dilakukan pengelolaan dan apakah terdapat potensi dampak perusakan
lingkungan, serta untung atau tidaknya sumberdaya tersebut bagi masyarakat
merupakan pertimbangan penting dalam pengelolaan.
Pengelolaan sumberdaya alam yang beranekaragam, baik di daratan maupun di
lautan perlu dilakukan secara terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya
buatan dalam pola pembangunan berkelanjutan (Rais, 1997). Pengelolaan
sumberdaya alam pesisir dilakukan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu
kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian
kemampuan dan daya dukung lingkungan yang tersedia.
Secara ideal pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan hidupnya harus
mampu menjamin keberlangsungan fungsi ekologis guna mendukung keberlanjutan
usaha perikanan pantai yang ekonomis dan produktif. Keberlanjutan fungsi
ekologis akan menjamin eksistensi sumberdaya serta lingkungan hidup ikan
(Anggoro, 2004).
Menurut Supriharyono (2000), beberapa pertimbangan dalam pengelolaan
sumberdaya alam kawasan pesisir yakni meliputi (a) pertimbangan ekonomis, (b)
pertimbangan dari aspek lingkungan dan (c) pertimbangan sosial budaya.
Pertimbangan ekonomis menyangkut penting tidaknya untuk kebutuhan masyarakat
sehari-hari, penghasil barang-barang yang dapat dipasarkan, merupakan aset
lokal, nasional atau internasional serta merupakan aset pariwisata yang dapat
mengahasil uang selain berupa barang.
Pertimbangan lingkungan menyangkut stabilitas fisik pantai, lingkungan
masyarakat yang unik, penyediaan stok hewan dan tumbuhan termasuk yang
mempunyai potensi untuk dimanfaatkan, pelestarian plasma nutfah, estetika dan
indentitas budaya, serta apakah terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan
oleh sedimentasi, konstruksi, pertanian, penebangan, penambangan, penangkapan
berlebihan (overfishing), yutrofikasi karena buangan limbah yang mengandung
nutrien, dan kontaminasi oleh berbagai macam limbah. Sedangkan pertimbangan
sosial budaya meliputi pengakuan tradisi, nilai sosial budaya, mempertahankan
tradisi generasi yang akan datang, sasaran keagamaan.
Pemanfaatan kawasan pesisir dan
lautan secara berkelanjutan (sustainable) harus dilakukan secara bertanggung
jawab (responsible), sehingga diperlukan perencanaan pengelolaan yang sangat
hati-hati (Ghofar, 2004). Dewasa ini, sayangnya, pengetahuan yang memadai
mengenai proses-proses yang terjadi di kawasan pesisir dan lautan Indonensia
belum tersedia secara memadai untuk suatu tujuan pemanfaatan yang rasional.
Sebagai akibatnya adalah konsep dan teknik pengelolaan perikanan kawasan
pesisir dan lautan sebagian besar belum teruji. Selain degradasi lingkungan,
beberapa isu penting lainnya adalah lemah atau masih rendahnya partisipasi
masyarakat, sistem hukum dan penegakannya, keamanan di laut, pencurian ikan
oleh kapal-kapal asing.
2.3. Tinjauan Umum Pemberdayaan
dan Kearifan Lokal
2.3.1. Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada kata “empowerment ” yaitu
sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh
masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan
masyarakat pesisir dan nelayan adalah penekanan pada pentingnya masyarakat
lokal yang mandiri (selffreliant communities), sebagai suatu sistem yang
mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang
demikian tentunya diharapkan memberikan peranan kepada individu bukan sebagai
obyek, tetapi sebagai pelaku (aktor) yang menentukan hidup mereka (Moebyarto,
1996) dalam Wahyono, 2001.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat
yang bepusat pada manusia (people-centered development) ini kemudian melandasi
wawasan pengelolaan sumberdaya lokal (communitybased management), yang
merupakan mekanisme perencanaan people-centered development yang menekankan
pada teknologi pembelajaran sosial (social learning) dan strategi perumusan
program. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemapuan
masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya (empowerment). Dalam kaitan ini,
Moebyarto (1999), mengemukakan ciri-ciri pendekatan pengelolaan sumberdaya
lokal yang berbasis masyarakat, yang meliputi:
a.
Keputusan dan inisiatip untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dibuat
di tingkat lokal, oleh masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya
sebagai partisipan dalam proses pengambilan keputusan.
b.
Fokus utama pengelolaan sumberdaya lokal adalah memperkuat kemampuan
masyarakat miskin dalam mengarahkan asset-asset yang ada dalam mayarakat
setempat, untuk memenuhi kebutuhannya.
c.
Toleransi yang besar terhadap adanya variasi. Oleh karena itu mengakui
makna pilihan individual, dan mengakui proses pengambilan keputusan yang
desentralistis.
d.
Budaya kelembagaannya ditandai oleh adanya organisasi-organisasi yang
otonom dan mandiri, yang saling berinteraksi memberikan umpan balik pelaksanaan
untuk mengoreksi diri pada setiap jenjang organisasi.
e.
Adanya jaringan koalisi dan komunikasi antara pelaku dan organisasi lokal
yang otonom dan mandiri, yang mencakup kelompok penerima manfaat, pemerintah
lokal, bank lokal dan sebagainya yang menjadi dasar bagi semua kegiatan yang
ditujukan untuk memperkuat pengawasan dan penguasaan masyarakat atas berbagai
sumber yang ada, serta kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya
setempat.
Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa
disebut Community-Based Management, menurut Nikijuluw (1994) dalam Latama
(2002), merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan
pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar
pengelolaanya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan
biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Carter (1996) dalam Latama
(2002) memberikan defenisi pengelolaan berbasis masyarakat sebagai : “A
strategy for achieving a people-centered development where the focus of
decision making with regard to the sustainable use of natural resources in an
area lies with the people in the communities of that area” atau sebagai suatu
strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan
keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah
berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut.
Dari uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa keberdayaan masyarakat terletak pada proses pengambilan
keputusan sendiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap
perubahan lingkungan dan sosial. Oleh sebab itu, pemahaman mengenai proses
adaptasi masyarakat nelayan terhadap lingkungannya merupakan informasi penting
dalam pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered devolopment),
yang melandasi wawasan pengelolaan sumberdaya local (community-based resource
management). Pentingnya memperhatikan aspek strategi adaptasi nelayan dalam
kegiatan pemberdayaan tersebut adalah karena strategi adaptasi yang
dikembangkan memungkinkan nelayan mengatur daya tahan (resilience) terhadap
persoalan-persoalan spesifik yang berhubungan pesisir dan nelayan seperti
fluktuasi, ketidakpastrian hasil tangkapan, musim, dan menurunnya sumberdaya
perikanan.
2.3.2. Kerarifan Lokal/Tradisional
Kearifan lokal atau tradisional
sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia
untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus
bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam.
Bahasan ini sangat membantu kita dalam hal mengembangkan perilaku, baik secara
individu maupun secara kelompok dalam kaitan dengan lingkungan dan upaya
pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu membantu kita untuk mengembangkan
sistem sosial politik yang ramah terhadap lingkungan serta mengambil keputusan
dan kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan atau sumberdaya alam termasuk
sumberdaya alam pesisir dan laut.
Etika yang berarti “adat istiadat” atau
“kebiasaan”, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik,
baik pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang
baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain (Keraf,
2002). Kebiasaan hidup yang baik ini kermudian dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan, norma yang disebarluaskan, dikenal,
dipahami dan diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai
ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai
manusia dan juga etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan
larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia yaitu perintah yang harus
dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.
Pengertian keraifan lokal (tradisional)
menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau
wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan
lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat
tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan
juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam
dan bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun.
Pengertian di atas memberikan cara pandang
bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam
semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli
terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara
pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme.
Nilai-nilai kerarifan lokal yang
terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan,
diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus
membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam
maupun terhadap alam. Menurut Nababan (2003), mengatakan bahwa masyarakat adat
umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan
ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat
adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki
ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.
Pandangan ini sejalan dengan dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun
(1999) mengatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup
berdasarkan asal-usul secara turun temurun atas satu wilayah adat, yang diatur
oleh hukum adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam,
kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang
mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Sedangkan menurut Ataupah (2004),
mengatakan bahwa kerarifan lokal bersifat histories tetapi positip. Nilai-nilai
diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi
berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat
menambah atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu
berlaku secara situasional dan tidak dapat dilepaskan dari system lingkungan
hidup atau sistem ekologi/ekosistem yang harus dihadapi orang-orang yang
memahami dan melaksanakan kearifan itu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kearifan
tercermin pada keputusan yang bermutu prima. Tolok ukur suatu keputusan yang
bermutu prima adalah keputusan yang diambil oleh seorang tokoh/sejumlah tokoh
dengan cara menelusuri berbagai masalah yang berkembang dan dapat memahami
masalah tersebut. Kemudian diambil keputusan sedemikian rupa sehingga yang
terkait dengan keputusan itu akan berupaya melaksanakannya dengan kisaran dari
yang menolak keputusan sampai yang benar-benar setuju dengan keputusan
tersebut.
2.4. Tinjauan Umum
Karakteristik Sosial dan Sistem Pengetahuan Masyarakat Peisir
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda
dengan karakteristik masyarakat agraris karena perbedaan sumberdaya yang mereka
hadapi atau miliki. Masyarakat agraris menghadapi sumberdaya yang terkontrol
yakni lahan untuk memproduksi suatu jenis komoditas dengan hasil yang dapat
diprediksi. Dengan sifat yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi
sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan faktor resiko pun
relatif kecil.
Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat
fenomena yang menarik mengenai melimpahnya sumberdaya alam laut dengan masih
rendahnya minat masyarakat pesisir untuk mengeksplorasi kekayaan laut. Lebih
lanjut, Tohir (2001), mengatakan fenomena ini jika dicermati secara mendalam
maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat pesisir yang bermatapencaharian
sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas hidup di laut jumlahnya relatif
kecil dibanding dengan yang beberja sebagai petani sawah, maupun jasa. Hal ini
berarti jenis-jenis matapencaharian masyarakat pesisir heterogen dan warga
masyarakat yang memilih sebagai nelayan atau melakukan aktivitas di pesisir
pada dasarnya masih merupakan kelompok kecil saja. Dari jumlah yang relatif
kecil itu, dilihat dari tingkat kesejahteraan hidupnya rata-rata masih belum
menggembirakan karena sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai
keterbatasan.
Dilihat dari perspektif antropologis,
masyarakat pesisir nelayan berbeda dari masyarakat lain, seperti masyarakat
petani, perkotaan atau masyarakat di dataran tinggi. Perspektif antropologis
ini didasarkan pada realitas social bahwa masyarakat nelayan memiliki pola-pola
kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil dari interaksi
mereka dengan lingkungan berserta sumberdaya yang ada di dalamnya. Pola-pola
kebudayaan itu menjadi kerangka berpikir atau referensi perilaku masyarakat
nelayan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Satria, A, (2004), mengatakan bahwa secara
teologis, memiliki kepercayaan cukup kuat bahwa laut memilki kekuatan magis,
sehingga diperlukan perlakuan-perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas
penangkapan ikan agar keselamatan semakin terjamin. Tradisi ini masih tetap
dipertahankan. Sebagai contoh tradisi sowan ke suhu bagi nelayan-nelayan yang berasal
dari Wonokerto Pekalongan melakukan tradisi ini. Tradisi ini dimaksudkan untuk
menjaga keselamatan para ABK dan nahkoda pada saat melalut dan memperoleh hasil
tangkapan yang baik.
Dikemukan pula bahwa dalam ritual ini para
suhu atau dukun-dukun menganjurkan agar sebelum menangkap ikan para ABK harus
menyalakan dupo atau menyan (wewangian) di sekitar kapal dan pada saat melempar
jaring ke laut nelayan harus menebarkan bungabunga di sekitar jaring. Sistem
kepercayaan ini dianggap memberikan kontribusi bagi kesuksesan mereka untuk
menangkap ikan Tanpa sowan ke suhu, mereka merasah seolah-olah kurang percaya
diri.
Juwono (1998) dalam Satria, A., (2004),
mengatakan bahwa tradisi perawatan perahu juga terjadi di Kirdowono dimana
perahu dipersonifikasi seperti manusia yang bisa sakit dan harus diobati.
Pengobatan perahu tersebut dilakukan melalui kosokan atau penggosokan.
2.5. Mengenal Kearifan
Lokal di Beberapa Daerah
Namaban (2003) mengatakan bahwa sudah
banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara
tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati. Adalah suatu
realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat
dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Aturan-atuaran/tradisi masyarakat ini
diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai hukum adat dan berlaku
bagi masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan lokal dan hukum
adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan
perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang
bersifat destruktif dan merusak.
Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat
maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di beberapa daerah dan sudah
diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah sebagai berikut:
2.5.1. Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga
Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam.
Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat
yang diperlukan masyarakat nelayan dalam menjaga ketertiban yang meliputi
penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan dan biota laut lainnya, dan
menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai. Secara
hukum, Hukum Adat Laot bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam
struktur pemerintahan di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan
tertentu dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat
Laot di Aceh dapat bersifat terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot
tersebut senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hukum Adat
Laot dari segi Adat Pemeliharaan Lingkungan meliputi:
a.
Dilarang melakukan pemboman, peracunan dan pembiusan, penyetroman dengan alat
listrik, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lain yang dapat merusak
lingkungan hidup dan biota lainnya.
b. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon
kayu di pesisir dan pantai seperti pohon arun (cemara), pandan, ketapang, bakau
dan pohon lainnya.
c. Dilarang menangkap ikan/biota lainnya
yang dilindungi seperti lumba-lumba dan penyu.
2.5.2. Tradisi Lebak Lebung di Propinsi
Sumatera Selatan
Lebak lebung adalah suatu areal yang
terdiri dari lebak lebung, teluk, rawa dan atau sungai yang secara berkala atau
terus menerus digenangi air dan secara alami merupakan tempat bibit ikan atau
biota perairan lainnya. Lelang Lebak Lebung adalah sistem penentuan akan hak
pengelolaan perairan umum (lebak lebung).
2.5.3. Tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi
Sulawesi Selatan
Ponggawa adalah orang yang mampu menyediakan
modal (sosial dan ekonomi) bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu
usaha (biasa berorientasi pada skala usaha perikanan); sedangkan Sawi, bekerja
pada Ponggawa dengan memakai hubungan norma sosial dan kesepakatan kerja. Pada
sistem Ponggawa Sawi terdapat kesepakatan untuk menyerahkan atau menjual hasil
tangkapannya pada Ponggawa, dan bagian ini merupakan mekanisme pembayaran
pinjaman dari sawi kepada ponggawa jika sebelumnya sawi mempunyai pinjaman.
2.5.4. Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku
Sistem pengelolaan berbasis masyarakat
untuk kedua sumber daya darat dan laut umum ditemukan di Kepulauan Maluku
Tengah dan Tenggara yang dikenal dengan istilah sasi. Secara umum sasi
merupakan ketentuan hukum adat tentang larangan memasuki, mengambil atau
melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu
pula.
2.5.5. Tradisi Pamali Mamanci Ikang di
Desa Bobaneigo Maluku Utara
Kearifan tradisional ”Pamali Mamanci
Ikang” dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (pesisir dan laut) secara umum
adalah larang atau boboso, tetapi pengertiannya dalam pengelolaan ikan teri dan
cumi-cumi menyangkut pada beberapa batasan, seperti pelarangan pada musim
pemijahan, pembatasan jumlah alat tangkap, pembatasan frekwensi penangkapan,
tidak dibenarkan orang luar memiliki usaha bagan, dan pelarangan penebangan
hutan bakau (soki) karena luluhan daun dan dahan pohon bakau dianggap sebagai
asal-usul ikan teri. Pengaturan “Pamali Mamanci Ikang” merupakan suatu
kebijakan yang arif walaupun hanya dihasilkan melalui suatu proses musyawarah
di tingkat desa. Seperti penetapan waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan
musim cengkeh, dimana masyarakat mulai meninggalkan laut dan beralih ke lahan
pertanian dan perkebunan cengkehnya. Panen cengkeh dilakukan secara gotong
royong (bari), sehingga bagi nelayan yang tidak memiliki kebun turut terlibat
dalam panen tersebut untuk menutupi biaya hidupnya selama dilarang melaut.
Konsep ini sangat memperhitungkan kondisi
sosial ekonomi masyarakat, sehingga pada saat pelaksanaan tradisinya,
masyarakat nelayan tidak kehilangan mata pencahariannya, sebaliknya masyarakat
petani juga ikut merasa dibantu.
2.5.6. Tradisi Awig-awig di Lombok Barat,
NTB
Awig-awig merupakan aturan yang dibuat
berdasarkan kesepakatan masyarakat, untuk mengatur masalah tertentu, dengan
maksud memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan masyarakat. Dalam
awig-awig diatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang
diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi.
Adanya pengaturan lokal (awig-awig) dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dipengaruhi oleh masalah pokok
yaitu konflik antar nelayan. Apapun munculnya konflik dalam kegiatan
pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan
(ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin
sedikit (mata pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan
perubahan pasar.
Sejak dulu, masyarakat Lombok Barat telah
mengenal aturan yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam,
baik yang ada di darat maupun di laut. Hal ini tercermin dari kebiasaan adat
istiadat, yaitu upacara Sawen. Secara umum sawen adalah larangan untuk
melakukan kegiatan penangkapan ikan yang berlaku di zona dan waktu yang sudah
ditetapkan sebelumnya melalui kesepakatan-kesepakatan lokal.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu
Penelitian
3.1.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dengan judul Pengelolaan
Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di
Kabupaten Lembata – Nusa Tenggara Timur. Pemilihan lokasi penelitian Kabupaten
Lembata terutama didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten Lembata yang
merupakan kabupaten Pulau, memiliki cukup banyak potensi sumberdaya pesisir dan
laut. Keadaan ini terjadi karena kabupaten ini, seluruh daratannya dikelilingi
oleh lautan. Informasi lain adalah, di beberapa wilayah kecamatan/desa di
kabupaten ini, masyarakat pesisir memiliki kearifan lokal (ritual-ritual) yang
berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut.
Setelah mempertimbangkan karakteristik
wilayah dari berbagai informasi dari narasumber, maka peneliti menentukan
lokasi kecamatan yakni Kecamatan Wulandoni (Desa Wulandoni, Pantai Harapan dan
Lamalera B), Kecamatan Omesuri ( Desa Balawuring, Lebewala dan Wailolong) dan
Kecamatan Ile Ape (Desa Watodiri, Lamatokan dan Dulitukan). Pemilihan desa pun
sangat tergantung pada informasi tokoh kunci (key person) mengenai ada tidaknya
kearifan lokal pada setiap desa dalam kecamatan yang bersangkutan.
3.1.2. Waktu Penelitian
Waktu yang dipergunakan dalam penelitian
mulai dari penuliasan proposal, kolokium, konsultasi sampai pada penyelesaian
ujian dan finalisasi penuliasan tesis ini adalah selama 9 bulan terhitung dari
bulan April sampai Desember 2005.
3.2.1. Lokasi kecamatan, digunakan teknik
sampel wilayah (area probability sample), adalah teknik sampling yang dilakukan
dengan mengambil wakil dari setiap wilayah yang terdapat dalam populasi
(Arikunto, 1997). Hal ini didasarkan atas pertimbangan ciri atau karakteristik
wilayah dari segi potensi sumberdaya alam pesisir dan nilai-nilai kearifan
lokal yang hanya ada pada lokasi atau wilayah tersebut. Untuk lokasi kecamatan
diambil sampel sebanyak 3 (tiga) wilayah kecamatan yakni kecamatan Ile Ape,
Nagawutung dan Omesuri.
3.2.2. Tokoh Masyarakat (Tua Adat/Pemangku
Adat) adalah institusi non formal yang tumbuh di sekitar masyarkat dan
dipandang memahami permasalahan ritual kearifan lokal yang berkaitan dengan
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya peisisr dan laut, yang selanjutnya dapat
disebut sebagai key persons. Penentuan key persons ini dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik purposive sample atau sampel bertujuan. Dilakukan dengan
cara mengambil subyek bukan didasarkan pada strata, random atau daerah, tetapi didasarkan
atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 1997). Perlu disadari bahwa bahwa dalam
penarikan sample purposive tidak hanya mencakup masalah-masalah putusan tentang
orang, yakni subyek atau pelaku sebagai nara sumber data yang akan diamati dan
diwawancarai tetapi juga tentang latar-latar, peristiwa-peristiwa dan
proses-proses sosio-kultural, karena itu sample-sampel kualitatif cenderung
puporsive (Mbete, 2005). Oleh karena penelitian ingin mengetahui dan
menganalisis nilai-nilai keraifan lokal maka penentuan key persons akan dipilih
dengan cermat dan disesuaikan dengan target pencapaian informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian ini, dengan jumlah responden untuk masing-masing
desa 5-8 orang.
3.2.3. LSM (Care International dan Yayasan
Pengembangan Masyarakat Pesisir), yang memiliki kepedulaian terhadap
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut, serta yang
bergerak dalam bidang industri, jasa dan usaha-usaha perikanan baik
penangkapan, budidaya maupun pengolahan. Pengambilan sampel pada intitusi ini
dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yang akan disesuaikan
dengan kebutuhan informasi.
3.2.4. Pemerintah Desa adalah institusi
formal yang tumbuh dan berkembang di sekitar kawasan pesisir yang dipandang
memahami berbagai permasalahan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut serta nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat pesisir yakni kepala, desa, sekretarias desa, kepala dusun, mantan
kepala desa. Pengambilan sampel pada intitusi ini dilakukan dengan menggunakan
teknik purposive sampling, yang akan disesuaikan dengan kebutuhan informasi.
3.2.5. Pemerintah Kecamatan adalah
institusi formal pada tingkat hirarki pemerintahan yang memiliki fungsi dan
dianggap memahami beberapa hal mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
adalah pesisir dan laut yakni Camat,
Kepala Urusan Pembangunan Desa, UPT Perikanan dan Kelautan. Penentuan sampel
pada masing-masing intitusi ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive
sampling, yang akan disesuaikan dengan kebutuhan informasi.
3.2.6. Pemerintah Kabupaten adalah
intitusi formal yang dianggap mempunyai kaitan erat dalam pemanfaatan dan
pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Respondennya adalah Bupati, Ketua DPR,
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan bersama staf, Staf Bappeda. Pengambilan
sampel pada masing-masing intitusi ini dilakukan dengan menggunakan teknik
purposive sampling, yang akan disesuaikan dengan kebutuhan informasi.
3.3. Jenis dan Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian
bersumber dari data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh secara
langsung dari responden melalui hasil wawancara atau pengamatan. Sedangkan data
sekunder diperoleh secara tidak langsung/melalui pihak kedua (instansi terkait)
dengan melakukan studi dokumentasi atau literatur.
3.3. Teknik Pengumpulan
Data
Pendekatan yang diambil dalam penelitian
ini adalah pendekatan kualitatif. Dapat mungkin terdapat pula data kuantitatif
sejauh masih relevan dan bermanfaat untuk menjelaskan permasalahan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan pemberdayaan kearifan lokal. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
3.3.1. Teknik observasi; teknik ini
dilakukan untuk mendapatkan data dengan mengamati potensi sumberdaya alam
pesisir yang terdapat di Kabupaten Lembata terutama pada wilayah atau kecamatan
sampel. Potensi yang akan diamati adalah
kondisi umum perairan menyangkut kualitas perairan, keadaan vegetasi mangrove,
lamun dan terumbu karang.
3.3.2. Teknik wawancara; wawancara merupakan
salah teknik penting dalam studi-studi pembangunan. Dalam wawancara terjadi
percakapan sekalipun percakapan tetap dalam pengendalian dan terstruktur.
Teknik ini lebih dikenal sebagai wawancara semi-terstruktur (semi structured
interview) yakni wawancara yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang
diharapkan diikuti dengan pertanyaan lanjutan untuk lebih menggali informasi
dan secara lebih mendalam, Mikkelsen, (2003). Untuk memperoleh data primer maka
dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview), dan dilakukan secara
purposive dengan para informan atau responden yang dianggap paling banyak
mengetahui permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir yaitu pejabat Dinas Perikanan, Bapedalda, Bappeda, Camat dan
Kepala Desa serta berbagai instansi terkait. Danim (2002), jika wawancara tidak
dapat menjangkau responden yang jumlahnya relatif banyak, wawancara biasanya
dilakukan kepada sejumlah responden yang jumlahnya relatif terbatas dan
memungkinkan bagi peneliti untuk mengadakan kontak langsung secara
berulang-ulang sesuai dengan keperluan. Wawancara mendalam juga ditujuhkan
kepada para tokoh-tokoh kunci (key persons). Mikkelsen (2003), mengemukakan
wawancara semiterstruktur secara mendalam dapat dilaksanakan dengan menggunakan
empat cara yakni:
a. Wawancara Individual: wawancara ini
dilaksanakan dalam suatu kesempatan pengambilan sampel atas responden yang
dipilih dengan sengaja untuk memperoleh informasi atau data yang representatif.
b. Wawancara dengan informan
kunci/tokoh-tokoh kunci (Key informan/key persons); wawancara dengan key
informan/key persons bertujuan untuk mendapatkan informasi khusus yang
berkaitan pengetahuan dan pemahaman terhadap kearifan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya alam laut dan pesisir.
c. Wawancara Kelompok; dengan cara
terstruktur dan tidak terstruktur. Teknik ini lebih memberikan akses pada sosok
pengetahuan yang lebih besar dan secara mendalam tentang informasi dan data.
3.4. Teknik Analisisa
Data
Teknik analisa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik anlisis potensi sumberdaya alam
pesisir dan laut dapat digunakan analisis quantitative time series comparative
yakni menganalisis berbagai potensi dengan melihat tren perubahan dari tahun ke
tahun selama 4 sampai 5 tahun. Sedangkan untuk aspek-aspek sosial budaya
dilakukan analisis kualitatif komparatif yakni mendeskripsikan tentang
nilai-nilai dan cara pandang serta persepsi dan aspirasi masyarakat lokal terhadap
nilai kearifan lokal dan makna dari penuturan-penuturan adat dalam berbagai
ritual yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum
Kabupaten Lembata
4.1.1. Letak Geografis
Secara geografis Kabupaten Lembata terletak pada 080 040 – 080 40’ Lintang
Selatan dan 1220 38’ –1230 57’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut:
Utara berbatasan dengan Laut Flores, Selatan berbatasan dengan Laut Sawu, Timur
berbatasan dengan Selat Mrica (Kabupaten Alor) dan Barat berbatasan dengan
Selat Lamakera dan Selat Boleng (Kabupaten Flores Timur). Kabupaten Lembata
merupakan satu kabupaten baru yang terbentuk sejak tahun 2000. Kabupaten ini,
seluruh wilayah daratannya dikelilingi perairan laut, karena kabupaten ini
merupakan satu pulau tersendiri yaitu Pulau Lembata (Lomblen/Kawula). Luas
seluruh wilayah Kabupaten Lemabata adalah sebesar 4.660,37 km2 yang terdiri
dari luas wilayah daratan 1.266,38 km2 (27,17%) dan luas wilayah perairan 3.393,995
km2 (72,83%). Secara administratif pemerintahan Kabupaten Lembata terdiri dari
8 (delapan) kecamatan dengan 5 (lima) kelurahan dan 113 desa. Dari 118
desa/kelurahan jumlah desa pesisir sebanyak 77 desa/kelurahan (65,25%) dan
jumlah desa yang bukan tipologi desa pesisir sebanyak 41 desa (43,75%).
Luas wilayah daratan yang paling besar adalah Kecamatan Lebatukan dengan
luas wilayah sebesar 241,90 km2 dan yang paling kecil adalah wilayah Kecamatan
Buyasuri dengan luas wilayah 104,26 km2. Sedangkan jumlah desa terbanyak adalah
wilayah Kecamatan Ile Ape dengan jumlah desa sebanyak 22 desa, sebaliknya
wilayah yang jumlah desa paling sedikit adalah wilayah Kecamatan Nagawutun dan
Wulandoni dengan jumlah desa masing-masing sebanyak 11 desa.
Kabupaten Lembata selain memiliki luas wilayah daratan yang cukup besar
(1.266,38 km2), juga memiliki luas wilayah perairan laut sebesar 3.393,995 km2
dengan panjang garis pantai sepanjang 493 km yang tersebar di seluruh wilayah
kecamatan.
Kecamatan Ile Ape memiliki keunikan tersendiri yakni selain memiliki garis
pantai paling panjang yakni 102 km (25,95%), juga semua desa (22 desa) di
wilayah kecamatan ini termasuk dalam tipologi desa pantai. Kecamatan Lebatukan
menempati posisi kedua dengan memiliki panjang garis 81,4 km (16,51%),
Kecamatan Omesuri 71,6 km (14,52%), menyusul Kecamatan Nagawutun 65,4 km
(13,27%), Kecamatan Buyasuri 56,4 km (11,44%), Kecamatan Atadei 47,6 km
(09,66%) dan Kecamatan Nubatukan memiliki panjang garis pantai yang paling
kecil yakni 30,2 km (06,13%). Di wilayah Kecamatan Atadei, dari jumlah desa sebanyak
12, tetapi hanya memiliki dua desa pesisir.
4.1.2. Penduduk
Penduduk Kabupaten Lembata sampai pada tahun 2003 berjumlah 97.655 jiwa dan
jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 24.290, dengan tingkat kepadatan rumah
tangga sebesar 4 dan penduduk sebesar 77 jiwa/km. Dari jumlah tersebut penduduk
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 44.435 jiwa (45,50%) dan perempuan sebanyak
53.220 jiwa (54,50 %). Kecamatan Nubatukan memiliki jumlah penduduk paling
banyak yakni 20.761 (21,26%) dengan tingkat kepadatan 125 jiwa/km2, menyusul
Kecamatan Buyasuri sebanyak 16.950 jiwa (17,36) dengan tingkat kepadatan
penduduk tertinggi sebesar 163 jiwa/km2.
4.1.3. Topografi
Sebagian besar wilayah Kabupaten Lembata merupakan daerah pegunungan dan
berbukit-bukit. Wilayah yang berupa dataran relatif sangat sedikit sekali. Dari
seluruh desa/kelurahan terdapat 92 desa (79%) yang topografinya berbukit-bukit
dan 25 desa (21%) merupakan wilayah yang datar. Tidak ditemukan sungai besar
atau kecil yang dapat mengaliri sepanjang tahun. Kabupaten Lembata memiliki
sebuah gunung berapi dan sampai saat ini masih aktif adalah Gunung Ile Ape yang
terdapat di wilayah Kecamatan Ile Ape. Nama Kecamatan Ile Ape sesuai dengan
nama gunung yang terdapat di wilayah itu. Hampir tidak ditemukan sungai besar
maupun kecil di daerah Kecamatan Ile Ape.
4.1.4. Iklim dan Cuaca Kabupaten Lembata pada umumnya beriklim tropis
dengan musim kemarau atau kering yang berlangsung lebih lama yakni dari bulan
April sampai Oktober dan musim hujan berlangsung dari bulan Nopember sampai
bulan Maret. Kondisi ini menyebabkan jumlah curah sangat sedikit, tidak menentu
dan tidak merata. Selama musim kemarau berlangsung angin bertiup dari tenggara
(southeast monsoon wind) yang kering sebaliknya pada musim hujan, angin bertiup
dari barat laut (northwest monsoon wind) yang basah, dan sangat mempengaruhi
keadaan cuaca dan iklim di wilayah Kabupaten Lembata. Keadaan ini hampir tidak
pernah berubah dari tahun ke tahun sehingga hasil komoditas unggulan dari
pertanian lahan kering belum dapat diharapkan.
4.1.5. Perairan Laut
Perairan laut di Kabupaten Lembata dan sekitarnya merupakan yang unik
karena fenomena biologi dan geo-ekologi perairan dipengaruhi oleh massa air
yang berasal dari Laut Flores, Laut Banda, Laut Sawu dan dari Samudera Hindia
serta muson barat dan muson timur. Wilayah perairan yang satu dengan yang
lainnya dihubungkan dengan bentuk-bentuk selat yang lebar dan dalam. Keadaan
ini mengakibatkan terjadinya dinamika oseonografi yang tinggi dengan
keanekaragaman sumberdaya hayati laut (Dinas Perikanan Kab. Lembata, 2002).
Dinamika oseonografi sesuai hasil survey dan kajian dari Badan Riset
Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2002 menunjukkan bahwa ciri
perairan Kabupaten Lembata meliputi beberapa aspek antara lain yakni:
1) Arus Air
Arus air permukaan di wilayah perairan utara Kabupaten Lembata mengalir ke
arah timur dan di ujung pulau membelok ke selatan masuk selat Alor. Di bagian
selatan Pulau Lembata, arus mengalir ke arah timur dan bertemu dengan arus yang
datang dari arah berlawanan (arus dari Selat Ombai). Arus dari Selat Ombai
tersebut sebagian membelok ke arah utara memasuki Selat Alor dan sebagian lagi
membelok ke arah baratdaya sejajar pantai dan bertemu dengan arus dari barat.
Keadaan arus di perairan Lembata yang berupa selat memiliki pola arus yang
kompleks. Hal ini disebabkan karena selat tersebut merupakan daerah pertemuan
arus dari utara dan selatan. Kecepatan arus permukaan menunjukkan nilai antara
6,7 cm/detik dan arus kedalaman 25 m dengan kecepatan antara 5 – 33,6 cm/detik.
2) Suhu Perairan
Suhu permukaan laut di perairan
sekitar Lembata antara 24,79 – 30,01 0C. Dari hasil pengamatan, suhu permukaan
di sebelah utara peraiaran Lembata 29,58 – 30.01 0C, sebelah selatan 27,91 –
29,310C, seebelah barat 26,50 – 29,59 0C dan sebelah timur 24,79 – 29,98 0C.
Kisaran suhu di wilayah perairan utara Lembata tampak lebih tinggi dibandingkan
dengan kisaran suhu dibagian selatan. Kondisi ini disebabkan oleh adanya
perbedaan massa air yang berasal dari Samudera Pasifik, sedangkan di sebelah
selatan diduga dipengaruhi oleh massa air yang berasal Samudera Hindia yang
merupakan lanjutan dari massa air yang mengalir dari selatan Jawa.
3) Salinitas
Salinitas permukaan di perairan Lembata berkisar antara 39,25 – 34,85 psu.
Salinitas di perairan sebelah utara berkirar antara 34,74 – 34,85 psu, sebelah
selatan 34,23 – 34,82 psu, sebelah barat 34,44 – 34,84 psu dan perairan sebelah
timur 34,37 – 34,82 psu. Variasi salinitas yang besar ditemukan di periaran
sebelah barat dan timur. Ketebalan homogen lebih kurang 100 meter, hal ini
memberikan indikasi adanya pertemuan arus di dalam selat.
4) Kecerahan Air
Kecerahan air berkisar antara 7 – 22 meter. Kecerahan terendah ditemukan di
perairan Teluk Lewoleba yakni 7 - 11 meter. Kondisi ini diduga disebabkan oleh
andanya penduduk di kota Lewoleba sebagai ibukota kabupaten yang langsung
berhadapan dengan Teluk Lewoleba, disamping adanya aktivitas dan mobilitas
kapal dan perahu yang cukup tinggi di sekitar perairan Teluk Lewoleba, di mana
dermaga pelabuhan kapal dan feri terletak di perairan Teluk Lewoleba.
5) Plankton
Plankton merupakan indikator penting kesuburan suatu wilayah perairan,
karena merupakan dasar dari piramida ekologi dan sistem rantai makanan pada
suatu ekosistem perairan. Kelimpahan fitoplankton tertinggi ditemukan di
perairan Teluk Lewoleba dengan kepadatan 63264 x 103 sel/m3 dan terendah di
bagian utara periaran Lembata dengan kepadatan 76,8 x 103 sel/m3. Dengan
demikian maka perairan di dalam Teluk Lewoleba lebih subur ditinjau dari segi
kepadatan fitoplankton yang berada di dalamnya. Sedangkan di peairan laut bebas
kepadatan fitoplanktonnya rendah, hal ini erat kaintannya dengan kuatnya arus
di perairan bebas.
Hasil pengamatan Badan Riset Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan
pada tahun 2002 menunjukkan bahwa di wilayah periaran Lembata ditemukan kurang
lebih 35 jenis fitoplankton yang didominasi oleh genera Chaetoceros (45,4%),
Rhizololenia (15,2%), Asteorenella (8,4%) dan Skeletonema (8,2%).
Selain fitoplankton, zooplankton juga merupakan salah satu bagian plankton
yang turut menentukan kesuburan suatu ekosistem perairan. Kelimpahan zooplankton
di lapisan permukaan sekitar perairan Lembata berkisar antara 4575 – 114575
individu/m3. Berdasarkan pengamatan oleh badan yang sama pada tahun yang sama
diperoleh hasil bawah kepadatan terendah ditemukan di perairan selatan dengan
tingkat kepadatan zooplankton 4575 individu/m3 dan kepadatan tertinggi
ditemukan di perairan Waijarang dengan tingkat kepadatan zooplankton sebesar
114575 individu/m3. Jumlah genera yang dapat diindektifikasi ketika itu adalah
sebanyak 23 genus yang didominasi Calanus (31,6%), Oithona (31 %), Acartia
(17,2%), dan Oikopleura (6,2%).
4.2. Kondisi Potensi
Sumberdaya Perikanan
Kondisi umum potensi perikanan dan kelautan Kabupaten Lembata memiliki
potensi perikanan dan kelautan yakni kondisi luas perairan lestari sumberdaya
perikanan pelagis dan demersal dari Kabupaten Lembata dari tahun ke tahun
4.2.1. Potensi Lestari dan Produksi Penangkapan
Total potensi lestari perikanan tangkap Kabupaten Lembata sampai pada tahun
2004 sebesar 12.813 ton/tahun. Dari potensi lestari tersebut, jenis ikan
pelagis sebesar 8.832,64 ton/tahun (64,93%) dan ikan demersal sebesar 4.484,64
ton/tahun (31,07%). Potensi perikanan sangat variatif terdiri dari berbagai
jenis ikan yang bernilai ekonomis penting seperti tuna, cakalang, tongkol, tenggiri,
udang besar (lobster), cumi-cumi, kepiting, rumput laut, teripang serta
kerang-kerangan.
Potensi Lestari dan Produksi Penangkapan Ikan Pelagis dan Demesal selama
lima tahun produksi penangkapan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan
rata-rata kenaikan untuk jenis ikan pelagis sebesar 91,95% dan ikan demersal
sebesar 40,92%. Produksi penangkapan untuk jenis pelagis pada tahun 2001
mengalami kenaikan sebesar 25,74%, tahun 2002 kenaikan sebesar 2,91%, tahun
2003 kenaikan sebesar 9,23% dan pada tahun 2004 mengalami kenaikan yang sangat
signifikan yakni sebesar 329,43%. Sebaliknya untuk jenis ikan demersal pada
tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 23,16%, tahun 2002 kenaikan sebesar
23,94%, tahun 2003 kenaikan sebesar 10,11% dan pada tahun 2004 juga mengalami
kenaikan yang cukup tinggi yakni sebesar 106,47%.
Namun demikian jika dicermati, dari data di atas menunjukkan bahwa upaya
penangkapan dan tingkat pemanfaatan belum maksimal. Kondisi ini disebabkan oleh
berbagai faktor keterbatasan baik keterbatasan sumbedaya manusia, sarana dan
prasarana penangkapan yang relatif masih kurang dan sederhana maupun dukungan
sumber dana pembangunan perikanan di Kabupaten Lembata sebagai daerah otonom
yang relarif masih terbatas pula.
Jenis-jenis komoditas yang bernilai ekonomis penting relatif masih lestari
seperti jenis-jenis kerapu, kepiting, udang besar (lobster), kerang-kerangan.
Keadaan ini menjadi potensial untuk pengembangan budidaya laut maupun pantai,
dengan memanfaatkan ketersediaan benih-benih yang masih bersifat alami. yang
didukung oleh kondisi perairan yang relatif masih jernih dan hangat karena
belum adanya polusi baik dari sampah rumah tangga, industri maupun tidak adanya
erosi lahan. Kondisi usaha perikanan tangkap relatif masih didominasi oleh usaha
penangkapan yang bersifat tradisional dan berskala kecil. Jenis armada
penangkapan yang dimiliki nelayan masih sederhana seperti sampan/jukung, perahu
papan, motor tempel dan kapal motor umumnya berukuran 0 – 5 GT.
Kondisi ini membuat masyarakat
nelayan masih berkutat pada masalah bagaimana usaha agar dapat menjelajah dan
memanfaatkan potensi perikanan di wilayah perairan yang lebih dalam. Faktor
lain yang juga menjadi persoalan bagi nelayan adalah minimnya peralatan tangkap
yang masih bersifat sederhana yang relatif masih didominasi oleh peralatan
tangkat gill net dan pancing. Dengan demikian persentase tingkat pemanfaatannya
pun masih relatif sedikit. Tingkat pemanfaatan dari tahun ke tahun mengalami
kenaikan yang relatif kecil kecuali pada tahun 2004 mengalami kenaikan mencapai
47,02%, dengan rata-rata pemanfaatan selama lima tahun sebesar 19,88% dari
potensi lestari penangkapan sebesar 12.813 ton/tahun pada tahun 2004. Pada
tahun 2000 pemanfaatan hanya mencapai 10,87%, pada tahun 2001 tingkat
pemanfaatan 13,58%, selanjutnya pada tahun 2002 tingkat pemanfaatannya hanya
mencapai 14,42% dan pada tahun 2003 tingkat pemanfaatan 13,51%, sedikit
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.
4.1.2. Perkembangan Armada Penangkapan
Armada penagkapan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah dan
hasil tangkapan nelayan. Bagi nelayan tangkap yang usaha menangkap ikan di laut
lepas armada pengkapan merupakan faktor yang sangat menentukan. Terdapat
penambahan cukup signifikan jumlah armada penangkapan dari tahun ke tahun
khususnya untuk jenis sampan/jukung, perahu papan dan motor tempel, meskipun
pada tahun 2002 perahu papan dan motor tempel sedikit mengalami penurunan.
Berbeda hal untuk jenis motor ketinting dan kapal motor 0 - 5 GT cenderung
mengalami penurunan yang cukup berarti yakni terjadi pada tahun 2001 – 2004.
Peningkatan jumlah sampan/jukun dan perahu papan dari tahun ke tahun karena
nelayan umumnya masih terikat oleh sistem penangkapan yang bersifat
tradisional. Selain itu ketersediaan modal juga merupakan faktor yang
mempengaruhi nelayan untuk beralih ke sistem penangkapan dan armada penangkapan
yang lebih modern. Kuat dugaan bahwa banyak nelayan pada beberapa desa pesisir
masih terikat sistem adat dan kearifan lokal seperti yang terdapat pada nelayan
di Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B. Nelayan di kedua desa ini sangat kuat
dengan dengan sistem adat dan ritual penangkapan yang mensyaratkan penangkapan
dengan menggunakan perahu tradisonal (peledang). Hal yang sama juga ditemukan
di Desa Pantai Harapan dan Desa Wulandoni, umumnya nelayan menggunakan armada
penangkapan yang masih sederhana. Informasi yang diperoleh peneliti bahwa
nelayan di kedua desa ini lebih banyak berstatus sebagai nelayan sambilan
tambahan, bukan sebagai nelayan penuh. Masyarakat nelayan di kedua desa ini,
juga memiliki sistem adat dan kearifan lokal dalam memanfaatkan hasil yang laut
yang tidak serakah untuk menangkap secara berlebihan. Pada tahun 2003 dan 2004
terjadi peningakatan jenis armada penangkapan motor tempel. Kondisi ini terjadi
karena ketika itu munculnya Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
(PEMP) sehingga banyak kelompok nelayan terbentuk, akibatnya banyak nelayan
yang kurang memiliki dukungan modal beralih dan terlibat pada program ini.
Selain itu, pada tahun 2003 dan 2004 di NTT terdapat Program GEMALA (Gerakan
Masuk Laut) yang dicanangkan oleh pemerintah NTT, maka banyak masyarakat
pesisir yang sudah mulai berorientasi ke laut. Masyarakat yang tidak mampu
menjelajah laut lepas, mereka lebih memilih berusaha budidaya rumput laut,
sehingga peningkatan jumlah sampan dan juku bukan saja semata-mata untuk
kepentingan sebagai armada penangkapan tetapi juga untuk kepentingan usaha
budidaya rumput laut. Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya penurunan armada
penangkapan kapal motor 0-5 GT seperti yang terlihat pada tabel 4.7 di atas.
4.2.3. Perkembangan Alat Penangkapan
Sama halnya dengan armada penangkapan, jenis dan alat tangkap juga
merupakan faktor penting bagi nelayan tangkap dalam menentukan hasil usaha
penangkapan. Data pada tabel 4.8 berikut memperlihatkan bahwa perkembangan
jumlah alat tangkap dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup
berarti pada semua jenis alat tangkap. Namun demikian jika dilihat secara
cermat, maka terdapat penurunan jumlah alat tangkap khusus untuk jenis alat
tangkap gill net pada tahun 2002 dan alat tangkap bagan pada tahun 2002, 2003
dan tahun 2004. Demikian juga, untuk alat tangkap jenis pancing mengalami
penurunan pada tahun 2001 dan 2002 serta jenis alat tangkap bubu mengalami
penurunan pada tahun 2002.
Secara rinci persentase kenaikan dan penurunan untuk masing-masing jenis
alat tangkap selama tahun 2000 sampai 2004 sebagai berikut:
1) Purse siene; jika dibandingkan pada tahun 2000, maka pada tahun 2001
mengalami kenaikan jumlah sebesar 200%, dan seterusnya tahun 2002 mengalami
kenaikan sebesar 241,67%, tahun 2003 kenaikan sebesar 87,80% dan pada tahun
2004 kenaikan sebesar 61 61 11,69%. Dengan demikian rata-rata kenaikan untuk
jenis Purse siene selama empat tahun sebesar 135,29%. Ini merupakan suatu
kenaikan yang cukup besar.
2) Gill Net; pada tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 0,78%, pada tahun
2002 mengalami penurunan sebesar -4,31%, pada tahun kenaikan lagi sebesar
30,31% dan pada tahun 2004 kenaikan sebesar 1,53% dengan rata-rata kenaikan
untuk jenis alat tangkap Gill Net sebesar 7,08%.
3) Bagan; alat tangkap ini perkembangannya dari tahun ke tahun mengalami
penurunan, meskipun pada pada tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 29,41%.
Rata-rata persentase penurunan selama empat tahun mencapai -8,38%. Tahun 2002
peralatan ini mengalami penurunan mencapai -31,82%, dan selanjutnya pada tahun
2003 mengalami penurunan lagi mencapai -31,11%. Sedangkan pada tahun 2004 tidak
mengalami kenaikan maupun penurunan (tetap = 0,00 %).
4) Pancing; peralatan ini merupakan
peralatan yang hampir dimiliki oleh semua nelayan dan merupakan peralatan yang
jumlahnya paling banyak disamping gill net. Pada tahun 2001 alat tangkap
pancing mengalami kenaikan 12,37%, namun pada tahun 2002 mengalami penurunan
mencapai -15,51%. Pada tahun 2003 pancing kembali mengalami kenaikan yang cukup
berarti yakni mencapai 59,37% dan pada tahun 2004 kenaikan hanya mencapai 1,00%
dengan rata-rata kenaikan selama empat tahun sebesar 14,31%.
5) Bubu; peralatan ini mempunyai rata-rata kenaikan selama empat tahun
dengan jumlah yang relatif kecil yakni sebesar 1,46%. Jika dilihat perkembangan
per tahun, maka pada tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 1,09%, pada tahun
2002 mengalami penurunan sebesar -5,98%, namun pada tahun 2003 mengalami
kenaikan lagi sebesar 10,44% dan pada tahun 2004 mengalami kenaikan hanya
sebesar 0,30%.
6). Rumpon (alat bantu); Rumpon merupakan alat bantu penangkapan yang cukup
banyak dimiliki oleh para nelayan di Lembata, menempati urutan kedua setelah
purse siene. Rata-rata kenaikan selama empat tahun sebesar 23,19%, dengan
rincian tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 31,58%, tahun 2002 kenaikan
mencapai sebesar 12,00, tahun 2003 mengalami kenaikan lagi sebesar 37,50% dan
pada tahun 2004 kenaikan sebesar 11,69%.
Seperti halnya pada armada penangkapan, perkembangan penggunaan alat
tangkap dari tahun ke tahun, banyak nelayan juga relatif masih menggunakan alat
tangkap gill net dan pancing. Jumlah kedua jenis alat tangkap ini secara
signifikan lebih besar jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Kondisi
ini pula lebih disebabkan oleh faktor keterbatasan modal dan banyaknya nelayan
pada masyarakat pesisir yang berstatus sebagai nelayan sambilan tambahan.
Faktor keterampilan nelayan juga merupakan hal yang turut berpengaruh.
Dalam hubungannya dengan kearifan lokal dan sistem adat, melalui wawancara
individu maupun diskusi kelompok diperoleh informasi bahwa pada beberapa desa
pesisir sangat taat terhadap ritual dalam penggunaan armada dan alat
penangkapan. Banyak nelayan belum beralih dari penggunaan armada dan alat
penangkapan yang lebih modern bukan saja karena dipengaruhi oleh masih kuatnya
sistem kepercayaan tradisional dan kearifan lokal, namun pada dasarnya lebih
dipengaruhi oleh keterbatasan modal, kesungguhan berusaha, pengalaman,
pengetahuan dan keterampilan nelayan itu sendiri dalam melakukan kegiatan
penangkapan (fishing) ke laut lepas.
4.3. Potensi Budidaya
Perikanan
Potensi lahan budidaya perikanan laut di Kabupaten Lembata diperoleh
gambaran luasan areal budidaya perikanan sebesar 886 Ha. Dari luas areal
tersebut sesuai dengan kondisi perairan dan kelayakan ekologis cocok untuk
dikembangkan jenis komoditas budidaya perikanan dengan distribusi luas areal
untuk budidaya ikan (210 Ha), rumput laut (271 Ha) teripang (170 Ha) dan kerang
mutiara (235 Ha).
Jumlah potensi areal budidaya yang ada belum banyak dimanfaatkan secara
optimal. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pemanfaatan yang baru mencapai 180
Ha (20,32%). Kondisi ini disebabkan oleh masih terbatasnya sumberdaya manusia
masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir. Belum banyak nelayan atau
masyarakat pesisir yang memiliki keterampilan, ilmu Pengetahuan dan Teknologi
yang memadai dalam kegiatan budidaya perikanan laut.
Pemanfaatan potensi lahan budidaya di Kabupaten lembata masih sangat
terbatas dengan tingkat pemanfaatan sangat rendah. Untuk komoditas jenis ikan
tingkat pemanfaatan baru (4,76%), rumput laut (7,38%), teripang (8.82%), dan
kerang mutiara (1,67%). Masyarakat di kawasan pesisir masih terpasung oleh
sistem dan pola-pola penangkapan ikan yang bersifat tradisional sehingga
peningkatan dan pengembangan ekonomi nelayan bergerak sangat lambat. Disamping
itu dukungan dana dalam rangka mengembangkan usaha budidaya masih sangat
terbatas.
Potensi dan luas lahan budidaya untuk beberapa jenis komoditas di Kabupaten
Lembata masih cukup menjajikan. Dewasa ini kegiatan budidaya laut yang sudah
dikembangkan secara luas oleh masyarakat pesisir adalah kegiatan budidaya
rumput laut. Menurut pengakuan dari beberapa petani rumput laut pada saat
wawancara, mereka mengemukakan bahwa kegiatan budidaya rumput laut sudah banyak
membatu dan memberikan hasil bagi masyarakat pesisir dalam meningkatkan
pendapatan ekonominya. Produksi rumput laut tahun 2004 sebanyak 1.267 ton
kering dengan nilai produksi sekitar Rp. 6.335.000.000,00 (enam milyard tiga
ratus tiga puluh lima juta rupiah).
Namun demikian terdapat fenomena lain yang timbul pada masyarakat di
wilayah pesisir yang berkaitan dengan semakin maraknya perkembangan usaha
budidaya rumput laut adalah klaim masyarakat terhadap penggunaan lahan untuk
kegiatan budidaya rumput laut. Fenomena ini tidak hanya terjadi antara sesama
petani rumput laut, melainkan juga antara nelayan-nelayan tangkap dengan petani
rumput laut. Perahu-perahu para nelayan tangkapan mengalami kesulitan dalam
mobilisasi keluar masuk karena kegiatan budidaya rumput laut dengan menggunakan
sistem long line. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari belum adanya rencana
tata ruang wilayah pesisir bersama zona-zona pemanfaatannya.
Untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas yang mengarah kepada konflik
horisontal terhadap pemanfaatan ruang wilayah pesisir, maka diharapkan Pemerintah
Kabupaten Lembata baik eksekutif maupun legislatis dengan otoritas dan
kewenangan yang dimiliki dapat segera membuat perangkat peraturan dalam bentuk
Peraturan Daerah sehingga dampak yang mungkin ditimbulkan dari fenomena
tersebut diatas dapat diantisipasi sedini mungkin.
Kegiatan budidaya lainnya adalah budidaya pembesaran kerapu dengan sistem
jaring keramba apung (JKA) dan menggunakan benih alamiah. Kegiatan budidaya ini
terdapat pada tiga lokasi yakni di Desa Tapulango, Teluk Lewoleing, Desa Lamawola
dan Desa Lamatokan. Kegiatan budidaya ini dibawa bimbingan dan pendampingan
Yayasan Bina Masyarakat Pesisir. Kegiatan budidaya ini agak membutuhkan
teknologi dan keterampilan serta investasi modal yang cukup sehingga belum
banyak nelayan yang berorientasi ke kegiatan ini. Namun menurut pengamatan
kegiatan ini dengan melalui pendampingan banyak nelayan sudah mulai berminat
dan menurut pengakuan mereka bahwa kegiatan semacam ini akan sangat membantu
mereka dalam mengembangkan dan meningkatkan pendapatannya terutama ketika
mereka tidak melaut, apalagi harga komoditas ini cukup menjanjikan.
Sedangkan budidaya kerang mutiara sudah ada sejak tahun 1999 di Teluk
Tapulango, namun masyarakat di sekitar di kawasan ini diproteksi ruang geraknya
sedemikian rupa, sehingga monopoli usaha dan lahan hanya terbatas investor
yakni PT. Camar Sentosa. Hal ini sangat banyak merugikan masyarakat di sekitar
kawasan karena dari aspek pemberdayaan masyarakat pesisir tidak tampak terjadi.
4.4. Potensi Sumberdaya Manusia
Perkembangan jumlah sumberdaya manusia nelayan sampai pada tahun 2004
cenderung mengalami peningkatan, namun kondisi ini belum secara signifikan
mempengaruhi besarnya hasil upaya penangkapan maupun kegiatan budidaya
perikanan. Keadaan ini dapat dipahami karena peningkatan jumlah nelayan masih
didominasi oleh nelayan sambilan dan nelayan sambilan utama. Penambahan jumlah
nelayan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas keterampilan nelayan
maupun armada dan jenis peralatan tangkap.
Terjadi kecenderungan peningkatan jumlah nelayan dari tahun ke tahun
terutama terjadi peningkatan pada tahun 2003 dan 2004. Peningkatan jumlah
nelayan ketika itu disebabkan oleh adanya motivasi dan dorongan oleh hadirnya
Program Pemerintah baik melalui Program Pemberdayaan Eknonomi Masyarakat
Pesisir (PEMP) maupun Program GEMALA melalui Surat Keputusan Gubernur Propinsi
Nusa Tenggara Timur Nomor 24 Tahun 2002 tentang Gerakan Masuk Laut. Namun
demikian peningkatan jumlah nelayan tersebut belum secara optimal dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan dan kelautan karena banyak kelompok nelayan yang terbentuk
demi mengadobsi sumber dana yang tersedia. Nelayan yang terpanggil bukan karena
prosefesi sehari-hari sebagai nelayan melainkan hanya sebagai nelayan sambilan
tambahan. Hal ini dapat dibuktikan melalui peningkatan jumlah nelayan sambilan
utama dan nelayan sambilan tambahan pada tahun 2003 dan 2004. Dalam pembentukan
kelompok nelayan, aspek keterampilan, pengalaman dan profesionalitas tidak
menjadi pertimbangan yang matang, sehingga keberlanjutan usaha nelayan menjadi
tersendat-sendat bahkan mubazir.
4.5. Penanganan Pasca
Panen Perikanan
Sarana, prasarana dan tingkat keterampilan nelayan dalam pengolahan pasca
panen perikanan merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas dan standart
mutu hasil pengolahan. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung dan melalui
wawancara dengan para nelayan, maupun pihak-pihak terkait dalam pengelolaan perikanan
di Kabupaten Lembata di peroleh informasi bahwa dari produksi perikanan tangkap
yang dihasil oleh para nelayan, sebagian dipasarkan dalam bentuk ikan segar,
dikonsumsi dan lainnya diolah dengan cara dikeringkan dengan cara yang relatif
masih sederhana dan taradisional.
Penanganan pasca panen perikanan
yang baik harus diperhatikan mulai penanganan ikan di atas kapal atau perahu
sampai pada ikan tersebut siap diolah lebih lanjut atau dipasarkan. Kapal-kapal
ikan yang beroperasi di perairan Lembata umumnya terdiri atas dua kemlompok
yakni pertama kelompok kapal milik nelayan tradisonal yang menangkap dan
mendaratkan ikan hasil tangkapannya di perairan Lembata. Kelompok kapal jenis
ini umumnya belum memiliki palka penyimpanan dan persediaan es sehingga lama
waktu operasi hanya satu hari saja (only one day fishing) yakni berangkat sore
dan pulang pagi hari.
Kapal atau perahu-perahu jenis ini, ikan hasil tangkapan biasanya tidak
disortir terlebih dahulu menurut ukuran dan jenisnya dan disimpan saja di dalam
perahu yang tidak diberi es, sehingga para nelayan berusaha untuk segera
mendaratkan ikan hasil tangkapannya di sepanjang pantai terdekat dengan
pemukiman penduduk atau desa tempat tinggal mereka.
Selanjutnya hasil penangkapan tersebut umumnya nelayan menjualnya di Pasar
Lewoleba, Balawuring dan pasar tradisional (pasar desa) dengan cara tunai
maupun dengan cara barter. Proses pengeringan masih sangat tradisional,
sehingga belum menghasilkan hasil pengolahan yang berkualitas dan hygienis.
Keadaan ini terlebih pada saat puncak musim ikan, dimana penanganan pasca panen
hanya dilakukan dengan cara menjemur langsung di atas pasir yang sangat
bergantung pada ada tidaknya sinar matahari.
Kelompok kedua adalah jenis kapal yang sudah memadai dan memenuhi standart
mutu yakni kapal penangkap ikan tuna dan cakalang dengan alat tangkap (pole and
line). Kelompok kapal jenis ini adalah milik PT. Dharma Samudera dan Mitra Mas
yang bertempat di Maumere Kabupaten Sikka dan Larantuka Kabupaten Flores Timur.
Kapal-kapal jenis ini memiliki kapasitas penangkapan kurang lebih 4 sampai 5
ton dan kesegaran ikan tetap dipertahankan karena memiliki palka berinsulasi
sebanyak 2 buah dengan membawa es sebanyak 1.600 kg atau 40 balok es (@ 40
kg/balok). Dengan demikian teknik penanaganan ikan di atas kapal sudah memenuhi
persyaratan dan standart mutu sehingga kualitas dan kesegaran ikan tetap
terpelihara sampai ikan tersebut didaratkan.
Selain itu, harus diakui bahwa pemantauan terhadap kualitas produk
pengolahan hasil perikanan belum ada karena institusi yang menangani hal-hal
yang berkaitan dengan kualitas pengolahan sebagai lembaga penjamin mutu belum
dimiliki oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata.
Meskipun masih terdapat keterbatasan baik sumberdaya manusia maupun sarana
dan prasarana pengolahan, namun di Kabupaten Lembata sudah terdapat beberapa
jenis produk olahan yang dapat diproduksi dan dapat dipasarkan di beberapa
tempat di Indonesia dengan kapasitas produksi yang dapat menjawab permintaan.
4.6. Infrastruktur
Perikanan
Infrastruktur yang dimaksudkan di sini adalah sarana dan prasarana yang
berhubungan dan menunjang aktivitas kelautan dan perikanan. Kabupaten Lembata
sebagai Kabupaten baru, terbentuk pada tahun 2000, belum banyak memiliki sarana
dan prasarana perikanan yang memadai. Kondisi demikian akan sangat sulit
meningkatkan pendapatan nelayan.
Sarana perhubungan darat tercatat bahwa 49,4% dari total panjang jalan di
Kabupaten Lembata yang panjangnya 422,95 km mengalami kondisi rusak berat.
Keadaan ini berpengaruh terhadap akses pasar sehingga menyulitkan pemasaran
hasil perikanan dan laut lainnya. Akibatnya sebagian hasil perikanan hanya
dapat dipasarkan dengan sistem barter antara hasil perikanan dengan hasil
pertanian pada pasar-pasar tradisional seperti di Desa Wulandoni, Lamalera A
dan Lamalera B. Lebih lanjut keadaan ini menyebabkan hasil-hasil perikanan
dipasarkan dalam bentuk olahan seperti ikan kering/asin dengan cara pengeringan
dan pengasinan yang relatif masih sangat tradisional.
Untuk pemasaran jenis komoditas perikanan khusus, yang harus membutuhkan
transportasi udara seperti lobster yang dijual dalam bentuk hidup juga
mengalami kesulitan karena frekwensi penerbangan dari dan ke Lewoleba ibu kota
Kabupaten Lembata hanya sekali dalam seminggu. Transportasi laut yang relatif
cukup lancar, namun saat ini masih terbatas pada pengangkutan hasil-hasil
perikanan dan kelautan lainnya dalam bentuk olahan.
Pasar Lewoleba sebagai salah satu pasar yang diharapkan cukup representatif
untuk pemasaran hasil perikanan juga belum memiliki fasilitas yang memadai,
belum memiliki petakan-petakan khusus untuk komoditas dan belum tertata secara
baik serta fasilitas air bersih yang kurang di sekitarnya juga menyulitkan
pemasaran hasil-hasil perikanan.
Kabupaten Lembata sampai saat ini baru memiliki sebuah unit TPI, namun
belum dimanfaatkan sesuai fungsinya karena belum rampung. Disamping itu
berbagai fasilitas pendukung lainnya seperti, pabrik es, cold storage juga
belum dimiliki. Untuk memenuhi kebutuhan nelayan hanya mengandalkan penyediaan
es dari freezer rumah tangga dan pasokan es dari Larantuka (Kabupaten Flores
Timur) yang harus membutuhkan lama waktu perjalanan empat jam. Kondisi ini
mempengaruhi nelayan dalam pengawetan dan pemasaran ikan-ikan segar serta
pengolahan pasca panen lainnya. Disamping itu pabrik garam sebagai salah satu
infrastruktur penyedia stok garam untuk pengolahan ikan asin juga belum
tersedia di Kabupaten Lembata.
4.7. Potensi Kearifan Lokal
Masyarakat pesisir Kabupaten Lembata memiliki potensi dan kekayaan kearifan
lokal yang cukup banyak. Kearifan tersebut dianut sebagai suatu bentuk
peradaban dan sistem nilai serta pranata berkaitan dengan usaha pemanfaatan dan
konservasi sumberdaya alam laut dan pesisir. Kekayaan kearifan lokal/tradsi
tersebut menuntun mereka untuk selalu hidup selaras, harmonis dengan alam
lingkungannya.
4.7.1. Kearifan Pemanfaatan Sumberdaya Laut di Kecamatan Wulandoni
Dalam memanfaatkan sumberdaya laut masyarakat di Kecamatan Wulandoni selalu
mengikuti kebiasaan yang sudah menjadi tradisi adat yakni dengan melakukan
acara ritual yang menurut sistem kepercayaan dan pengetahuan masyarakat
setempat ritual tersebut dapat memberikan hasil usaha mereka sebagai nelayan
maupun keselamatan mereka selama melaut.
a. Kearifan di Desa Pantai Harapan
Masyarakat nelayan Desa Pantai Harapan memiliki ritual yang berhubungan dengan
usaha mereka sebagai nelayan dalam memanfaatakan sumberdaya laut. Ritual yang
biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat yakni:
1) Bito Berue; merupakan suatu tradisi adat yang dilakukan oleh nelayan
setempat sebelum menggunakan sampan/juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di
pantai dengan menggunakan bahan-bahan seperti ayam jantan yang jenggernya masih
utuh. Jengger ayam dipotong oleh tua adat laut (Aho Male) , lalu darahnya
dioles disekeling sampan/juku baru.
2) Lepa Nua Dewe, tradisi ini dilakukan untuk melepas pukat yang ukurannya
kecil yang dalam bahasa setempat disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat
tangkap tradisional masyarakat setempat untuk menangkap ikan serdin dan tembang
biasanya pada musim-musim tertentu selalu muncul diperairan laut daerah
setempat dalam jumlah yang sangat banyak.
3) Bruhu Brito, merupakan suatu tradisi oleh masyarakat nelayan setempat
sebelum melepas pukat baru untuk menangkap jenis ikan selain tembang.
4) Tula Lou Wate, upacara ini merupakan tradisi dalam memberi makan kepada
”leluhur di laut” dengan maksud memanggil ikan agar ikan dapat berkumpul dan
memberikan hasil tangkapan yang banyak.
Semua jenis upacara adat tersebut di atas dilakukan oleh tua adat laut yang
dalam bahasa masyarakat setempat disebut Aho Male. Masyarakat setempat
tampaknya sangat patuh dan taat terhadap sistem nilai setempat. Hal yang
menarik di sini adalah meskipun tradisi-tradisi setempat lebih banyak pada usaha
penangkapan, namun dalam ritual tersebut diwanti-wanti oleh Aho Male bahwa
tidak boleh menangkap dalam jumlah yang sangat banyak.
Jika hasil tangkapan terlalu banyak, maka akan membawa resiko berupa sakit
atau bencana lainnya di laut. Selain itu, adanya tradisi tersebut, masyarakat
nelayan setempat selalu tercipta hubungan kerjasama yang harmonis dalam
semangat gotong royong, tidak saling bersaing dalam usaha penangkapan, termasuk
tidak saling merusak atau mencuri alat-alat tangkap yang dimiliki oleh sesama
nelayan. Juga diakui bahwa adanya tradsi ini dapat menciptakan adanya kesadaran
masyarakat nelayan untuk tidak menangkap dan memanfaatkan hasil-hasil laut
secara bebas, berlebihan dan merusak sumberdaya laut.
b. Kearifan di Desa Wulandoni
Dalam hal usaha penangkapan masyarakat nelayan tradisional di Desa
Wulandoni selalu melaksanakan acara ritual. Ritual biasanya dilakukan sebelum
melepas pukat baru. Sebelum melepas pukat baru ke laut umumnya nelayan
melakukan acara ritual terlebih dahulu dengan acara toto. Ritual, tradisi toto
biasanya dilakukan di pinggir pantai dan dipimpin oleh tuan tanah (tua adat)
setempat yang disapah dengan Lewo Tanah Alap.
Dalam acara ritual toto Tua Adat (Lewo Tanah Alap) akan melakukan
penyembelian ayam jantan merah dan darah ayam dipercik atau dioles pada pukat
dengan berjalan melingkari pukat. Kemudian ayam jantan merah yang sudah
disembeli dimasak dengan cara dibakar, dan bersama dengan material lainnya
(pisang, jangung titi, dan tuak) untuk selanjutnya dilakukan sesajen sebelum
dimakan bersama. Makna penting dari ritual ini adalah agar alat tangkap (pukat)
dapat memberikan hasil yang baik bagi usaha mereka.
Melalui wawancara individu dan diskusi kelompok dengan para nelayan
diperoleh gambaran bahwa keraifan yang dimiliki oleh masyarakat setempat tidak semata-mata
bermakna untuk mendapat hasil yang berlimpah, namun ritual semacam ini biasa
dilakukan untuk menjaga keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri. Makna
lainnya adalah dalam acara semacam ini mencerminkan ikatan sosial dan
kebersamaan antara nelayan. Sebagai perwujudan dari kebersamaan dan ikatan
sosial diantara masyarakat, maka hasil tangkapan untuk pertama kali dari pukat
baru tersebut harus dibagi dan diberikan kepada para janda-janda dan
jumpo-jumpo.
Penghargaan dan penghormatan terhadap Lewo Tanah Alap (Tua Adat) sangat
tinggi, karena hasil tangkapan tua adat selalu mendapat kebagian. Tua Adat juga
dihargai, jika sewaktu-waktu ditemukan ikan jenis besar yang terdampar seperti
lumba-lumba, pari, penyu dan paus yang terdampar, sebelum ikan tersebut
dipotong, nelayan yang menemukan harus terlebih dahulu menghubungi Lewo Tanah
Alap, selanjutnya ikan tersebut dibagi-bagi dengan syarat Lewo Tanah Alap harus
mendapat kebagian bagian kepala dan jantung dari ikan tersebut.
c. Kearifan di Lamalera Lamalera merupakan sebuah wilayah terdapat di
Kecamatan Wulandoni yang terletak disebelah selatan bagian barat Kabupaten
Lembata. Lamalera memiliki dua desa yang berdekatan yakni Desa Lamalera A dan
Desa Lamalera B. Secara sosio-cultur peradaban masyarakat di kedua desa ini
tidak berbeda, karena pada dasarnya berasal dari asal usul yang sama.
Hasil pengamatan peneliti dan melalui wawancara mendalam dengan Tua Adat di
desa ini diperoleh informasi bahwa masyarakat nelayan lamalera memiliki
keunikan tersendiri terutama dalam hubungan dengan aktivitas melaut. Kearifan
Lokal yang sudah menjadi budaya di Lamalera adalah budaya penangkapan ikan paus
secara tradisional. Budaya ini sudah
lama dimiliki dimulai sejak zaman nenek moyang dan tetap dipegang teguh oleh
setiap anggota masyarakat nelayan dan berlangsung sampai sekarang. Dalam hal
penangkapan ikan paus tradisi dan budaya ini terus diwariskan ke generasi
berikutnya. Ritual dan tahapan-tahapan tradisi tatacara adat tersebut merupakan
suatu perpaduan yang sinergis dan harmonis antara adat dan religius serta harus
dilakukan secara teliti, ketat, sempurna dan benar.
Tradisi dan tatacara adat dimaksud dimulai dari proses pembuatan perahu
tradisional khusus digunakan penagkapan ikan paus yang dalam bahasa setempat
disebut peledang, penyiapan peralatan dan sarana penunjang, peralatan
penangkapan ikan paus, proses turun ke laut, pantangan-pantangan dan
larangan-larangan yang harus dihindari serta tatacara pembagian hasil
tangkapan. Aktvitas dan musim penangkapan ikan paus yang dikenal dengan istilah
Leffa Nuang (musim turun ke laut), yang dilasanakan setiap tahun dan biasanya
dimulai sejak bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Suatu hal yang menarik
pada saat Leffa Nuang adalah berbagai ritus baik secara adat budaya maupun
secara religius dipadukan dalam upacara pembukaan musim penangkapan ikan.
Beberapa upacara adat dan tahapan penting yang dilakukan pada Leffa Nuang
adalah sebagai berikut:
• Upacara Tobu Nama Fatta’ ; adalah upacara di mana para Tua Adat Lamalera
berkumpul bersama dengan semua nelayan di sebuah Kapel (Kne’) sejenis rumah
ibadat orang Katolik yang berukuran kecil yang dibangun persis di pinggir
pantai Lamalera. Dalam upacara Tobu Nama Fatta dibicarakan hal-hal yang prinsip
yang berkaitan dengan aturan melaut. Selain itu juga dalam upacara Tobu Nama
Fatta, dapat dijadikan semacam forum evaluasi terhadap berbagai kegiatan,
hambatan para nelayan Lamalera pada musim penangkapan sebelumnya serta
upaya-upaya dan strategi yang harus
diantisipasi dan dihadapi nelayan pada musim penangkapan sekarang. Setelah
upacara ini para Tua Adat akan mengahdap Tuan Tanah Lamalera untuk meminta
restu sehingga Leffa Nuang dapat dimulai.
• Misa Arwah; merupakan kebaktian
secara Katolik yang dipimpin oleh Pastor (Pendeta Katolik) yang bertujuan untuk
mendoakan semua arwah leluhur yang meninggal di laut dan upacara misa ini
dilaksanakan sehari sebelum kegiatan melaut (biasanya dilaksanakan pada setiap
tanggal 30 April).
• Misa Leffa; adalah upacara kebaktian yang bertujuan untuk memohon berkat
serta perlindungan dari Tuhan Allah Yang Mahakuasa (Ama rera wulan tana ekan)
selama Leffa Nuang berlangsung. Pastor akan mereciki dan memberkati semua
perahu (tena/peledang), perlengkapan perahu serta semua nelayan yang siap
melaut. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada setiap tanggal 1 Mei.
• Tena Fulle; adalah upacara di mana salah satu perahu (peledang) tertentu
yang dipercayakan untuk pertama kali melaut pada hari pertama yang didahuli
dengan upacara ritual adat memberi makan kepada arwah leluhur bertempat di
pinggir pantai dan dilakukan oleh Tua Adat (Ata Molang).
Bagi masyarakat nelayan Lamalera aktivitas Leffa Nuang merupakan suatu
aktivitas yang sangat sakral dan memiliki resiko yang sangat tinggi, oleh
karena itu dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara personal dalam komunitas
masyarakat harus dijaga agar tetap harmonis. Tidak boleh terdapat perselisihan
antara nelayan atau kelompok masyarakat bahkan dalam keluarga tidak boleh
terjadi pertengkaran antara suami – istri maupun dengan anak.
Keharmonisan tersebut diwujudkan dengan saling maaf memaafkan sebelum
melaut, karena mereka sangat percaya bahwa jika terjadi perselisihan atau pertengkaran Arwah Leluhur dan Allah Yang
Mahakuasa tidak berkenan dan tidak akan memberikan berkat dan rahmat serta
rezeki yang berlimpah. Mereka juga sangat percaya jika semua tahapan-tahap
secara adat maupun agama tidak dilakukan dengan sempurna serta terjadi
pertengakaran atau perselisihan maka dalam aktivitas melaut akan mengalami
resiko yang dapat bersifat fatal, karena yang mereka hadapi ikan paus yang
merupakan makhluk paling besar penghuni laut. Suasana kerjasama antara nelayan,
pantangan seperti tidak boleh maki, mencuri menjadi tabu bagi nelayan Lamalera.
4.7.2. Kearifan Lokal di Kecamatan Omesuri
a. Kearifan Lokal Desa
Wailolong
Desa Wailolong merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Omesuri dan
memiliki kearifan atau tradisi adat dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut
maupun di darat. Di desa ini, terdapat sistem kepercayaan tradisional, yakni
menurut mereka bahwa di laut ada penguasanya yang disebut ”hari” dan penguasa
di darat yang disebut ”neda ”. Adanya sistem kepercayaan ini mendorong pemangku
adat ”lemaq ” untuk melakukan ritual ’kolo umen bale lamaq” yakni upacara
memberi makan kepada penguasa di laut sebelum mereka melakukan penangkapan,
budidaya rumput laut maupun pengelolaan sumberdaya pesisir seperti penanaman
bakau. Namun demikian tradisi ini hanya dilakukan oleh orang tertentu dan
sifatnya perorangan, belum merupakan suatu kesepakatan bersama.
Melalui wawancara mendalam dengan tokoh kunci dan wawancara kelompok dengan
masyarakat diperoleh gambaran informasi bahwa hasil-hasil usaha nelayan saat
ini mengalami penurunan, sebagai akibat dari banyaknya hasil-hasil laut yang
sudah hilang seperti agar-agar, bakau dan teripang. Terdapat aspirasi
masyarakat desa ini khususnya masyarakat nelayan yang hidupnya sangat bergantung
pada hasil-hasil laut, menghendaki agar ritual semacam ini perlu dilakukan
secara bersama dan terus-menerus sehingga merupakan aturan atau norma serta
tradisi yang mempunyai makna dapat mengatur tindakan-tindakan manusia terhadap
pemanfaatan sumberdaya alam pesirsir dan laut di tempat itu.
b. Kearifan Lokal Desa
Lebewala
Masyarakat pesisir Desa Lebewala Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata
mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan
pesisir. Dalam pemanfaatan sumberdaya teripang sistem nilai yang mengatur
masyarakat setempat adalah ”poan kemer puru larang” yakni suatu tradisi
larangan secara adat bagi masyarakat untuk tidak mengambil hasil-hasil laut
secara bebas. Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua
adat dan dukun-dukun melakukan ritual terlebih dahulu. Dukun (Ata Molang) akan
melakukan ritual dan selanjutnya masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah
kurang lebih 2 tau 3 hari, Ata Molang akan melakukan ritual pelarangan kembali
wilayah perairan tersebut.
Selain Ata Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah
Desa Lebewala juga memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara
hukum yakni berupa sanksi denda dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan
kambing jantan besar senilai satu juta rupiah. Dengan adanya sanksi secara adat
dan atauran pemerintah tampaknya membuat masyarakat kawasan pesisir desa ini
cukup jerah dalam melakukan tindakan pengurasakan atau pengambilan teripang
secara bebas.
c. Desa Balawuring
Desa Balawuring merupakan ibukota Kecamatan Kecamatan Omesuri dan merupakan
suatu merupakan suatu wilayah perairan teluk yang cukup dalam sehingga di
tempat ini terdapat sebuah dermaga yang dapat melayani pendaratan kapal-kapal
ikan dan kapal-kapal perintis lainnya.
Karakteristik masyarakat di Desa Balawuring sedikit berbeda dengan
masyarakat pesisir di desa-desa lainnya. Hal ini disebabkan oleh komunitas
masyarakatnya yang cukup heterogen dan pola peradaban penduduk di wilayah desa
ini sudah banyak dipengaruhi oleh masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang
yang bermukim di wilayah pesisir di desa yakni dari suku Bajo dan Bugis. Oleh
karena itu ritual yang berkaitan dengan kearifan lokal dan adat istiadat yang
berhubungan dengan kegiatan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir
sudah tidak ditemukan pada masyarakat di desa ini. Sebagai contoh banyak
masyarakat dari Suku Bajo memiliki bangunan rumah panggung di atas laut. Mereka
menebang pohon bakau dan selanjutnya digunakan sebagai bahan bangunan dan
jembatang/jalan pengubung antara rumah yang satu dan lainnya. Perilaku
masyarakat dan pola pemukinan seperti ini tampaknya bertentangan dengan
nilai-nilai dan aspek-aspek konservasi sumberdaya. Perilaku dan pola pemukiman
semacam ini memberi dampak yang cukup besar terhadap kerusakan hutan mangrove
dan sumberdaya pesisir lainnya serta tingkat pencemaran limbah rumah tangga
yang cukup tinggi di wilayah perairan Teluk Balawuring.
4.7.3. Kearifan Lokal Kecamatan Ile Ape
a. Desa Watodiri Desa
Watodiri adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Ile Ape. Watodiri
berasal dari ”wato” yang berarti batu dan ”diri” berarti berdiri, sehingga
Watodiri berarti batu berdiri. Batu tersebut sampai kini masih berdiri tegak di
pinggir pantai. Pemberian nama Desa Watodiri sebenarnya muncul kemudian yakni
ketika terjadi pembentukan desa gaya baru di wilayah itu. Mulanya nama asli
wilayah ini, lebih 82 82 dikenal oleh masyarakat setempat sejak zaman dulu
adalah Lewu Kimakama yakni sebuah kampung yang kini menjadi sebuah dusun yang
langsung berada di pesisir. Lewu Kimakama secara harafiah berarti ”kampung
kulit kerang”.
Masyarakat pesisir Desa Watodiri memiliki pranata tradisional dan kearifan
lokal dalam upaya konservasi lingkungan. Hasil wawancara dengan tokoh adat dan
masyarakat setempat diperoleh gambaran bahwa mereka menyadari dan memahami
tentang adanya saling ketergantungan antara kehidupan mereka dengan kehidupan
makhluk lainnya yang hidup di bumi ini. Filosofi dasar ini tertuang pula dalam
hasil kajian mengenai revitalisasi dan refungsionalisasi kearifan lokal dalam
konservasi terumbu karang dan mangrove yang dilakukan oleh Kotan, et. al.,
(2003) di desa ini. Kotan, et.al., (2003), menjelaskan bahwa masyarakat di Desa
Watodiri sangat menyadari akan eksistensi kehidupan mereka dengan eksistensi
kehidupan makhluk lainnya dalam kebersamaan di bumi yang sama dan satu ini.
Khusus yang berhubungan dengan eksploitasi dan konservasi sumberdaya laut
dan pesisir masyarakat memiliki kearifan yang disebut ”Badu”. Badu sampai kini
masih diakui dan dianut serta tetap dipelihara secara baik oleh masyarakat
setempat. Menurut penuturan tokoh-tokoh kunci dan masyarakat setempat bahwa
badu dapat bermakna eksploitasi yaitu pada saat diperbolehkan tangkap (buka
badu) dan juga bermakna konservasi yakni pada saat dilarang/ditutup (letu
badu). Upacara penangkapan hasil-hasil laut secara bebas oleh masyarakat di
wilayah ini baik yang berada di wilayah pesisir (Lewu Leing) maupun yang berada
di pegunungan (Lewu Werang). Kegiatan ini bermakna memberi makan kepada banyak
orang dan dinikmati bersama yang dalam bahasa masyarakat setempat disebut ”pau
ribu ratu”.
Tahapan-tahapan pembukaan badu (buka badu) dilakukan sebagai berikut:
• Penguasa wilayah laut atau penjaga
pantai (Nama Watan) menyampaikan kepada Penguasa ulayat/adat (Kebelen Raya)
bahwa ikan-ikan di perairan daerah badu sudah banyak sehingga sudah tiba
saatnya kegiatan buka badu dapat dilaksanakan.
• Pemimpin ulayat (Kebelen Raya) bersama tokoh lainnya dan pemerintah
setempat merencanakan dan menetapkan waktu yang tepat untuk dilaksanakan
pembukan badu.
• Berdasarkan kesepakatan waktu yang
ditentukan oleh Kebelen Raya, penjaga pantai (Nama Watan) akan segera menyampaikan
secara luas kepada para pemilik perahu, sampan dan pukat serta masyarakat luas
di wilayah desa itu, termasuk juga mereka yang berada dipegunungan (Lewu
Werang) untuk menangkap ikan-ikan di daerah pembukaan badu.
• Semua peralatan tangkap dan nelayan serta masyarakat harus melakukan
ritiual sesajen yang dalam bahasa setempat disebut ”tunu muku manu” yang
memiliki makna memberi makan kepada arwah/roh leluhur (pau lewotana) yang telah
meninggal di laut. Acara ini dilakukan oleh seorang tua adat (Ata Molang) yang
memiliki wewenang untuk melaksanakan ritual tersebut.
• Setelah ritual tunu muku manu dan pau lewotana selesai, penjaga pantai
(Nama Watan) akan masuk ke dalam laut dan melepas pukat pertama, kemudian baru
diikuti oleh yang lain. Sedangkan Kebelen Raya tidak melakukan penangkapan,
namun Kebelen Raya selalu mendapat kebagian dari semua mereka yang memiliki
perahu, sampan dan pukat.
• Upacara buka badu ini hanya berlangsung sehari dalam setahun yang pada
waktu pagi sampai petang menjelang malam. Ketika hari mulai senja dan
menyongsong malam Kebelen Raya bersama Nama Watan dan pemerintah desa setempat
harus melakukan acara larangan/penutupan (letu badu). Acara ditandai dengan penancapan sebuah kayu/tiang yang diikat
dengan pucuk daun kelapa berwarnah putih. Selama wilayah perairan badu ditutup,
masyarakat nelayan desa ini tidak diperkenankan melakukan aktivitas penangkapan
ikan dan sumberdaya lainnya di dalam wilayah larangan, mereka hanya
diperkenankan menangkap di luar dari wilayah badu . Kepatuhan dan ketaatan
masyarakat terhadap sangat tinggi sesuai informasi dan penuturan masyarakat
desa dan nara sumber. Tahapan-tahapan tersebut di atas harus dilakukan secara
baik dan sampai kini masih terus dilakukan serta digunakan sebagai penuntun
hidup dan kebersamaan mereka dengan alam lingkungan. Kuatnya nilai kearifan
lokal ini sangat dipengaruhi oleh struktur kelembagaan adat di Kerajaan Lewu
Kimakama di Watodiri seperti pada bagan struktur berikut.
Revitalisasi dan Refungsionalisasi
Konservasi Terumbu Karang dan Mangrove di NTT. Pembagian kerja dari struktur
kekuasaan kelembagaan adat di atas adalah sebagai berikut: - Kebelen Raya;
sebagai penguasa (Raja) yang memiliki peran sebagai penguasa dalam sistem
pemerintahan adat baik di pegunungan (Lewu Werang) maupun di pantai (Lewu
Leing) dan membawahi Beleng Lewhong. - Beleng Lewhong; memiliki peran semacam
Perdana Menteri yang memimpin pemerintahan dalam praktek serta mengambil
kebijaksanaan makro pemerintahan kampung (Lewotana) baik Lewu Werang maupun Lewu
Leing. - Jaga/Niang; sebagai pelaksana teknis yang berada di bawah Beleng
Lewhong, meliputi Jaga/Niang Nama Watan yang berperan sebagai penjaga/pelestari
wilayah pesisir, dan Jaga/Niang Ile Wokal atau Onge Woi memiliki peran sebagai
penjaga/pelestari wilayah pegunungan. - Unit fungsional dalam struktur dan
kelembagaan adat ada 3 (tiga) yakni Atamukin yang memiliki fungsi
kependetaan/imam dalam memimpin upacara persta syukuran, Beamimeng Beku Eweleng
memiliki fungsi sebagai kemiliteran yang bertugas menjaga keamanan kampung dan
mengusir gangguan musuh yang datang dari luar kampung dan lembaga fungsional
yang ketiga adalah Ahu Kliki Manu Klewa yang memiliki fungsi sebagai dukun dan
bertugas melindungi masyarakat dari berabagai wabah penyakit dan mengusir setan
serta roh jahat/kekuatan gaib yang mengganggu warga kampung.
b. Desa Lamatokan Desa Lamaton adalah salah satu desa pesisir di wilayah
Kecamatan Ile Ape. Masyarakat di wilayah ini juga memiliki pranata dan aturan
adat yang bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat
di wilayah desa ini berasal dari Suku Kedang, dan dalam kehidupan sehari-hari
mereka menyadari akan betapa pentinnya sumberdaya laut dan pesisir demi
menopang kehidupan mereka.
Dengan adanya kesadaran tersebut dan semakin meningkatnya kerusakan yang
dilakukan oleh nelayan-nelayan luar dan melintasi disekitar wilayah perairan
tersebut maka mereka menetapkan daerah larangan dan masyarakat tidak boleh
mengambil hasil-hasil laut yang terdapat di dalamnya. Tradisi larangan yang
terdapat di Desa Lamatokan dikenal dengan nama ”Muro”. Tradisi ini masih
berlaku sampai sekarang dan masyarakat memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap
larangan tersebut. Larangan ini disertai dengan sanksi dan denda yang
disepakati baik secara adat maupun melalui Peraturan Desa. Bentuk sanksi yang
disepakati adalah berupa uang tunai sebesar satu juta rupiah dan kambing jantan
dan babi besar seharga satu juta masing-masing satu ekor.
Semua hasil kesepakatan adat dan bentuk-bentuk sanksi yang telah disetujui
oleh Tuan Tanah (Lewotana Alaweng) harus disosialisasi melalui pengumuman
kepada masyarakat luas untuk diketahui dan dilaksanakan. Tugas ini biasanya
dilakukan oleh pembantu Lewotana Alaweng yang dalam bahasa setempat ”Taran
mekin taran wanan”. Disamping itu perangkat pemerintahan desa setempat juga
turut memberikan sosialisasi kepada masyarakat baik para nelayan maupun non
nelayan. Menurut pengakuan tokoh-tokoh kunci dan masyarakat nelayan setempat
bahwa dengan adanya sanksi tersebut cukup efektif dan membuat jera tindakan
nelayan yang biasanya melakukan merusak sumberdaya alam pesisir dan laut.
Perilaku dan peradaban masyarakat seperti di atas ternyata memberi makna
positif bagi upaya konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut.
Oleh karena itu sebelum melakukan usaha penangkapan ikan, budidaya maupun
melakukan larangan selalu didahului dengan upacara ritual. Masyarakat nelayan
di Desa Lamatokan sebelum melepas pukat, sampan dan yang perahu baru, maupun
usaha budidaya rumput laut dan keramba jaring apung Balawaheng (pemimpin
upacara) melakukan upacara ritual untuk memberi makan kepada arwah nenek moyang
(leluhur) yang dalam sebutan mereka dikenal dengan nama ”Pau boe ama opo koda
kewoka” dengan harapan semoga usaha mereka dapat membawa hasil yang banyak dan
selalui dijauhi dari aral dan rintangan serta bahaya yang mengancam kehidupan
dan usaha mereka. Acara ini harus dihadiri dan mendapat restu dari Tuan Tanah
atau Tua Adat yang dalam sebutan masyarakat setempat adalah Lewotana Alaweng.
Setelah mendapat restu dari Lewotana Alaweng, pemimpin upacara ritual
(Balawaheng) bersama pemilik pukat, sampan, dan perahu menuju ke Maung (semacam
mesbah) yang terdapat di pantai untuk selanjutnya dilaksanakan acara ritual.
c. Desa Dulitukan Badu merupakan istilah yang digunakan untuk menangkap
ikan tembang yang dalam bahasa setempat disebut ”kete” dan dilakukan secara
masal oleh masyarakat empat desa (Tagawiti, Dulitukan, Kolipadan dan Palilolon)
di hamparan Tanjung Bahagia Kecamatan Ile Ape. Tempat penangkapan ini berada
pada sebuah teluk yang panjangnya kurang lebih 400 meter dari peraian laut
Nereng dengan lebar sekitar 20 meter. Di sekitar teluk ini terdapat hamparan
pohon bakau (mangrove) yang cukup lebat. Teluk Nereng ini berada di hamparan Tanjung
Bahagia dan berhadapan dengan kota Lewoleba ibukota Kabupaten Lembata.
Waktu penangkapan ikan ini hanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu
sekitar bulan Agustus sampai Oktober pada saat air surut dan biasanya terjadi
pada siang hari. Tradisi ini berlangsung semenjak nenek moyang keempat desa ini
berada di wilayah ini. Sebelum kegiatan badu dibuka untuk masyarakat umum,
pemimpin adat (Kebelen Raya) dan penjaga pantai (Nama Watan) terlebih dahulu
melakukan suatu upacara adat (ritual) yang bermakna meminta izin kepada
penghuni laut dan roh-roh nenek moyang yang meninggal di laut dengan maksud
supaya hasil tangkapan mereka berlimpah. Kegiatan ritual biasanya dilakukan di
pinggir pantai di sekitar tempat penangkapan.
Peralatan yang dipakai untuk menangkap ikan ini adalah jalah dan jenis
peralatan tradisional yang disebut pewai . Peralatan jala pada waktu itu hanya
dimiliki 4 – 5 orang saja, sedangkan yang lainnya hanya memiliki peralatan
taradisional pewai. Dengan peralatan yang dimiliki mereka dapat menangkap hasil
yang banyak. Kegiatan ini dimaksudkan agar masyarakat di wilayah keempat desa
ini tidak menggunakan hasil-hasil laut secara leluasa dan mereka juga menyadari
dengan cara ini sumberdaya pesisir dan laut dapat dijaga dan dilestarikan
sehingga ketika musim buka badu tahun berikutnya dapat memberikan hasil yang
lebih banyak lagi.
Namun demikian tardisi ini yang baik dan memiliki makna konservasi ini
sudah melai berangsur pudar dan bahkan ketika peneliti melakukan observasi dan
wawancara kepada masyarakat dan pemimpin di wilayah diperoleh informasi bahwa
tradisi badu sudah tidak lagi dilaksanakan oleh masyarakat setempat pada
puluhan tahun terakhir. Disampaikan pula bahwa tidak dilaksanakan tradisi ini
disebabkan oleh pertama, kurangnya sistem penguatan kelembagaan adat dan
pewarisan kepada generasi berikutnya dalam melaksanakan upacara badu. Kedua,
arus masuk dan keluarnya kapal-kapal yang melintasi wilayah perairan Teluk
Nereng yang semakin ramai karena berhadapan langsung dengan kota Lewoleba. Ketiga,
akhir-akhir ini terdapat semakin maraknya para nelayan yang melakukan cara
penangkapan ikan dengan mengunakan bom dan racun lainnya.
4.8. Pembangunan Perikanan dan Pemberdayaan Kearifan Lokal Pembangunan
Perikanan di Kabupaten Lembata, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan
terbentuknya Kabupaten Lembata pada tahun 2000, pemerintah daerah dengan
melalui keterbatasan sumberdaya manusia maupun dana, telah berusaha secara
perlahan-lahan memberikan fokus perhatian terhadap pembangunan sektor ini.
Pemerintah Kabupaten Lembata sangat menyadari akan keberadaan potensi
sumberdaya laut yang cukup besar, maka arah dan kebijakan pembangunan perikanan
dan kelautan tetap menjadi perhatian dari tahun ke tahun, meskipun program
pengembangan dan kegiatan pembangunan perikanan serta dukungan dana diakui
masih sangat kecil dari tahun ke tahun, jika dibandingkan dengan jumlah
anggaran pembangunan seluruh Kabupaten Lembata maupun sektor lainnya.
Namun demikian komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata terhadap
pembangunan sektor ini tetap menjadi perhatian serius. Komitmen tersebut dapat
ditunjukkan melalui berbagai program dan kegiatan serta alokasi anggaran yang
disetujui untuk pembangunan perikanan dan kelautan selama 5 tahun seperti yang
tercantum dalam tabel 4.15 berikut.
Dalam aspek pemberdayaan masyarakat, kearifan lokal, sistem kepercayaan
masyarakat, pengetahuan-pengetahuan tradisional, hukum adat yang berhubungan
dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan tampak belum menjadi
perhatian yang serius. Jika dicermati dari program dan kegiatan yang ada dari
tahun ke tahun tampak banyak yang berorientasi pada proyek. Penekanan program
dan kegiatan pada aspek pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir masih
sangat kurang. Lebih lanjut program-program dan kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan pemberdayaan, rivitalisasi dan refungsionalisasi kearifan
lokal, hukum adat tradisi dan budaya masyarakat pesisir dan nelayan dalam
rangka penguatan kelembagaan lokal untuk memperkuat local governence hampir tidak
mendapat perhatian sama sekali. Sementara di lain pihak, keberadaan kelembagaan
lokal berserta kearifan lokal, tradisi, dan hukum adat, diakui memiliki peranan
yang sangat strategis dalam mengadobsi berbagai program-program dan kegiatan
pembangunan.
Data pada tabel 4.15 menunjukkan bahwa dari aspek program dan kegiatan
maupun anggaran setiap tahun mengalami perubahan. Pada tahun 2000 ketika
Kabupaten ini mulai terbentuk terdapat 2 program dan kegiatan dengan besar
anggaran Rp. 415.250.000,00. Selanjutnya pada tahun 2001 dengan satu program
yang mencakup tiga kegiatan dan dari segi dana mengalami peningkatan sebesar
Rp. 660.000.000,00 (58,95%), Jika dibandingkan pada 2001, pada tahun 2002 hanya
terdapat satu progam dengan kegiatannya tidak dijabarkan secara rinci, namun
besarnya anggaran mengalami peningakatan menjadi Rp. 1.070.000.000,00 atau
mengalami kenaikan sebesar 62,12%. Selanjutnya pada tahun 2003, dari aspek
program dan kegiatan mengalami peningkatan yakni terdapat tiga program dan
dijabarkan 14 kegiatan, namun dilihat dari sisi anggaran mengalami penurunan
menjadi Rp. 724.800.000,00 atau mengalami penurunan sebesar -32,26% jika
dibandingan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2004 terdapat tiga program dan
dijabarkan dalam 13 kegitan dengan jumlah anggaran mengalami kenaikan sebesar
98,29% atau sebesar Rp. 1.437.225.000,00. Dengan demikian rata-rata kenaikan
anggaran pembangunan Dinas Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Lembata selama
lima tahun 37,42%. Jika dicermati dari total anggaran pembangunan seluruhnya
maka alokasi dana untuk sektor ini masih terasa sangat kecil. Sebagai gambaran
distribusi dan alokasi anggaran penunjang kegiatan Pembangunan Catur Program
Kabupaten Lembata dapat dilihat pada tabel 4.16. Data tabel 4.16 menunjukkan
bahwa alokasi dana untuk menunjang Program Pengembangan Ekonomi Rakyat pada
tahun 2001 – 2004 secara berturut-turut mengalami peningkatan yakni 05,04%,
09,56%, 10,83% dan 12,32%. Suatu yang menggembirakan bahwa dari dana penunjang
Catur Program tersebut sektor perikanan dan kelautan mendapat alokasi dana yang
relatif cukup besar meskipun mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Dari
tahun 2001 -2004 alokasi dana sektor perikanan yang diambil dari dana penunjang
Catur Program Pengembangan Ekonomi Rakyat secara berturut-turut adalah 29,51%,
18,21%, 10,24% dan 17,91%. Angka ini terlihat cukup besar, namun jika
dibandingkan dengan total anggaran dana penunjang Catur Program, maka sektor
perikanan dan kelautan mengadobsi dana yang relatif masih sedikit yakni secara
berturut dari tahun 2001 – 2004 adalah 01,49%, 01,74%, 01,11 dan 02,21%. Dengan
demikian, maka perubahan dan kecepatan pertumbuhan pembangunan sektor perikanan
dan kelautan masih sangat lambat.
Selain itu jika dicermati dari program dan kegiatan yang ada dari tahun ke
tahun tampak banyak yang berorientasi pada proyek. Penekanan pada aspek
pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir masih sangat kurang. Lebih lanjut
program-program dan kegiatankegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan,
rivitalisasi dan refungsionalisasi kearifan lokal, hukum adat tradisi dan
budaya masyarakat pesisir dan nelayan dalam rangka penguatan kelembagaan lokal
untuk memperkuat local governence hampir tidak mendapat perhatian sama sekali.
Sementara di lain pihak keberadaan kelembagaan lokal berserta kearifan lokal,
tradisi, dan hukum adat memiliki peranan yang sangat strategis dalam mengadobsi
berbagai program-program dan kegiatan pembangunan.
4.9. Persepsi dan Aspirasi Masyarakat Tentang Kearifan Lokal 4.9.1.
Persepsi Masyarakat Terhadap Kearifan Lokal Persepsi masyarakat di lokasi
sampel penelitian, terhadap nilai-nilai kearifan lokal, hukum adat, dan tradisi
budaya sampai saat ini diakui masih sangat kuat. Berdasarkan hasil pengamatan
peneliti dan melalui kegiatan wawancara mendalam baik secara individu maupun
melalui wawancara dan diskusi kelompok terbatas diperoleh gambaran bahwa
masyarakat pesisir sampai saat ini, masyarakat memandang bahwa nilai yang
keraifan lokal terutama dalam kaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam laut dan pesisir merupakan bagian integral dan melekat dengan
aktivitas kehidupan mereka.
Sistem nilai ini merupakan pranata yang dapat menuntun dan mengatur
hubungan mereka dengan alam lingkungannya. Mereka memiliki pemahaman dan
kepercayaan bahwa alam memiliki suatu kekuatan dan alamlah yang dapat memberi
mereka rezeki serta keberuntungan. Dilain pihak mereka juga percaya bahwa pada
kondisi tertentu, ketika penghuni alam ini, maksudnya manusia serakah dan
bertindak dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut dan pesisir tidak sesuai
dengan sistem nilai, hukum adat dan tradisi budaya yang dianut, maka alam akan
bertindak sebaliknya yakni memberi sanksi dan hukuman kepada manusia.
Menurut sistem kepercayaan masyarakat setempat bentuk hukuman yang alam
berikan kepada mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut dan pesisir yang
tidak sesuai dengan kesepakatan adat dan tradisi masyarakat setempat, dapat
berupa bencana alam, sakit yang tidak dapat diobati secara medis, kecelakaan
baik di laut dan di darat (tenggelam, digigit ikan hiu, paus, ular atau jatuh
dari pohon). Resiko dan hukuman alam ini dapat dialami secara fatal yakni
menimbulkan kematian dan/atau hanya menimbulkan kecelakaan seperti luka, patah,
hilang beberpa organ tubuh dan dapat juga menimbulkan kelumpuhan serta
mempengaruhi gangguan kejiwaan (gila).
4.9.2. Aspirasi Masyarakat Terhadap Kearifan Lokal Masyarakat pesisir dan
nelayan pada lokasi penelitian mempunyai aspirasi, gagasan, ide dan kehendak
yang kuat untuk melestarikan, kearifan lokal, adat istiadat, dan hukum adat
yang dimilikinya. Timbulnya aspirasi dan keinginan ini, dilandasi oleh adanya
kesadaran masyarakat tentang nilai penting dan filosofi dasar kearifan lokal
sebagai aspek penuntun moral dalam menata hubungan yang harmonis antara manusia
dengan sumberdaya alam yang terdapat di sekitarnya. Mereka sangat menyadari
bahwa nilai-nilai tersebut merupakan warisan leluhur yang perlu
ditumbuh-kembangkan kembali agar menjadi penuntun moral dan pranata untuk
mengatur masyarakat dalam menfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara
bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Kesadaran masyarakat dalam melestarikan kearifan lokal, adat istiadat dan
hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, juga
disebabkan oleh adanya kekewatiran akan pudarnya atau hilangnya nilai-nilai
kearifan lokal. Fenomena lainnya adalah dewasa ini di mana-mana terjadi
perilaku pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut cenderung bersifat destruktif
dan tidak ramah lingkungan.
Selain itu masyarakat pada lokasi penelitian merasa pesimis dan meragukan
implementasi hukum-hukum positip termasuk aparat penegak hukum. Respons
masyarakat terhadap hukum-hukum positip yang ada dan berlaku sangat rendah. Hal
ini disebabkan karena adanya kenyataan bahwa para pelaku pengursakan lingkungan
yang ditangkap tidak jelas penyesaiannya dan tidak membuat jera terhadap para
pelaku pengrusak lingkungan.
4.10. Peluang Pembedayaan Kearifan Lokal Kearifan lokal, tradisi dan hukum
adat serta lembaga adat yang terdapat di Kabupaten Lembata memiliki peluang
untuk dihidupkan dan ditumbuhkembangkan kembali sehingga dapat mengatur
kehidupan dan menjadi pranata, norma dan aturan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Diakui oleh tokoh-tokoh kunci dan
masyarakat di lokasi penelitian dan melalui informasi dari beberapa nara sumber
dikatakan bahwa masyarakat memiliki kepatuhan dan ketaatan yang sangat tinggi
terhadap nilai-nilai kearifan lokal, tradisi dan hukum adat yang berlaku di
daerah tersebut.
Cara pandang demikian memberi makna positip bagi penataan dan pengelolaan
sumberdaya alam laut dan pesisir. Adanya sistem nilai ini memberi kesadaran
kepada lingkungan di sekitarnya. Mereka sadar sepehunya akan betapa pentingnya
alam dapat menopang keberlanjutan kehidupan mereka, karena itu cara pandang
masyarakat seperti ini hendaknya menjadi kekayaan (asset) budaya dan hukum adat
yang paling bernilai dan bermanfaat sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu
instrumen penting dalam memobilisasi kekuatan sosial untuk upaya pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.
Dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut peranan lembaga adat
berserta kearifan lokal, tradisi dan hukum adat memiliki peluang yang sangat
strategis untuk dimanfaatkan dalam upaya pembinaan terhadap masyarakat pesisir
dan nelayan. Aspek ini dapat dijadikan sebagai pintu masuk atau jembatan yang
menghubukan antara program dan kegiatan pemerintah dengan apa yang menjadi
kebutuhan masyarakat. Dengan demikian apapun program yang direncanakan
pemerintah diyakini akan dapat berjalan dengan cepat dan tepat sasaran sehingga
memberikan dampak terhadap keberhasilan dan keberlanjutan program yang
maksimal.
Dalam manajemen konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut
aspek sosial budaya, tradisi dan kearifan lokal merupakan salah satu faktor
pertimbangan yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Hal ini didasarkan
pada pemikiran bahwa apa yang diprogramkan harus dapat diterima menjadi
kebutuhan masyarakat setempat dengan tidak bertentangan dengan aspek sosial
budaya yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Adanya rasa saling
percaya, dan dengan kesungguhan hati, keiklasan semua komponen (stakeholders)
yang terlibat serta adanya prinsip win-win solution, maka akan lebih memacu
gerak langkah pembangunan perikanan dan kelautan. Dengan demikian masyarakat
dan nelayan setempat dapat merasakan dan menikmati hasil usaha dan peran serta
mereka. Lebih lanjut perubahan perilaku yang positif yang berkaitan dengan
pengelolaan akan mampu bertahan dan menjadi dasar filosofi dalam membangun
kehidupan bersama dengan makhluk lain secara serasi, selaras dan harmonis
dengan lingkungan dalam satu komunitas ekologis.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah dikemukan pada bab
terdahulu dan berdasarkan tujuan dari penelitian ini, maka dapat dikemukanan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
5.1.1. Potensi lestari perikanan tangkap di Kabupaten Lembata, Nusa Tengara
Timur sampai tahun 2004 mencapai 12.813 ton/tahun. Sedangkan produksi
penangkapan mengalami perkembangan kenaikan selama lima tahun, masing-masing
untuk jenis ikan pelagis dengan rata-rata kenaikan 91,56% dan ikan demersal
mengalami kenaikan rata-rata 40,92%. Dari potensi lestari dan produksi penangkapan
tampak bahwa tingkat pemanfaatan selama lima tahun relatif masih kecil yakni
hanya mencapai rata-rata tingkat pemanfaatan sebesar 19,88%. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor keterbatasan armada, alat penangkapan, kurang
keterampilan terhadap teknologi penangkapan, dan dukungan dana.
5.1.2. Potensi budidaya perikanan yang terdapat di Kabupaten Lembata, Nusa
Tenggara Timur masih sangat tinggi dengan luas areal budidaya 886 Ha, yakni
untuk budidaya ikan seluas 210 Ha, Rumput Laut 271 Ha, Teripang 170 Ha dan Kerang
Mutiara seluas 235 Ha. Dari Luas 860 Ha tersebut persentase pemanfaatan baru
mencapai 20,32% atau kurang lebih 180 Ha. Kondisi ini disebabkan oleh faktor
keterbatasan sumberdaya manusia, keterampilan dan dukungan dana yang kurang
memadai.
5.1.3. Pengolahan Pasca panen perikanan masih bersifat tradisional sehingga
produk yang dihasilkan belum memenuhi syarat kualitas dan hygines. Hal
disebabkan oleh faktor keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung
pengolahan pasca panen baik mulai penanganan ikan di atas kapal maupun sampai
ikan tersebut didaratkan dan diproses lebih lanjut. Keterbatasan lain adalah
faktor keterampilan dan pengalaman nelayan serta belum adanya institusi atau
lembaga pemantauan dan pembinaan terhadap kualitas produk pengolahan.
5.1.4. Kearifan Lokal yang terdapat di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara
Timur (khusus pada lokasi penelitian) dan mempunyai hubungan yang erat dengan
usaha dan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah Badu, Muro,
Kolo Umen Bale Lamaq, Poan Kemer Puru Larang, Toto, Bito Berue, Lepa Nua Dewe,
Bruhu Bito, Leffa Nuang. Tradisi dan kearifan tersebut memiliki peranan yang
sangat strategis dalam upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
5.1.5. Pendekatan pemberdayaan kearifan lokal diharapan akan terjadi
perubahan dasar perilaku sosial yang berkaitan dengan perilaku konservasi
sumberdaya pesisir dan laut. Perubahan tersebut hanya dapat terlaksana apabila
secara penuh didasarkan pada kesadaran, keiklasan dan kesungguhan semua pihak
yang terlibat (stakeholders) dalam proses mobilisasi sosial. Perubahan perilaku
dan struktur sosial tentu saja adalah nilai-nilai, norma-norma dan
pranata-pranata yang menjadikan napas kehidupan masyarakat ke arah yang lebih
baik dan bersifat permanen.
5.1.6. Program dan kegiatan serta alokasi dana pembangunan yang disusun
lebih berorientasi pada bagaimana usaha untuk meningkatkan produksi penangkapan
dan lebih bersifat proyek dan perencaaannya masih bersifat top down, kurang
melibatkan masyarakat serta tidak bernuasa pemberdayaan nelayan sehingga
perubahan peningkatkan produksi dan perilaku masyarakat nelayan terhadap
aspek-aspek manajemen usaha belum membawa hasil yang maksimal.
5.1.7. Persepsi dan aspirasi lokal masyarakat pesisir dan nelayan di
Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur terhadap nilai-nilai kearifan lokal,
tradisi adat dan hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam
laut dan pesisir diakui masih sangat kuat dan masyarakat memiliki
kepatuhan/ketaatan yang tinggi. Persepsi ini diwujudkan melalui berbagai
upacara ritual pada sebelum dan sesudah melakukan usaha penangkapan maupun
kegiatan budidaya, karena mereka menyadari bahwa eksistensi kehidupan mereka
tidak terlepas dari eksistensi kehidupan makhluk lainnya dalam kebersamaan di
bumi yang sama.
5.1.8. Peluang kearifan lokal, tradisi adat dan hukum adat merupakan
pranata-pranata sosial budaya dan jaringan sosial yang dimiliki oleh masyarakat
pesisir dan nelayan. Potensi ini sebagai modal sosial budaya (cultural capital)
yang berharga yang memiliki peranan dalam memobilisasi perubahan perilaku
sosial secara sadar dan keiklasan ke arah yang lebih baik dalam kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir.
5.2. Saran-saran 5.2.1. Untuk lebih meningkatkan produski penangkapan dan
tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Lembata,
diperlukan fokus perencanaan yang tepat terhadap nelayan dengan status sebagai
nelayan penuh sehingga sasaran program dan kegiatan proyek akan mencapai
keberhasilan yang maksimal. Bagi nelayannelayan sambilan diperlukan peningkatan
keterampilan tambahan melaui kegiatan pelatihan dan pemagangan baik menyangkut
teknik penangkapan maupun aspekaspek manajemen pemasarana dan pengolahan pasca
panen.
5.2.2. Untuk memanfaatkan potensi budidaya perikanan di Kabupaten Lembata
yang masih sangat tinggi diperlukan perencanaan yang lebih menyentuh pada usaha
peningkatkan keterampilan dan pengetahuan terhadap teknik-teknik budidaya
melalui kegiatan pelatihan dan pemagangan serta studi banding di tempat-tempat
yang sudah maju. Disamping itu dukungan dana dan aspek pemasaran hasil usaha
budidaya perikanan harus dapat berpihak pada masyarakat nelayan bukan pada
pengusaha.
5.2.3. Diperlukan program dan perencanaan untuk meningkatkan sarana dan prasarana
pengolahan pasca panen perikanan karena hal ini dapat lebih memacu peluang
usaha masyarakat nelayan. Dukungan dana dalam rangka peningkatan keterampilan
dan pengalaman serta teknik-teknik pengolahan juga merupakan faktor yang
menjadi perhatian.
5.2.4. Dalam merangkai implementasi kebijakan kebijakan pemberdayaan
masyarakat pesisir dan nelayan, baik dalam usaha pemanfaatan maupun dalam
pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir di Kabupaten Lembata, perlu
dipertimbangkan kekayaan kearifan lokal yang ada dan dilakukan identifikasi
karakteristik sosial masyarakat pesisir secara cermat. Ini penting dilakukan
dalam membentuk nilai dan sikap hidup serta peradaban sebagai dasar dan
filosofi dalam membangun keserasian, keharmonisan antara manusia dengan lingkungan
alam sekitarnya, sehingga membawa hasil yang optimal.
5.2.5. Untuk itu dalam strategi pengelolaan, pengawasan sumberdaya pesisir
dan pemberdayaan masyarakat diharapkan sedapat mungkin nilai kearifan lokal,
tradisi/hukum adat beserta sistem kelembagaan yang ada, baik kelembagaan fisik
berupa struktur masyarakat adat dan organisasi formal pemerintahan maupun
lembaga swasta (dunia usaha dan LSM) maupun kelembagaan non fisik dalam bentuk
perangkat aturan secara hirarkis Perda, Keputusan Bupati, Keputusan Camat,
sampai Keputusan Desa hendaknya dapat mengakomodir dan memanfaatkan nilai-nilai
kearifan lokal yang hidup, bertumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
5.2.6. Diperlukan teknik, sistem dan mekanisme pengaturan tentang
jenis-jenis maupun ukuran yang dapat ditangkap terutama jenis biota laut yang
langkah dan dilindungi undang-undang maupun yang sementara matang telur dan
jenis-jenis alat tangkap apa saja yang bole dipergunakan pada saat kegiatan
pembukaan badu, sehingga tidak semua jenis maupun ukuran ikan dapat ditangkap
dengan bebas. Gagasan ini hanya dapat terlaksana apabila adanya kesepakatan dan
kesadaran bersama dalam masyarakat adat melalui sistem dan kelembagaan adat
yang telah ada.
5.2.7. Melalui forum Musyawarah Masyarakat Adat, dan diintegrasikan dengan
forum Musyawarah Masyarakat Desa, kiranya dapat dirumuskan secara secara jelas
dan tegas bentuk sanksi-sangksi formal sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran. Sedangkan sanksi yang berkaitan dengan adat, tradisi larangan
dikembalikan ke alam bersama penguasa alam dan ulayat.
Upacara buka badu ini hanya berlangsung sehari dalam setahun yang pada
waktu pagi sampai petang menjelang malam. Ketika hari mulai senja dan
menyongsong malam Kebelen Raya bersama Nama Watan dan pemerintah desa setempat
harus melakukan acara larangan/penutupan (letu badu). Acara ditandai dengan
penancapan sebuah kayu/tiang yang diikat dengan pucuk daun kelapa berwarnah
putih.
Selama wilayah perairan badu ditutup, masyarakat nelayan desa ini tidak
diperkenankan melakukan aktivitas penangkapan ikan dan sumberdaya lainnya di
dalam wilayah larangan, mereka hanya diperkenankan menangkap di luar dari
wilayah badu .
Kepatuhan dan ketaatan masyarakat terhadap sangat tinggi sesuai informasi
dan penuturan masyarakat desa dan nara sumber. Tahapan-tahapan tersebut di atas
harus dilakukan secara baik dan sampai kini masih terus dilakukan serta
digunakan sebagai penuntun hidup dan kebersamaan mereka dengan alam lingkungan.
Kuatnya nilai kearifan lokal ini sangat dipengaruhi oleh struktur kelembagaan
adat di Kerajaan Lewu Kimakama di Watodiri seperti pada bagan struktur berikut.
Pembagian kerja dari struktur kekuasaan kelembagaan adat di atas adalah
sebagai berikut: - Kebelen Raya; sebagai penguasa (Raja) yang memiliki peran
sebagai penguasa dalam sistem pemerintahan adat baik di pegunungan (Lewu
Werang) maupun di pantai (Lewu Leing) dan membawahi Beleng Lewhong. - Beleng
Lewhong; memiliki peran semacam Perdana Menteri yang memimpin pemerintahan
dalam praktek serta mengambil kebijaksanaan makro pemerintahan kampung
(Lewotana) baik Lewu Werang maupun Lewu Leing. - Jaga/Niang; sebagai pelaksana
teknis yang berada di bawah Beleng Lewhong, meliputi Jaga/Niang Nama Watan yang
berperan sebagai penjaga/pelestari wilayah pesisir, dan Jaga/Niang Ile Wokal
atau Onge Woi memiliki peran sebagai penjaga/pelestari wilayah pegunungan. -
Unit fungsional dalam struktur dan kelembagaan adat ada 3 (tiga) yakni Atamukin
yang memiliki fungsi kependetaan/imam dalam memimpin upacara persta syukuran,
Beamimeng Beku Eweleng memiliki fungsi sebagai kemiliteran yang bertugas
menjaga keamanan kampung dan mengusir gangguan musuh yang datang dari luar
kampung dan lembaga fungsional yang ketiga adalah Ahu Kliki Manu Klewa yang
memiliki fungsi sebagai dukun dan bertugas melindungi masyarakat dari berabagai
wabah penyakit dan mengusir setan serta roh jahat/kekuatan gaib yang mengganggu
warga kampung.
b. Desa Lamatokan
Desa Lamaton adalah salah satu desa pesisir di wilayah Kecamatan Ile Ape.
Masyarakat di wilayah ini juga memiliki pranata dan aturan adat yang bermanfaat
dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat di wilayah desa ini
berasal dari Suku Kedang, dan dalam kehidupan sehari-hari mereka menyadari akan
betapa pentinnya sumberdaya laut dan pesisir demi menopang kehidupan mereka.
Dengan adanya kesadaran tersebut dan semakin meningkatnya kerusakan yang
dilakukan oleh nelayan-nelayan luar dan melintasi disekitar wilayah perairan
tersebut maka mereka menetapkan daerah larangan dan masyarakat tidak boleh
mengambil hasil-hasil laut yang terdapat di dalamnya. Tradisi larangan yang
terdapat di Desa Lamatokan dikenal dengan nama ”Muro”. Tradisi ini masih
berlaku sampai sekarang dan masyarakat memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap
larangan tersebut. Larangan ini disertai dengan sanksi dan denda yang
disepakati baik secara adat maupun melalui Peraturan Desa. Bentuk sanksi yang
disepakati adalah berupa uang tunai sebesar satu juta rupiah dan kambing jantan
dan babi besar seharga satu juta masing-masing satu ekor.
Semua hasil kesepakatan adat dan bentuk-bentuk sanksi yang telah disetujui
oleh Tuan Tanah (Lewotana Alaweng) harus disosialisasi melalui pengumuman
kepada masyarakat luas untuk diketahui dan dilaksanakan. Tugas ini biasanya
dilakukan oleh pembantu Lewotana Alaweng yang dalam bahasa setempat ”Taran
mekin taran wanan”. Disamping itu perangkat pemerintahan desa setempat juga
turut memberikan sosialisasi kepada masyarakat baik para nelayan maupun non
nelayan. Menurut pengakuan tokoh-tokoh kunci dan masyarakat nelayan setempat
bahwa dengan adanya sanksi tersebut cukup efektif dan membuat jera tindakan
nelayan yang biasanya melakukan merusak sumberdaya alam pesisir dan laut.
Perilaku dan peradaban masyarakat seperti di atas ternyata memberi makna positif
bagi upaya konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut.
Oleh karena itu sebelum melakukan usaha penangkapan ikan, budidaya maupun
melakukan larangan selalu didahului dengan upacara ritual. Masyarakat nelayan
di Desa Lamatokan sebelum melepas pukat, sampan dan yang perahu baru, maupun
usaha budidaya rumput laut dan keramba jaring apung Balawaheng (pemimpin
upacara) melakukan upacara ritual untuk memberi makan kepada arwah nenek moyang
(leluhur) yang dalam sebutan mereka dikenal dengan nama ”Pau boe ama opo koda
kewoka” dengan harapan semoga usaha mereka dapat membawa hasil yang banyak dan
selalui dijauhi dari aral dan rintangan serta bahaya yang mengancam kehidupan
dan usaha mereka. Acara ini harus dihadiri dan mendapat restu dari Tuan Tanah atau
Tua Adat yang dalam sebutan masyarakat setempat adalah Lewotana Alaweng.
Setelah mendapat restu dari Lewotana Alaweng, pemimpin upacara ritual
(Balawaheng) bersama pemilik pukat, sampan, dan perahu menuju ke Maung (semacam
mesbah) yang terdapat di pantai untuk selanjutnya dilaksanakan acara ritual.
c. Desa Dulitukan Badu merupakan istilah yang digunakan untuk menangkap
ikan tembang yang dalam bahasa setempat disebut ”kete” dan dilakukan secara
masal oleh masyarakat empat desa (Tagawiti, Dulitukan, Kolipadan dan Palilolon)
di hamparan Tanjung Bahagia Kecamatan Ile Ape. Tempat penangkapan ini berada
pada sebuah teluk yang panjangnya kurang lebih 400 meter dari peraian laut
Nereng dengan lebar sekitar 20 meter. Di sekitar teluk ini terdapat hamparan
pohon bakau (mangrove) yang cukup lebat. Teluk Nereng ini berada di hamparan
Tanjung Bahagia dan berhadapan dengan kota Lewoleba ibukota Kabupaten Lembata.
Waktu penangkapan ikan ini hanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu
sekitar bulan Agustus sampai Oktober pada saat air surut dan biasanya terjadi
pada siang hari. Tradisi ini berlangsung semenjak nenek moyang keempat desa ini
berada di wilayah ini. Sebelum kegiatan badu dibuka untuk masyarakat umum,
pemimpin adat (Kebelen Raya) dan penjaga pantai (Nama Watan) terlebih dahulu
melakukan suatu upacara adat (ritual) yang bermakna meminta izin kepada
penghuni laut dan roh-roh nenek moyang yang meninggal di laut dengan maksud
supaya hasil tangkapan mereka berlimpah. Kegiatan ritual biasanya dilakukan di
pinggir pantai di sekitar tempat penangkapan.
Peralatan yang dipakai untuk menangkap ikan ini adalah jalah dan jenis
peralatan tradisional yang disebut pewai . Peralatan jala pada waktu itu hanya
dimiliki 4 – 5 orang saja, sedangkan yang lainnya hanya memiliki peralatan
taradisional pewai. Dengan peralatan yang dimiliki mereka dapat menangkap hasil
yang banyak. Kegiatan ini dimaksudkan agar masyarakat di wilayah keempat desa
ini tidak menggunakan hasil-hasil laut secara leluasa dan mereka juga menyadari
dengan cara ini sumberdaya pesisir dan laut dapat dijaga dan dilestarikan
sehingga ketika musim buka badu tahun berikutnya dapat memberikan hasil yang
lebih banyak lagi. Namun demikian tardisi ini yang baik dan memiliki makna
konservasi ini sudah melai berangsur pudar dan bahkan ketika peneliti melakukan
observasi dan wawancara kepada masyarakat dan pemimpin di wilayah diperoleh
informasi bahwa tradisi badu sudah tidak lagi dilaksanakan oleh masyarakat
setempat pada puluhan tahun terakhir. Disampaikan pula bahwa tidak dilaksanakan
tradisi ini disebabkan oleh pertama, kurangnya sistem penguatan kelembagaan
adat dan pewarisan kepada generasi berikutnya dalam melaksanakan upacara badu.
Kedua, arus masuk dan keluarnya kapal-kapal yang melintasi wilayah perairan
Teluk Nereng yang semakin ramai karena berhadapan langsung dengan kota
Lewoleba.
Ketiga, akhir-akhir ini terdapat semakin maraknya para nelayan yang
melakukan cara penangkapan ikan dengan mengunakan bom dan racun lainnya.
4.8. Pembangunan Perikanan dan Pemberdayaan Kearifan Lokal Pembangunan
Perikanan di Kabupaten Lembata, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan
terbentuknya Kabupaten Lembata pada tahun 2000, pemerintah daerah dengan
melalui keterbatasan sumberdaya manusia maupun dana, telah berusaha secara perlahan-lahan
memberikan fokus perhatian terhadap pembangunan sektor ini. Pemerintah
Kabupaten Lembata sangat menyadari akan keberadaan potensi sumberdaya laut yang
cukup besar, maka arah dan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan tetap
menjadi perhatian dari tahun ke tahun, meskipun program pengembangan dan
kegiatan pembangunan perikanan serta dukungan dana diakui masih sangat kecil
dari tahun ke tahun, jika dibandingkan dengan jumlah anggaran pembangunan
seluruh Kabupaten Lembata maupun sektor lainnya.
Namun demikian komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata terhadap
pembangunan sektor ini tetap menjadi perhatian serius. Komitmen tersebut dapat
ditunjukkan melalui berbagai program dan kegiatan serta alokasi anggaran yang
disetujui untuk pembangunan perikanan dan kelautan selama 5 tahun seperti yang
tercantum dalam tabel 4.15 berikut.
Dalam aspek pemberdayaan masyarakat, kearifan lokal, sistem kepercayaan
masyarakat, pengetahuan-pengetahuan tradisional, hukum adat yang berhubungan
dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan tampak belum menjadi
perhatian yang serius. Jika dicermati dari program dan kegiatan yang ada dari
tahun ke tahun tampak banyak yang berorientasi pada proyek. Penekanan program
dan kegiatan pada aspek pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir masih
sangat kurang. Lebih lanjut program-program dan kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan pemberdayaan, rivitalisasi dan refungsionalisasi kearifan
lokal, hukum adat tradisi dan budaya masyarakat pesisir dan nelayan dalam rangka
penguatan kelembagaan lokal untuk memperkuat local governence hampir tidak
mendapat perhatian sama sekali. Sementara di lain pihak, keberadaan kelembagaan
lokal berserta kearifan lokal, tradisi, dan hukum adat, diakui memiliki peranan
yang sangat strategis dalam mengadobsi berbagai program-program dan kegiatan
pembangunan.
Data pada tabel 4.15 menunjukkan bahwa dari aspek program dan kegiatan
maupun anggaran setiap tahun mengalami perubahan. Pada tahun 2000 ketika
Kabupaten ini mulai terbentuk terdapat 2 program dan kegiatan dengan besar
anggaran Rp. 415.250.000,00. Selanjutnya pada tahun 2001 dengan satu program
yang mencakup tiga kegiatan dan dari segi dana mengalami peningkatan sebesar
Rp. 660.000.000,00 (58,95%), Jika dibandingkan pada 2001, pada tahun 2002 hanya
terdapat satu progam dengan kegiatannya tidak dijabarkan secara rinci, namun
besarnya anggaran mengalami peningakatan menjadi Rp. 1.070.000.000,00 atau
mengalami kenaikan sebesar 62,12%. Selanjutnya pada tahun 2003, dari aspek
program dan kegiatan mengalami peningkatan yakni terdapat tiga program dan
dijabarkan 14 kegiatan, namun dilihat dari sisi anggaran mengalami penurunan
menjadi Rp. 724.800.000,00 atau mengalami penurunan sebesar -32,26% jika
dibandingan pada tahun sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, S,. 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat,
MSDP, UNDIP, Semarang.
Anggoro, S,. 2004, Metode Solusi Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan
Laut, MSDP, UNDIP, Semarang.
Anggoro, S,. 2004, Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah, MSDP, UNDIP,
Semarang.
Afiati, N., 1999. Aspek Hayati Teknik Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan Pesisir, Bapedalda, Semarang
Arikunto, S., Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Ed. V, Rineka
Cipta, Yogjakarta.
Ataupah, 2004, Peluang Pemberdayaan Keraifan Lokal Dalam Pembangunan
Kehutanan, Kupang.
Budiharsono, S., 2001, Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Lautan, Pn. Pradnya Paramita, Jakarta.
Budiati, L., 2000, Manajemen Partisipatif Dalam Pengelolaan Lingkungan,
Studi Kasus Pengelolaan Sungai Babon, UNDIP, Semarang.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional , 2001, Pedoman Pengelolaan Terpadu
Wilayah Pesisir Indonesia, Biro Kelautanan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup,
Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2004, Lembata Dalam Angka 2003, Kerjasama Badan
Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lembata.
Bappeda, 2001, Data Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Lembata, Kerjasama
Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Kabupaten Lembata.
Clark, J., Coastal Ecosystems Ecological Considerations for Management of
the Coastal Zone, Department the Conservation Foundation Masschu setts Avenue, N. W. Washington, D.C.
Dahuri, R., 1996, Ekosistem Pesisir, Makalah/Materi Kuliah, IPB, Bogor
----------., 1999, Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan
Rakyat, LiSPI berkerjasama dengan Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP,
Jakarta.
-------,. Et. al., 2001, Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pn. Pradnya Paramita,
Jakarta.
-------., 2000, Pengembangan dan Pembinaan Masyarakat Pesisir, LISPI,
Jakarta.
-------., 2001, Kebijakan dan
Strategi Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia, LIPSI, Jakarta.
-------., 2001, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
---------.,2003, Keanekaragaman
Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Perikanan dan
Kelautahn, 2003, Modul Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terpadu,
Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003, Strategi Nasional Implementasi
(Code of Conduct for Responsible Fisheries), Direktorat Jendral Kelembagaan
Internasional, Direktorat Jendral Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002, Pengkajian Sumberdaya Perikanan
Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Balai Peneltian Perikanan
Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Lembata.
Danim S., 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung.
Ghofar, A., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan
Berkelanjutan, Cipayung-Bogor.
Hidayat M. M., dan Surochiem As.,…, Pokok-pokok Strategi Pengembangan
Masyarakat Pantai Dalam Mendorong Kemandirian Daerah,
http://www.hangtuah.ac.id/Barudepan/ Humas/artikel.htm
Irianto, H., 2002, Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
(Studi Kasus Pemanfaatan dan Konfigurasi Ruang Kecamatan Bonang Kabupaten Demak
Propopinsi Jawa Tengah), UNDIP, Semarang.
Ikawati, Y., et.al., 2000, Terumbu Karang di Indonesia, Pn. Masyarakat
Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara
Riset dan Teknologi, Jakarta.
Keraf, S. A., 2002, Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta.
Kusnadi, 2003, Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS, Yogjakarta
Kusnadi, 2002, Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya
Perikanan, LkiS, Yogjakarta.
Kotan, J., et.al., 2003, Revitalisasi dan Refungsionalisasi Kearifan Lokal
dalam Pengelolaan Terumbu Karang dan Mangrove di Nusa Tenggara Timur, Kerjasama
Bappeda dengan Universitas Nusa Cendana.
Koentjaraningrat, 1997, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Ed. III, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Nababan, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat,
Tantangan dan Peluang, http://dte.gn.org.../makalah_ttg_psda_ berb-ma_di_pplh
ipb.htm.
Nai, P., 2002, Pengelolaan Kawasan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat;
Sebuah Catatan Pengalaman, Kupang.
Mikkelsen B., 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya
Pemberdayaan, Sebuah Buku Pegangan Bagi Praktisi Lapangan, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Mbete, A. Aro, 2005, Selayang Pandang Metode Penelitian Kualitatif, Unika
Widya Mandira, 2005
Magister Manajemen Sumberdaya Pantai, 2001, Buku Pedoman Penyusunan Tesis,
Pascasarjana, UNDIP, Semarang.
Purwanto, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Direktorat Jendral
Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Romimohtarto, K., dan Juwana S., 2001, Biologi Laut; Ilmu Pengetahuan
Tentang Biota Laut, Pn. Djambatan, Jakarta.
Supriharyono, 2000, Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Pn. Djambatan,
Jakarta.
Suyanto, B., 1996, Kemiskinan dan Kebijakan Pembanguan; Kumpulan Hasil
Penelitian, Aditya Media, Yogjakarta.
Satria, A., 2002, Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Pesisir, Kendari.
Soekamto, S., 2002, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Prasada,
Jakarata
Tohir M., 2002, Penelitian Sosial Budaya dari Memahami ke Melakukan dan Menuliskan,
UNDP, Semarang.
Wahyono, A., 2001, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo,
Yogjakarta.
Undang-Undang Negara RI Nomor 32 tentang Perikanan dan Kelautan, Tahun 2004