Rabu, 11 Februari 2015

WARISAN LELUHUR PRANOTO MONGSO



PRANOTO MONGSO

Pengetahuan tentang keadaan dan jalan musim sangat dibutuhkan bagi setiap orang yang bergerak dibidang pertanian.Sebagai dasar untuk menetukan musim itu, diambil perhitungan tentang keadaan dan jalanya bintang bintang yang tertentu dilangit.

Dengan pranata mangsa ini, waktu didalam setahun dibagi menjadi 12 musim.
Persesuaian dengan bulan masehi dan keadaan alam serta sifat mangsa / musim adalah sebagai berikut :
             I.      Kasa dari tanggal 23 Juni sampai 2 Agustus ( 41 hari )
Perlambangnya : Sesotya murco saking ngembana (Permata jatuh dari tempat Permatanya)
Angin : dari timur laut ke barat daya
Hawa : Siang hari panas dan malam hari dingin.
Keadaan alam : Musim gugur daun tanah mulai kering. Binatang serangga mulai bertelur, mata air sudah kecil.
Saat untuk : Persiapan untuk tanam palawija disawah.

          II.      Karo dari tanggal 2 agustus sampai 26 agustus ( 23 hari )
Perlambangnya :  Bantolo rengko ( tanah merekah )
Angin : dari timur laut ke barat daya
Hawa               :   Siang hari panas dan malam hari dingin.
Keadaan alam  :   Tanah menjadi kering mulai perah tela.
Saat untuk       :    Tanaman palawija disawah mulai tumbuh.

       III.      Katelu dari tanggal 26 Agustus sampai 19 September ( 24 hari )
Perlambangnya :  Reseni ( segar, akar mulai menjalar )
Angin  : utara ke selatan, jalanya sedang
Hawa : Kering dan panas.
Keadaan alam : Gadung, temu, bumbu, tampak mulai tumbuh.
Saat untuk : Tanaman palawija berbunga sampai berbuah

       IV.      Kapat dari tanggal 19 September sampai 13 Oktober ( 25 hari )
Perlambangnya : Lumanding resmi ( riang gembira )
Angin : dari Barat laut ke tenggara, sepoi sepoi.
Hawa : Kering dan panas.
Keadaan alam  :mata air banyak menjadi kering, burung burung manya  membuat sarangnya. Pohon randu berbuah. Gadung – temu  dan bumbu bertunas, mangga mulai masak.
Saat untuk : Menanam palawija.
          V.      Kalima dari tanggal 13 Oktober sampai 9 Nopember ( 27 hari )
Perlambangnya :  Pancuran semawur iang jagat ( hujan mulai turun )
Angin : dari barat laut ke tenggara, kuat dan kadang kadang diiring hujan.
Hawa : Mulai basah
Keadaan alam  :   Pohon asam berdaun, ular lalat mulai keluar, gadung ubi mengeluarkan daun muda, mangga mulai masak.
Saat untuk : Menanam dihuma dan persiapan penanaman padi sawah.

       VI.      Kanem dari tanggal 09 Nopember sampai 22 Desember  ( 43 Hari )
Perlambangnya :  Nikmating rasa mulyo ( tumbuh rasa bahagia )
Angin : dari barat ketimur, keras dan tempo tempo badai.
Hawa : basah dan dingin karena angin dan hujan.
Keadaan alam : rambutan, durian dan manggis mulai masak.
Saat untuk : Menanam padi di sawah

     VII.      Kapitu dari tanggal 22 Desember sampai 03 Pebruari ( 43 hari )
Perlambangnya Guci pecah inag lautan ( mata air menjadi besar )
Angin datang dari barat, tetapi tidak tetap keadaanya.
Hawa amat basah, dingin, banyak hujan.
Keadaan alam Sumber air tambah besar, sering banjir. Burung gelisah karena sulit cari makan.
Saat untuk melanjutkan penanaman padi jangan melewati musim ini.

 VIII.      Kawolu dari tanggal 03 Pebruari sampai 01 Maret ( 27 hari )
Perlambangnya : Puspa ajrah jroning kayun ( ibaratnya bungaberhamburan di sanubari seseorang ).
Angin  dari barat daya ke timur laut, keras dan tempo tempo berbolak - balik, hawa mulai panas.
Hawa : basah, hujan agak berkurang, hawa mulai panas.
Keadaan alam : Binatang kecil kecil terbang kesana- sini (kunang dan sebagainya). Burung burung tenggerek menggerekan  suaranya.
Saat untuk panen jagung ditanah kering, tanaman padi menghijau.

       IX.      Kasanga dari tanggal 01 Maret sampai 26 Maret ( 25 hari )
Perlambangnya : wedaling wecana ( terdengarnya bunyi- bunyian alam burung dan sebagainya .
Angin : datang dari selatan tetap dan kuat.
Hawa : hujan berkurang, gledek banyak terdengar hawa masih basah.
Keadaan alam             :  -
Saat untuk masaknya jeruk manis, duku, gandaria.

          X.      Kasadasa dari tanggal 26 maret sampai 19 april ( 24hari )
Perlambangnya, gedong minep jroning kalbu ( mengibaratkan akan kepuasan sanubari )
Angin dari tenggara tetap kuat.
Hawa hujan terus berkurang, hawa masih basah.
Keadaan alam burung – burung ramai membuat sarangnya.
Saat untuk Panen padi huma dan sawah.

       XI.      Desta dari tanggal 19 April sampai 12 Mei ( 23 hari ).
Perlambangnya , pemangkas sinoro wedi ( Petani sedang sibuk panen  padi ).
Angin dari timur ke barat sepoi.
Hawa siang panas malam dingin. Hujan turun sewaktu- waktu
Keadaan alam burung mengeram.
Saat untuk Panen padi sawah, panen tanaman yang berumbi.

    XII.      Sadha dari tanggal 12 Mei sampai 22 Juni ( 41 hari )
Perlambangnya , tirto syah saking sasono ( air hujan meninggalkan alamnya ).
Angin, dari timur ke barat sepoi.
Hawa siang panas, malam dingin, hujan turun sewaktu - waktu
Keadaan alam buah buahan seperti jerruk keprok, nanas, kepel, kesemek, asem mulai masak.
Saat untuk selaesainya panen padi sawah.

CARA MENENTUKAN TYPE CURAH HUJAN DENGAN SISTEM SCHMIDT – FERGUSON.
            Bulan kering apabila rata rata hujan 1 bulan kurang dari 60 m.m
            Bulan basah apabila rata rata hujan 1 bulan lebih dari 100 m.m
       
 Type curah hujan menurut SCHMIDT – FERGUSON digolongkan menjadi 8 ialah A sampai H,
          untuk menentukan curah hujan ini biasanya diambil data curah hujan 10 tahun terachir.
          Q = (Rata rata jumlah bulan kering :   Rata rata jumlah bulan basah) x 100
         Q = Quotient Bulan kering : bulan basah.

Daerah type hujan A – Q        =          0          -           14,2 %
Daerah type hujan B – Q        =          14,3     -           33,2 %
Daerah type hujan C – Q        =          33,3     -           59,9 %
Daerah type hujan D – Q        =          60,0     -           99,9 %
Daerah type hujan E – Q        =          100      -           166,9 %
Daerah type hujan F – Q         =          167      -           299,9 %
Daerah type hujan G – Q        =          300      -           699,9 %
Daerah type hujan H – Q        =          700%   -           Keatas


Sejarah Singkat Novel dan Cerpen Indoinesia

1) Sejarah singkat Novel Indonesia


a) Masa Awal Novel Indonesia (1870-1900)


Masa ini didorong oleh kebutuhan menyediakan bahan bacaan bagi pribumi, Indo-Belanda, dan orang-orang Asia Timur lainnya. Apalagi setelah munculnya cultur stelsel (1856).

Masa ini ditandai dengan munculnya novel tertua Lawah-lawah Merah, karya Saduran yang ditulis E.F. Wiggers. Pada tahun 1896 terbit sebuah novel Hikayat Nyai Dasima, karya G. Francis. Pada masa ini penerbitan didominasi oleh terjemahan karya-karya Julius Verne dan Alexander Dumas.

b) Masa Novel Melayu Rendah (1900-1950)

Masa ini terdiri atas beberapa masa. Pertama, masa Lim Kim Hok (1884-1910). la menulis Syair Siti Akbari (1884). Sementara itu, pengarang yang semasa dengannya Oei Soei Tiong menulis Nyai Alimah (1904).

Kedua, masa perkembangan (1911-1923). Masa ini ditandai keberagaman tema novel yang ditulis. Pengarang yang menonjol pada masa ini ada dua orang. Gow Peng Liang menulis Lo Fen Koei (1903), Thio Tjin Boen menulis Oey Se (1903), dan Nyai Soemirah (1917).
Ketiga, masa cerita bulanan (1924-1945). Pada masa ini novel terbit setiap bulan. Pengarang yang menonjol pada masa ini adalah Kwee Tek Hoay. Ia menulis Boenga Roos dari Tjikembang (1927).
Keempat, Masa akhir (1945-1960-an). Masa ini ditandai dengan cerita bersambung dalam majalah Star Weekly.

Perlu dicatat kemunculan dua pengarang berhaluan sosialis. Pertama, Mas Marco Kantodikromo menulis Mata Gelap (1914), Student Hidjo (1919), Si Bedjo Jurnalis Berontak (1919), R.A. Tien (1919), dan Rasa Merdeka (1924). Kedua, Semaun antara lain menulis Hikayat Kadiroen (1922).


c) Masa Novel Balai Pustaka (1920-1950)


Pada awalnya Balai Pustaka (22 September 1917) bernama Komisi Bacaan Rakyat dan Pendidikan Pribumi (14 September 1908). Lembaga itu didirikan karena dua sebab. Pertama, berkembangnya bahasa Melayu Pasar atau Melayu Rendah. Kedua, tersebarnya `faham' yang membahayakan pemerintah jajahan melalui pers dan novel-novel Melayu Rendah.

Novel yang diterbitkan Balai Pustaka pertama kali justru novel berbahasa Sunda yaitu Baruang Ka Nu Ngarora, DK. Adriwinata (1914). Novel berbahasa Indonesia yang pertama yaitu Azab dan Sengsara.
Pada masa ini pengarang Sumatera begitu dominan. Baru pada dasawarsa 1930-an muncul pengarang-pengarang dari daerah lain seperti I. Gusti Nyoman Pandji Tisna, M.R. Dayoh, dan lain-lain. Sekalipun demikian Raja Balai Pustaka, Nur Sutan Iskandar masih terus menulis sampai tahun 1945-an


d) Masa Peralihan (1930-1945)


Masa ini dikenal sebagai masa Pujangga Baru (1933). Gerakan intelektual yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah, selain menerbitkan majalah kebudayaan, juga menerbitkan novel. Novel Belenggu (1940), Armijn Pane dan Layar Terkembang (1936), Sutan Takdir Alisjahbana diterbitkan Pujangga Baru dan berbeda dengan novel-novel Balai Pustaka (kecuali Salah Asuhan).
Pada masa peralihan ini terbit pula Palawija, Karim Halim sebagai propaganda perang Jepang. Namun, pada masa inipun berkembang pula "Sastra Bawah Tanah" yang bersifat nasionalisme. Mereka melanjutkan apa yang dirintis Pujangga Baru. Mereka itu antara lain Chairil Anwar, Usman Ismail, dan Idrus.


e) Masa Setelah Kemerdekaan (1945-1955)


Pengarang-pengarang yang produktif masa ini setidaknya ada empat orang. Pertama, Achdiat Kartamihardja menulis Atheis (1948). Kedua Mochtar Lubis menulis Tak Ada Esok (1951), Jalan Tak Ada Ujung (1952). Ketiga, Pramudya Ananta Toer menulis Perburuan, Keluarga Gerilya, dan Di Tepi Kali Bekasi
(1950), Mereka yang Dilumpuhkan (1951/1952). Keempat, ldrus menulis Perempuan dan Kebangsaan (1950), juga novelet Aki (1950).

Karya-karya tersebut berkisar tentang masa penjajahan Jepang atau masa revolusi. Para pengarang ini juga menulis pada masa berikutnya.


f) Masa Mutakhir (1955-Sekarang)


Masa mutakhir baru mulai tahun 1970-an, terutama setelah terbitnya majalah Horison (1966). Majalah tersebut menjadi ajang eksperimen bagi banyak pengarang.
1970-an lahirlah novel- novel Putu Wijaya dan Iwan Simatupang. Budi Darma menulis 1980-an. Novel-novel pada masa ini memiliki ciri mencolok dengan munculnya idiom-idiom nonkonvensional. Novel-novel tersebut memang tidak harus "mirip" dengan kenyataan historis. Tradisi ini sebenarnya telah dirintis oleh Armijn Pane dalam Belenggu.


2) Sejarah Singkat Cerpen Indonesia

Perkembangan cerpen Indonesia terbagi atas beberapa dekade berikut.

a) Dekade 30-an, yaitu masa awa1 pertumbuhan cerpen yang dimulai pertengahan tahun 30-an sampai dengan tahun 40-an, para pengarangnya antara lain Muhammad Kasim, Suman HS, Armijn Pane, dan Idrus.

b) Dekade 40-an, meliputi masa 1945 sampai dengan 1955. Para penulis pada masa ini antara lain Pramudya Ananta Toer, Achdiat Kartamihardja, Moehtar Lubis, Trisno Sumardjo, dan Asrul Sani.

c) Dekade 50-an, meliputi penulis Kisah dan Sastra. Para penulis pada masa ini antara lain Nugroho Notosusanto, Soebagio Sastrowardoyo, Riyono Pratikno, N.H. Dini, Trisnoyuwono, Ajip Rosidi, Bur Rasuanto, Alex Leo, A.A. Navis, S.M. Ardan, Djamil Suherman, dan Motinggo Busye.

d) Dekade 60-an, yaitu mereka yang menulis sejak Horison (1966-an) terbit hingga sekarang. Para penulis itu antara lain Wildan Yatim, Umar Kayam, Budi Darma, Putu Wijaya, dan Danarto. Tentu saja lahir kemudian generasi selanjutnya seperti Seno Gumira Ajidarma, dkk yang menulis pada tahun 1980-1990-an.

Penting juga dikemukakan orientasi cerita pendek Indonesia. Orientasi tersebut sebagai berikut.
a) Orientasi cerita rakyat, dipelopori oleh Muhammad Kasim dan Suman HS.
b) Orientasi sosial zamannya, dipelopori oleh Hamka dan Idrus.
c) Orientasi ide kedalaman, dipelopori oleh Armijn Pane.




Selasa, 10 Februari 2015

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT MELALUI PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN LEMBATA PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR








TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Mencapai Derajat Magister (S-2)
Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai

Oleh

STEFANUS STANIS
K4A003013

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG

2 0 0 5


PENGESAHAN

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT MELALUI
PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN LEMBATA
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

NAMA PENULIS : STEFANUS STANIS

N I M : K4AOO3013

Tesis telah disetujui :

Tanggal : 14 Desember 2005



Pembimbing I,                                 Pembimbing II,

(Prof. Dr. Ir. Supriharyono, MS)         (Dr. Ir. Azis Nur Bambang, MS)


Ketua Program Studi
Magister Manajemen Sumberdaya Pantai,
(Prof. Dr. Ir. Sutrisno Anggoro, MS)



PENGESAHAN

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT MELALUI
PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN LEMBATA
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Dipersiapkan dan disusun oleh:

STEFANUS STANIS
K4AOO3013

Tesis telah dipertahankan di depan Tim Penguji

Tanggal : 16 Desember 2005

            
              Ketua Tim Penguji,                                                 Penguji I,

(Prof. Dr. Ir. Supriharyono, MS)                 (Prof. Dr. Ir. Sutrisno Anggoro, MS)


    Sekretaris Tim Penguji,                                           Penguji II,

(Dr. Ir. Azis Nur Bambang, MS)                (Ir. B. Argo Wibowo, M.Si)



Ketua Program Studi
Magister Manajemen Sumberdaya Pantai,

(Prof. Dr. Ir. Sutrisno Anggoro, MS)



”Karya ini kupersembahkan bagi
orang-orang yang kucintai dan berjasa”

Istriku tercinta Florentina Yasinta Sepe ,buah hatikuku yang tersayang Euprasiane Griseldis Beting, Margreth Ernestin Linati, Rafaela Wihelmina Dhana, dan Yonanes Bendito Mitang yang senantiasa tabah dalam untung dan malang melalui doa dan harapan serta dorongan yang tak ternilai harganya.

”Ayah dan Ibuku terkasih Martinus Mitan (Almahrum) dan Bernadetha Balik, Mertuaku terkasih Bapak Rafael Lama (Almahrum) dan Mama Imelda Dhana yang menabur benih kasih dan kebaikan kepadaku” Kakak dan adikku Simus Mitang, Nurak Sensi, Linus, Anas Sei, P. Maxi Manu SVD, Rm. Nyus Wangga Pr, German, Fince, Marsel, Nurak Ade, Ima, Albin, dan Blas, yang dengan caranya sendiri-sendiri telah membantu dan mendukungku.




KATA PENGANTAR


Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang karena atas, bimbinganNya, maka kegiatan seluruh proses penulisan Tesis dengan Judul “Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur” dapat Penulis menyelesaikannya dengan baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dan menganalisis masalah pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Lembata dan pemanfaatan kekayaan kearifan lokal sebagai salah satu strategi yang dapat membantu suksesnya pengelolaan sumberdaya pesisir.

Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan perhatian dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini, penulis dengan ikhlas menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Direktur Program Pascasarjana Universitas Diponegoro yang telah memberikan kesempatan dan menerima penulis untuk menuntut ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

2. Pimpinan Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus Kupang yang telah membantu dan mendukung penulis baik moril, materil maupun finansial sejak dari proses testing, matrikulasi, proses perkuliahan, penelitian sampai selesainya penulisan tesis ini.

3. Rektor Universitas Katolik Widya Mandira Kupang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Sutrisno Anggoro, MS, dan Ir. Asriyanto, DFG, MS sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro, yang telah mendorong, menuntun dan memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Supriharyono, MS, selaku Pembimbing Utama yang dengan setia dan rela meluangkan waktu dan pikiran guna memberikan arahan dan pemikiran-pemikiran yang konstruktif dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. Bapak Dr. Ir. Azis Nurbambang, MS, selaku Pembimbing II, yang juga dengan setia dan rela meluangkan waktu dan pikiran guna memberikan arahan dan pikiran yang konstruktif dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.

7. Bapak Prof. Dr. Sutrisno Anggoro dan Ir. Argo Wibowo, M.Si sebagai Tim Penguji yang telah merelakan waktu dan kesempatan serta memberikan masukan dan saran-saran perbaikan dalam penyempurnaan tesis ini.

8. Bapak Bupati Kabupaten Lembata bersama seluruh staf dinas dan instnasi, para camat dan kepala desa bersama staf di lokasi penelitian, yang telah mendukung peneliti melalui proses perijinan dan dukungan data-data serta bersedia menjadi nara sumber penelitian ini.

9. Tokoh-tokoh kunci dan Tokoh Masyarakat Desa Pantai Harapan, Wulandoni, Lamalera B, Balawuring, Lebewala, Wailolong, Watodiri, Lamatokan dan Desa Dulitukan, sebagai nara sumber yang telah membantu penulis dalam memberikan informasi data yang berkaitan dengan kearifan, tradisi, adapt istiadat pada masing-masing desa.

10. Bapak dan Ibu Dosen Staf Pengajar dan Staf Tata Usaha pada Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro, yang telah memberi dorongan dan membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan dan informasi ilmiah dan membantu melayani kebutuhan-kebutuhan adaministrasi.

11. Rekan-rekan seangkatan yang tak dapat penulis menyebutkan satu persatu yang dengan caranya sendiri telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, baik dari segi isi maupun teknis penulisan, oleh karena itu dengan rendah hati penulis bersedia menerima sumbangan pemikiran dalam rangka penyempurnaan. Atas kerelaan semua pihak dalam memberikan saran-saran perbaikan penulis menyampaikan banyak terima kasih.


Semarang, Desember 2005
Penulis



ABSTRAK

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT MELALUI
PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN LEMBATA
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh

Stefanus Stanis


Sumberdaya pesisir dan laut dewasa ini mengalami degradasi sebagai akibat dari perilaku pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Pemanfaatan cenderung bersifat destruktif dan merusak, serta tidak mempertimbangkan aspek konservasi dan keberlanjutan sumberdaya. Masyarakat memegang peranan penting, karena itu pengelolaan dengan berbasis pemberdayaan sumberdaya lokal. Tradisi dan hukum adat yang mempunyai kaitan dan bermanfaat terhadap upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik pengambilan sampel secara purposive pada narasumber dan tokoh-tokoh kunci.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi lestari penangkapan 12.813 ton/thn dan rata-rata produksi penangkapan selama lima tahun untuk ikan pelagis sebesar 91,56% dan ikan pelagis sebsar 40,92%, serta tingkat pemanfaatan baru mencapai 19,88%. Potensi dan luas areal budidaya sebesar 886 Ha, dengan tingkat pemanfaatan 180 Ha (20,32%).

Nilai kearifan lokal yang mempunyai peranan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah Badu, Muro, Kolo Umen Bale Lamaq, Poan Kemer Puru Larang, Toto, Bito Berue, Lepa Nua Dewe, Bruhu Bito dan Leffa Nuang. Ketaatan masyarakat terhadap nilai kearifan lokal sangat tinggi, karena mereka memiliki kesadaran dan persepsi bahwa eksistensi kehidupan mereka tidak terlepas dengan eksistensi kehidupan makhluk lainnya dalam kebersamaan di bumi yang satu dan sama ini.

Kata-kata kunci: Pengelolaan, Pemberdayaan, Kearifan Lokal, dan Sumberdaya
Pesisir


ABSTRACT

COASTAL RESOURCES MANAGEMENT AND SEA BY EMPOWERING
THE COMMUNAL WISDOM IN LEMBATA REGENCY,
EAST NUSA TENGGARA PROVINCE

By

Stefanus Stanis

The coastal and marine resources nowadays are degrading as the result of the behavior in exploiting them neglecting the essence of environmental aspects. The exploitation tends to be destructive without considering the conservation aspects and resources sustainability. The communities play important role, therefore, the management based on the communal wisdom is one of the essential things. Traditions, and traditional laws which relevant and potential for the efforts of coastal and marine resources in Lembata Regency, East Nusa Tenggara Province.

The method used in this research is a descriptive method in which the technique of
sampling taken conducted in purposive way towards the key persons.

The results of this research shows that fishing potential catch is 12.813 tone/year and the average production catch during the last five years for pelagis fish 91,56% and demersal fish 40,92%, while the target of exploitation only reach 19,88%. The potential and width of marine culture area cover 886 ha, with the potential reaches only 180 ha (20,32%).

The value of Communal Wisdom plays important role in managing the coastal resources include Badu, Muro, Kolo Umen Bale Lamaq, Poan Kemer Puru Larang, Toto, Bito Berue, Lepa Nua Dewe, Bruhu Bito dan Leffa Nuang. The obedience of communities on the communal wisdom is very uprooted as they realize and think that their life existence can not be separated from the other living beings (creatures) that share the same world.

Key Words: Management, Empowerment, Communal Wisdom and Coastal Resources.




BAB I

PENDAHULUAN


1. 1. Latar Belakang

Sumberdaya alam pesisir dan laut, dewasa ini sudah semakin disadari banyak orang bahwa sumberdaya ini merupakan suatu potensi yang cukup menjanjikan dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Konsekuensi logis dari sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum (open acces) maka pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut dewasa ini semakin meningkat di hampir semua wilayah.

Seiring dengan meningkatnya usaha penangkapan dalam memenuhi kebutuhan pangan baik bagi masyarakat di sekitarnya maupun terhadap permintaan pasar antar pulau dalam negeri dan luar negeri. Ghofar (2004), mengatakan bahwa perkembangan eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir dewasa ini (penangkapan, budidaya, dan ekstraksi bahan-bahan untuk keperluan medis) telah menjadi suatu bidang kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar (market driven) terutama jenis-jenis yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mendorong eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir dalam skala dan intensitas yang cukup besar.

Sebagai akibatnya pemanfaatannya cenderung melebihi daya dukung sumberdaya (over eksploitation) dan bersifat destruktif. Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan jumlah armada penangkapan, penggunaan alat dan teknik serta teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Disamping itu berbagai aktivitas manusia baik di wilayah pesisir dan laut serta kegiatan di daratan (upland) yang juga dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan. Kondisi ini menimbulkan tekanan lingkungan bahkan cenderung merusak sumberdaya alam pesisir dan laut yang cenderung meningkat intensitasnya dari waktu ke waktu, sehingga pada akhirnya menimbulkan menurunnya daya dukung sumberdaya dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan suatu tragedi bersama (open tragedy).

Namun demikian, hingga saat ini tingkat pemanfaatan sumberdaya pesisir masih
jauh dari tingkat optimal dan berkelanjutan, sehingga diperlukan upaya yang secara terus menerus dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan yang lebih optimal. Kondisi ini umumnya terjadi karena:

a. Kebijakan nasional cenderung bias pada sektor pertanian di luar perikanan laut, dimana propgram-program pengamanan penyediaan bahan pangan bagi masyarakat memberi bobot yang sangat kecil, bahkan dapat dikatakan mengabaikan sumberdaya pesisir dan perikanan. Prioritas kebijakan ekonomi pemerintah agaknya juga bias pada ekonomi daratan, dimana sektor-sektor yang terkait dengan pesisir belum menjadi prioritas utama untuk ditumbuh kembangkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional.

b. Faktor kedua adalah pembangunan produksi perikanan didominasi oleh penerapan usaha efisiensi penangkapan dan penerapan teknologi, dibanding pendekatan yang mempromosikan cara-cara pemanfaatan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Akibatnya, kebijakan maupun program yang diselenggarakan kurang komprehensif menjangkau isu-isu seperti kemiskinan, pengamanan penyediaan pangan bagi masyarakat, berkelanjutan, dan kesesuaian usaha tersebut terhadap kemampuan lingkungan.

c. Ketiga, kerusakan ekosistem sumberdaya pesisir di Indonesia pada umumnya terjadi karena kesadaran publik yang masih rendah. Disatu sisi karena pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal, belum banyak menyadari wewenang dan tanggung jawab mereka dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Selain itu, isu-isu pesisir belum menjadi prioritas pemerintah maupun masyarakat umum dibanding pengelolaan sektor daratan seperti pertanian dan kehutanan.

Kekurangan dalam mengintegrasikan kekayaan lokal (setempat) juga menyebabkan kegagalalan dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam pesisir. Di banyak tempat/daerah di  Indonesia terdapat kebiasaan adat istiadat yang selalu dan terus menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal/tradisional dan ternyata cocok dan efektif dalam menjaga keberlangsungan kehidupan sumberdaya alam pesisir.

Kebijakan pengembangan kawasan pesisir yang dilaksanakan selama ini sering bersifat parsial dan berpola “top-down”, sehingga sering kali kurang atau bahkan tidak mencerminkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal, tidak berpola “bottom-up”, sedang dalam implementasinya kurang mendayagunakan potensi yang ada secara optimal termasuk nilai-nilai atau kearifan lokal.

Sejalan dengan otonomi daerah yang diiringi dengan menguatnya tuntutan demokratisasi dan peningkatan peranan masyarakat (stakeholders), pemerataan dan keadilan serta perhatian terhadap potensi dan keanekaragaman daerah, maka proses pengembangan kawasan pesisir dan laut hendaknya disusun dalam bingkai pendekatan integralistik yang sinergistik dan harmonis, dengan memperhatikan sistem nilai dan kelembagaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat setempat serta sejalan dengan pengembangan sumbersumber potensi lokal.

Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir yang berbasis pada sumber daya lokal akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan
pengawasan pengelolaan potensi sumberdaya. Dengan demikian akan lebih menjamin kesinambungan peningkatan pendapatan dan pelestarian sumberdayanya.

Penerapan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah membawa konsekuensi pada kabupaten dan/atau kota sebagai basis penyelenggara otonomi daerah. Pertama, daerah kabupaten/kota dituntut untuk lebih mampu menjalankan roda pemerintahan secara mandiri. Untuk itu pemerintah daerah harus mampu menggali potensi lokal guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Kedua, otonomi daerah harus mampu mendorong masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam pendekatan yang terdahulu, partisipasi sering diartikan secara sempit yaitu sekedar mobilisasi sumberdaya masyarakat untuk kepentingan suatu program atau proyek yang didesain dari atas. Pada era otonomi seyogyanya partisipasi masyarakat (pemangku kepentingan) diartikan lebih luas yaitu mulai dari analisis permasalahan, perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan keberhasilan program. Dengan demikian masyarakat ikut serta dalam semua tahapan suatu program. Hal ini akan membawa banyak keuntungan baik dari pemerintah sendiri maupun bagi masyarakatnya.

Keikutsertaan masyarakat dari awal dalam menentukan permasalahan akan lebih memastikan bahwa program yang akan dilaksanakan benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat setempat. Pendekatan yang demikian juga membuat masyarakat ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab pada program tersebut sehingga lebih mudah dalam mengajak masyarakat untuk ikut mengelola sumberdaya yang mereka miliki. Pada gilirannya metode pendekatan ini akan menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada pemerintah.

Kabupaten Lembata merupakan satu kabupaten yang seluruh wilayah daratannya dikelilingi oleh laut, karena kabupaten ini merupakan satu pulau tersendiri yaitu Pulau Lemabta (Lomblen). Secara geografis Kabupaten Lembata terletak pada 080 040 – 080 45’ Lintang Selatan dan 1230 15’ –1240 38’ Bujur Timur dengan batas-batas: Utara berbatasan dengan Laut Flores, Selatan dengan Laut Sawu, Timur berbatasan dengan Selat Mrica (Kabupaten Alor) dan Barat berbatasan dengan Selat Lamakera dan Selat Boleng (Kabupaten Flores Timur).

Luas wilayah daratan 1.266,38 Km2 dan secara administratif Kabupaten Lembata terdiri dari 8 (delapan) kecamatan dengan 5 (lima) kelurahan dan 112 desa. Jumlah
penduduk di Kabupaten Lembata 96.602 jiwa (data tahun 2003) terdiri dari laki-laki 42.968 jiwa (44,20%) dan perempuan 53.904 jiwa (55,80%) dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 66.969 jiwa (69,32%) dari total penduduk Kabupaten Lembata.

Dalam sektor perikanan Kabupaten Lembata mempunyai sumberdaya alam perairan yang cukup besar yakni memilki luas wilayah lautan 3.353,995 km2 dengan panjang garis pantainya mencapai 493 km dan tersebar di semua kecamatan. Kecamatan yang memiliki garis pantai paling panjang adalah Kecamatan Nagawutung (104 km), kemudian disusul kecamatan Ile Ape dengan panjang garis pantai 102 km. Sedangkan wilayah kecamatan yang garis pantainya paling pendek adalah kecamatan Nubatukan (30 km).

Berdasarkan data tipologi desa di Kabupaten Lembata diketahui bahwa Kecamatan Ile Ape memiliki keunikan tersendiri dibanding kecamatan lainnya, dimana seluruh desa dalam wilayah kecamatan ini (21 desa) adalah termasuk desa pantai (Bappeda Kabupaten Lembata, 2001). Hampir sebagian besar penduduk pada masing-masing desa memiliki kegiatan sebagai nelayan baik nelayan tetap maupun sambilan.

Dalam bidang Lingkungan Hidup, permasalahan pokok yang dihadapi adalah budaya ladang berpindah-pindah, penebangan hutan di lereng-lereng gunung/bukit dan Daerah Aliran Sungai (DAS), pembakaran hutan/padang, penebangan hutan bakau (mangrove), pemboman ikan dan penggunaan potassium cyanida serta bahan beracun lainnya dalam kegiatan penangkapan ikan, serta pengambilan pasir laut dan batu-batu karang menyebabkan rusaknya mutu dan daya dukung lingkungan

.


Gambar 1.1 Peta Kabupaten Lembata

Permasalahan pokok lainnya adalah bagaimana mengurangi ketergantungan terhadap hasil ekspor/antar pulau produksi yang mengekstrasi sumberdaya alam, terutama pada sektor kehutanan, perikanan dan kelautan, pertambangan dan sektor lainnya dimana sumber daya alam dipandang sebagai tumpuan utama dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan aspek pelestarian dan keberlanjutannya. Kenyataan menunjukkan bahwa hingga saat ini sebagian besar masyarakat Lembata masih dililit kemiskinan.

Berbagai fenomena kerusakan lingkungan pesisir di Kabupaten Lembata bukan saja disebabkan oleh kegiatan pembangunan, tetapi seringkali juga diakibatkan oleh penduduk miskin yang karena terpaksa (ketiadaan alternatif mata pencaharian) harus mengeksploitasi sumberdaya alam pesisir dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, yang secara ekologis sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari kurangnya supermasi hukum (termasuk hukum adat) dan semakin pudarnya bahkan hilangnya nilai-nilai kearifan lokal/tradisional yang sebelumnya berlaku menjadi norma, etika dan moral yang mengatur pranata kehidupan dan menuntun manusia untuk perpikir dan berperilaku secara baik dan bertanggung jawab dalam relasi komunitas ekologis.

Di beberapa daerah di Indonesia telah tumbuh aturan-aturan/tradisi masyarakat yang diwarisi secara turun temurun. Tradisi yang ini disebut juga sebagai hukum adat/tradisi lokal yang berlaku bagi masyarakat pesisir dan ternyata cukup efektif sebagai pengendalian pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak. Beberapa sistem tradisional masih cukup banyak yang bertahan dan terus dipraktekkan oleh sekelompok anggota masyarakat walaupun terdapat tekanan dari konfigurasi sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan modern. Di sisi lain, terdapat pengakuan bahwa eksistensi hukum adat di Indonesia terutama yang berkaitan dengan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dapat merupakan modal nasional yang memiliki nilai strategis dan penting dalam menunjang pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan.

Oleh karena itu dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagai pengganti UU No. 09 Tahun 1985 yang ditelah disahkan oleh DPR RI tanggal 14 September 2004 dalam pasal 6 ayat (2) berbunyi : Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran-serta masyarakat. Dengan demikian penelitian tentang “Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur” menjadi esensial untuk dilakukan untuk kepentingan pengelolaan yang akan datang.



1.2. Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.2.1. Potensi sumberdaya alam pesisir dan laut apa saja yang terdapat di Kabupaten Lembata dan sejauhmana tingkat pemanfaatannya.

1.2.2. Nilai-nilai kearifan lokal apa saja yang terdapat pada mansyarakat pesisir di Kabupaten Lembata yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut?

1.2.3. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Lembata?

1.2.4. Bagaimana persepsi dan aspirasi masyarakat terhadap nilai-nilai kearifan lokal, ketaatan terhadap tradisi/hukum adat dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut?

1.2.5. Sejauhmana peluang pemberdayaan nilai kearifan lokal dan hukum adat dapat dipertahankan dan dimanfaatkan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut?


1.3. Pendekatan Masalah

Permasalah pengelolaan pesisir dan laut selama ini terjadi karena pola pendekatan pembangunan yang kurang mengakomodasi dan mengintegrasikan potensi lokal baik sumberdaya alam pesisir maupun sumberdaya manusia termasuk nilai-nilai kearifan lokal/tradisional. Kebijakan pengembangan kawasan pesisir yang dilaksanakan selama ini sering bersifat parsial dan berpola “top-down”, sehingga sering kali kurang atau bahkan tidak mencerminkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal, tidak berpola “bottom-up”, sedang dalam implementasinya kurang mendayagunakan potensi yang ada secara optimal termasuk nilai-nilai atau kearifan lokal. Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir yang berbasis pada sumber daya lokal akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pengelolaan potensi sumberdaya.

Dengan demikian akan lebih menjamin kesinambungan peningkatan pendapatan dan pelestarian sumberdayanya. Pemanfaatan sumberdaya yang kurang maksimal sampai saat ini, antara lain dikarenakan masih terdapat kendala yaitu skala usaha yang rata-rata kecil di bawah skala ekonomis, kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah, kurangnya penguasaan teknologi serta tingkat pemanfaatan sumberdaya yang kurang merata dan tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.
Keikutsertaan masyarakat dari awal dalam menentukan permasalahan akan lebih memastikan bahwa program yang akan dilaksanakan benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat setempat. Pendekatan yang demikian juga membuat masyarakat ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab pada program tersebut sehingga lebih mudah dalam mengajak masyarakat untuk ikut mengelola sumberdaya yang mereka miliki. Pada gilirannya metode pendekatan ini akan menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada pemerintah.



1. 4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1. Untuk menganalisis potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut Kabupaten Lembata.

1.4.2. Untuk menganalisis nilai-nilai kearifan lokal yang memiliki keterkaitan erat dengan penegelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir di Kabupaten Lembata.

1.4.3. Untuk menganalisis program dan kegiatan serta usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam pesisir dan laut di Kabupaten Lembata.

1.4.4. Untuk menganalisis persepsi dan aspirasi masyarakat terhadap nilai-nilai kearifan lokal dan ketaatan terhadap taradisi/hukum adat yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut.

1.4.5. Untuk menganalisis sejauhmana peluang pemberdayaan nilai kearifan lokal dapat dipertahankan dan dimanfaatkan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut di Kabupaten Lembata.


 1.5. Kegunaan Penelitian

Penelitian diharap dapat berguna dalam memberikan sumbangan bagi:

1.5.1. Masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar dapat mempertahan nilai-nilai kearifan lokal/tradisional yang sebelumnya pernah ada dan menjadi penuntun moral dalam berperilaku secara baik dan bertanggung jawab dalam membangun relasi kehidupan dengan alam sebagai suatu komunitas ekologis.

1.5.2. Pemimpin informal, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal/tradisional yang hidup dan tidak terkontaminasi dengan pengaruh arus globalisasi dan modernisasi. Dengan  demikian tetap menjadi panutan dalam menata kehidupan alam sebagai bagian integral dari satu komunitas ekologis.

1.5.3. Pemimpim formal Pemerintah Daerah (instansi terkait) baik pada tingkat kabupaten, kecamatan, desa, kelurahan agar dalam berbagai implentasi pembangunan yanag berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dapat memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal/tradisional yang dimiliki oleh masyarakat di Kawasan pesisir dan laut Kabupaten Lembata.

1.5.4. Merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah dan Masyarakat (stakeholders) untuk menjadikan nilai-nilai kearifan lokal/tradisonal sebagai hukum adat yang perlu disosialisasikan secara luas dan kemudian dapat diimplementasikan dalam kerangka penegakan hukum dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Lembata.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Tinjauan Umum Karakteristik Wilayah Pesisir

2.1.1. Pengertian Wilayah Pesisir Sampai sekarang belum ada defenisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Brahtz, 1972; Soegiarto, 1976; Beatly, 1994) dalam Direktoral Jendral Pesisir dan Pulau Kecil (2003).

Dahuri, dkk. (1996) mendefenisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah propinsi atau state di suatu negara.

Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Seacara fisiologi didefenisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya berupa kerikil.

Ruang kawasan pesisir merupakan ruang wilayah diantara ruang daratan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai sisi laut pada garis laut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya.

Dalam cakupan horizontal, wilayah pesisir di batasi oleh dua garis hipotetik. Pertama, ke arah darat wilayah ini mencakup daerah-daerah dimana proses-proses oseanografis (angin laut, pasang-surut, pengaruh air laut dsbnya) yang masih dapat dirasahkan pengaruhnya. Kedua, ke arah laut meliputi daerah-daerah dimana akibat proses-proses yang terjadi di darat (sedimentasi, arus sungai, pengaruh air tawar dsbnya). Wilayah perbatasan ini mempertemukan lahan darat dan masa air yang berasal dari daratan yang relatif tinggi (elevasi landai, curam atau sedang) dengan masa air laut yang relatif rendah, datar, dan jauh lebih besar volumenya.  Karakteristik yang demikian oleh Ghofar (2004), mengatakan bahwa secara alamiah wilayah ini sering disebut sebagai wilayah jebakan nutrient (nutrient trap). Akan tetapi, jika wilayah ini terjadi pengrusakan lingkungan secara massif karena pencemaran maka wilayah ini disebut juga sebagai wilayah jebakan cemaran (pollutants trap).

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa berbagai sumberdaya hayati serta lingkungan di wilayah pesisir relatif lebih rentan terhadap kerusakan, dibandingkan dengan wilayah-wilayah atau ekosistem-ekosistem lainnya. Dari seluruh tipe ekosistem yang ada, biasanya ekosistem pesisir merupakan wilayah yang mendapatkan tekanan lingkungan yang paling berat (Kay dan Alder, 1999) dalam Ghofar (2004).


2.1.2. Potensi Sumberdaya Alam Pesisir

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark, 1996). Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya.

Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri (1999), potensi sumberdaya pesisir secara umum dibagi atas empat kelompok yakni (1) sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), (3) energi kelautan dan (4) jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services).

Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, padang lamun, mangrove, terumbu karang termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (marine culture). Ketersedian lahan pesisir merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan untuk kegiatan perikanan. Demikian juga dengan wilayah perairan pantainya dapat dikembangkan untuk berbagai kegiatan budidaya terutama budidaya laut.

Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sumberdaya energi terdiri dari OTEC (Ocean Thermal Energy Conservation), pasang surut, gelombang dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut.

Wilayah pesisir dan laut sebagai ekosistem yang dinamis memiliki karakteristik yang sangat unik. Keunikan wilayah ini mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu dan bijaksana. Secara biofisik wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai berikut:


a. Secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas (upland) dengan laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu eksosistem pesisir, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain) di lahan atas (upland) suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara bijaksana akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawsan pesisir dan laut.

b. Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. Terdapat keterkaitan langsung yang sangat komplek antara proses-proses dan fungsi lingkungan dengan pengguna sumberdaya alam.

c. Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlihan dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan sebagainya. Pada hal sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan.

d. Baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Misalnya suatu hamparan pesisir hanya digunakan untuk satu peruntukan, seperti tambak, maka akan lebih rentan, jika hamparan tersebut digunakan untuk beberapa peruntukan.

e. Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Pada hal setiap sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran over eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan ini, yang pada gilirannya dapat menimbulkan suatu tragedi bersama (open tragedy).


Kawasan pesisir memiliki tiga habitat utama (vital) yakni mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Di antara ketiga habitat tersebut terdapat hubungan dan interaksi yang saling mempengaruhi. Kerusakan yang terjadi pada satu habitat akan mempengaruhi kehidupan biota pada habitat lainnya, sehingga pengelolaan pada suatu habitat harus mempertimbangkan kelangsungan habitat lainnya. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.


Gambar 2.1. Interaksi Antara Tiga Habitat Utama di Kawasan Pesisir Sumber : Dahuri, (2003)



2.2. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Pengelolaan sumberdaya alam adalah usaha manusia dalam mengubah ekosistem untuk memperoleh manfaat maksimal, dengan mengupayakan kesinambungan produksi dan menjamin kelestarian sumberdaya tersebut (Afiati, 1999).

Pengelolaan perikanan yang baik dan bertanggung jawab terutama perikanan tangkap haruslah benar-benar memperhatikan daya dukung sumberdaya perikanan di wilayah perairan Indonesia, bahkan Purwanto (2003), secara eksplisit mengungkapkan bahwa apabila sumberdaya ikan laut yang hidup dalam wilayah perairan Indonesia dimanfaatkan secara benar dan bertanggungjawab yaitu tidak melebihi daya dukungnya, sumberdaya tersebut akan dapat mengahasilkan produksi maksimum lestari sekitar 6,4 juta ton pertahun. Selain itu masyarakat Indonesia juga memiliki peluang untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high sea). Sebaliknya bila sumberdaya ikan tersebut dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, kelestarian sumberdaya ikan akan terancam dan produksinya akan menurun.

Ketersediaan (stok) sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam. Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris hilang dari perairan Indonesia (Purwanto, 2003). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa ancaman ini diperkirakan akan meningkat pada dekade ini, karena terjadi pergeseran daerah penangkapan armada perikanan dunia ke daerah yang masih potensial, termasuk perairan Indonesia, baik secara legal maupun ilegal.

Pengelolaan Sumberdaya alam pesisir pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia atau masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono, 2002).

Dalam pengelolaan lingkungan sumberdaya alam pesisir tidaklah bersifat serta merta atau latah, namun kita perlu mengkaji secara mendalam isu dan permasalahan mengenai sumberdaya yang hendak dilakukan pengelolaan. Penting atau tidaknya sumberdaya alam yang ada, potensi dan komponen sumberdaya mana yang perlu dilakukan pengelolaan dan apakah terdapat potensi dampak perusakan lingkungan, serta untung atau tidaknya sumberdaya tersebut bagi masyarakat merupakan pertimbangan penting dalam pengelolaan.

Pengelolaan sumberdaya alam yang beranekaragam, baik di daratan maupun di lautan perlu dilakukan secara terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola pembangunan berkelanjutan (Rais, 1997). Pengelolaan sumberdaya alam pesisir dilakukan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan dan daya dukung lingkungan yang tersedia.

Secara ideal pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan hidupnya harus mampu menjamin keberlangsungan fungsi ekologis guna mendukung keberlanjutan usaha perikanan pantai yang ekonomis dan produktif. Keberlanjutan fungsi ekologis akan menjamin eksistensi sumberdaya serta lingkungan hidup ikan (Anggoro, 2004).

Menurut Supriharyono (2000), beberapa pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya alam kawasan pesisir yakni meliputi (a) pertimbangan ekonomis, (b) pertimbangan dari aspek lingkungan dan (c) pertimbangan sosial budaya. Pertimbangan ekonomis menyangkut penting tidaknya untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari, penghasil barang-barang yang dapat dipasarkan, merupakan aset lokal, nasional atau internasional serta merupakan aset pariwisata yang dapat mengahasil uang selain berupa barang.

Pertimbangan lingkungan menyangkut stabilitas fisik pantai, lingkungan masyarakat yang unik, penyediaan stok hewan dan tumbuhan termasuk yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan, pelestarian plasma nutfah, estetika dan indentitas budaya, serta apakah terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh sedimentasi, konstruksi, pertanian, penebangan, penambangan, penangkapan berlebihan (overfishing), yutrofikasi karena buangan limbah yang mengandung nutrien, dan kontaminasi oleh berbagai macam limbah. Sedangkan pertimbangan sosial budaya meliputi pengakuan tradisi, nilai sosial budaya, mempertahankan tradisi generasi yang akan datang, sasaran keagamaan.

 Pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan secara berkelanjutan (sustainable) harus dilakukan secara bertanggung jawab (responsible), sehingga diperlukan perencanaan pengelolaan yang sangat hati-hati (Ghofar, 2004). Dewasa ini, sayangnya, pengetahuan yang memadai mengenai proses-proses yang terjadi di kawasan pesisir dan lautan Indonensia belum tersedia secara memadai untuk suatu tujuan pemanfaatan yang rasional. Sebagai akibatnya adalah konsep dan teknik pengelolaan perikanan kawasan pesisir dan lautan sebagian besar belum teruji. Selain degradasi lingkungan, beberapa isu penting lainnya adalah lemah atau masih rendahnya partisipasi masyarakat, sistem hukum dan penegakannya, keamanan di laut, pencurian ikan oleh kapal-kapal asing.




2.3. Tinjauan Umum Pemberdayaan dan Kearifan Lokal


2.3.1. Konsep Pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada kata “empowerment ” yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat pesisir dan nelayan adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri (selffreliant communities), sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian tentunya diharapkan memberikan peranan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi sebagai pelaku (aktor) yang menentukan hidup mereka (Moebyarto, 1996) dalam Wahyono, 2001.

 Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang bepusat pada manusia (people-centered development) ini kemudian melandasi wawasan pengelolaan sumberdaya lokal (communitybased management), yang merupakan mekanisme perencanaan people-centered development yang menekankan pada teknologi pembelajaran sosial (social learning) dan strategi perumusan program. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemapuan masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya (empowerment). Dalam kaitan ini, Moebyarto (1999), mengemukakan ciri-ciri pendekatan pengelolaan sumberdaya lokal yang berbasis masyarakat, yang meliputi:

a.      Keputusan dan inisiatip untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dibuat di tingkat lokal, oleh masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya sebagai partisipan dalam proses pengambilan keputusan.
b.      Fokus utama pengelolaan sumberdaya lokal adalah memperkuat kemampuan masyarakat miskin dalam mengarahkan asset-asset yang ada dalam mayarakat setempat, untuk memenuhi kebutuhannya.
c.       Toleransi yang besar terhadap adanya variasi. Oleh karena itu mengakui makna pilihan individual, dan mengakui proses pengambilan keputusan yang desentralistis.
d.      Budaya kelembagaannya ditandai oleh adanya organisasi-organisasi yang otonom dan mandiri, yang saling berinteraksi memberikan umpan balik pelaksanaan untuk mengoreksi diri pada setiap jenjang organisasi.
e.      Adanya jaringan koalisi dan komunikasi antara pelaku dan organisasi lokal yang otonom dan mandiri, yang mencakup kelompok penerima manfaat, pemerintah lokal, bank lokal dan sebagainya yang menjadi dasar bagi semua kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat pengawasan dan penguasaan masyarakat atas berbagai sumber yang ada, serta kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya setempat.

Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based Management, menurut Nikijuluw (1994) dalam Latama (2002), merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaanya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Carter (1996) dalam Latama (2002) memberikan defenisi pengelolaan berbasis masyarakat sebagai : “A strategy for achieving a people-centered development where the focus of decision making with regard to the sustainable use of natural resources in an area lies with the people in the communities of that area” atau sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberdayaan masyarakat terletak pada proses pengambilan keputusan sendiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan sosial. Oleh sebab itu, pemahaman mengenai proses adaptasi masyarakat nelayan terhadap lingkungannya merupakan informasi penting dalam pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered devolopment), yang melandasi wawasan pengelolaan sumberdaya local (community-based resource management). Pentingnya memperhatikan aspek strategi adaptasi nelayan dalam kegiatan pemberdayaan tersebut adalah karena strategi adaptasi yang dikembangkan memungkinkan nelayan mengatur daya tahan (resilience) terhadap persoalan-persoalan spesifik yang berhubungan pesisir dan nelayan seperti fluktuasi, ketidakpastrian hasil tangkapan, musim, dan menurunnya sumberdaya perikanan.


2.3.2. Kerarifan Lokal/Tradisional

Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Bahasan ini sangat membantu kita dalam hal mengembangkan perilaku, baik secara individu maupun secara kelompok dalam kaitan dengan lingkungan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu membantu kita untuk mengembangkan sistem sosial politik yang ramah terhadap lingkungan serta mengambil keputusan dan kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan atau sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam pesisir dan laut.

Etika yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain (Keraf, 2002). Kebiasaan hidup yang baik ini kermudian dibakukan dalam bentuk kaidah,  aturan, norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami dan diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan juga etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.

Pengertian keraifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun.

Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme.

Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam. Menurut Nababan (2003), mengatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Pandangan ini sejalan dengan dasar dari  Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun (1999) mengatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun atas satu wilayah adat, yang diatur oleh hukum adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Sedangkan menurut Ataupah (2004), mengatakan bahwa kerarifan lokal bersifat histories tetapi positip. Nilai-nilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat menambah atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara situasional dan tidak dapat dilepaskan dari system lingkungan hidup atau sistem ekologi/ekosistem yang harus dihadapi orang-orang yang memahami dan melaksanakan kearifan itu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kearifan tercermin pada keputusan yang bermutu prima. Tolok ukur suatu keputusan yang bermutu prima adalah keputusan yang diambil oleh seorang tokoh/sejumlah tokoh dengan cara menelusuri berbagai masalah yang berkembang dan dapat memahami masalah tersebut. Kemudian diambil keputusan sedemikian rupa sehingga yang terkait dengan keputusan itu akan berupaya melaksanakannya dengan kisaran dari yang menolak keputusan sampai yang benar-benar setuju dengan keputusan tersebut.


2.4. Tinjauan Umum Karakteristik Sosial dan Sistem Pengetahuan Masyarakat Peisir

Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris karena perbedaan sumberdaya yang mereka hadapi atau miliki. Masyarakat agraris menghadapi sumberdaya yang terkontrol yakni lahan untuk memproduksi suatu jenis komoditas dengan hasil yang dapat diprediksi. Dengan sifat yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan faktor resiko pun relatif kecil.

Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat fenomena yang menarik mengenai melimpahnya sumberdaya alam laut dengan masih rendahnya minat masyarakat pesisir untuk mengeksplorasi kekayaan laut. Lebih lanjut, Tohir (2001), mengatakan fenomena ini jika dicermati secara mendalam maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat pesisir yang bermatapencaharian sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas hidup di laut jumlahnya relatif kecil dibanding dengan yang beberja sebagai petani sawah, maupun jasa. Hal ini berarti jenis-jenis matapencaharian masyarakat pesisir heterogen dan warga masyarakat yang memilih sebagai nelayan atau melakukan aktivitas di pesisir pada dasarnya masih merupakan kelompok kecil saja. Dari jumlah yang relatif kecil itu, dilihat dari tingkat kesejahteraan hidupnya rata-rata masih belum menggembirakan karena sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai keterbatasan.

Dilihat dari perspektif antropologis, masyarakat pesisir nelayan berbeda dari masyarakat lain, seperti masyarakat petani, perkotaan atau masyarakat di dataran tinggi. Perspektif antropologis ini didasarkan pada realitas social bahwa masyarakat nelayan memiliki pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil dari interaksi mereka dengan lingkungan berserta sumberdaya yang ada di dalamnya. Pola-pola kebudayaan itu menjadi kerangka berpikir atau referensi perilaku masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Satria, A, (2004), mengatakan bahwa secara teologis, memiliki kepercayaan cukup kuat bahwa laut memilki kekuatan magis, sehingga diperlukan perlakuan-perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan semakin terjamin. Tradisi ini masih tetap dipertahankan. Sebagai contoh tradisi sowan ke suhu bagi nelayan-nelayan yang berasal dari Wonokerto Pekalongan melakukan tradisi ini. Tradisi ini dimaksudkan untuk menjaga keselamatan para ABK dan nahkoda pada saat melalut dan memperoleh hasil tangkapan yang baik.  

Dikemukan pula bahwa dalam ritual ini para suhu atau dukun-dukun menganjurkan agar sebelum menangkap ikan para ABK harus menyalakan dupo atau menyan (wewangian) di sekitar kapal dan pada saat melempar jaring ke laut nelayan harus menebarkan bungabunga di sekitar jaring. Sistem kepercayaan ini dianggap memberikan kontribusi bagi kesuksesan mereka untuk menangkap ikan Tanpa sowan ke suhu, mereka merasah seolah-olah kurang percaya diri.

Juwono (1998) dalam Satria, A., (2004), mengatakan bahwa tradisi perawatan perahu juga terjadi di Kirdowono dimana perahu dipersonifikasi seperti manusia yang bisa sakit dan harus diobati. Pengobatan perahu tersebut dilakukan melalui kosokan atau penggosokan.


2.5. Mengenal Kearifan Lokal di Beberapa Daerah

Namaban (2003) mengatakan bahwa sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Aturan-atuaran/tradisi masyarakat ini diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai hukum adat dan berlaku bagi masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak.

Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah sebagai berikut:

2.5.1. Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam.

Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat yang diperlukan masyarakat nelayan dalam menjaga ketertiban yang meliputi penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan dan biota laut lainnya, dan menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai. Secara hukum, Hukum Adat Laot bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam struktur pemerintahan di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan tertentu dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat Laot di Aceh dapat bersifat terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot tersebut senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hukum Adat Laot dari segi Adat Pemeliharaan Lingkungan meliputi:

 a. Dilarang melakukan pemboman, peracunan dan pembiusan, penyetroman dengan alat listrik, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota lainnya.

b. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir dan pantai seperti pohon arun (cemara), pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya.

c. Dilarang menangkap ikan/biota lainnya yang dilindungi seperti lumba-lumba dan penyu.


2.5.2. Tradisi Lebak Lebung di Propinsi Sumatera Selatan

Lebak lebung adalah suatu areal yang terdiri dari lebak lebung, teluk, rawa dan atau sungai yang secara berkala atau terus menerus digenangi air dan secara alami merupakan tempat bibit ikan atau biota perairan lainnya. Lelang Lebak Lebung adalah sistem penentuan akan hak pengelolaan perairan umum (lebak lebung).


2.5.3. Tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi Sulawesi Selatan

 Ponggawa adalah orang yang mampu menyediakan modal (sosial dan ekonomi) bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha (biasa berorientasi pada skala usaha perikanan); sedangkan Sawi, bekerja pada Ponggawa dengan memakai hubungan norma sosial dan kesepakatan kerja. Pada sistem Ponggawa Sawi terdapat kesepakatan untuk menyerahkan atau menjual hasil tangkapannya pada Ponggawa, dan bagian ini merupakan mekanisme pembayaran pinjaman dari sawi kepada ponggawa jika sebelumnya sawi mempunyai pinjaman.

2.5.4. Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku

Sistem pengelolaan berbasis masyarakat untuk kedua sumber daya darat dan laut umum ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara yang dikenal dengan istilah sasi. Secara umum sasi merupakan ketentuan hukum adat tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.


2.5.5. Tradisi Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara

Kearifan tradisional ”Pamali Mamanci Ikang” dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (pesisir dan laut) secara umum adalah larang atau boboso, tetapi pengertiannya dalam pengelolaan ikan teri dan cumi-cumi menyangkut pada beberapa batasan, seperti pelarangan pada musim pemijahan, pembatasan jumlah alat tangkap, pembatasan frekwensi penangkapan, tidak dibenarkan orang luar memiliki usaha bagan, dan pelarangan penebangan hutan bakau (soki) karena luluhan daun dan dahan pohon bakau dianggap sebagai asal-usul ikan teri. Pengaturan “Pamali Mamanci Ikang” merupakan suatu kebijakan yang arif walaupun hanya dihasilkan melalui suatu proses musyawarah di tingkat desa. Seperti penetapan waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan musim cengkeh, dimana masyarakat mulai meninggalkan laut dan beralih ke lahan pertanian dan perkebunan cengkehnya. Panen cengkeh dilakukan secara gotong royong (bari), sehingga bagi nelayan yang tidak memiliki kebun turut terlibat dalam panen tersebut untuk menutupi biaya hidupnya selama dilarang melaut.

Konsep ini sangat memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga pada saat pelaksanaan tradisinya, masyarakat nelayan tidak kehilangan mata pencahariannya, sebaliknya masyarakat petani juga ikut merasa dibantu.


2.5.6. Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB

Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat, untuk mengatur masalah tertentu, dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan masyarakat. Dalam awig-awig diatur perbuatan yang boleh dan yang  dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi.

Adanya pengaturan lokal (awig-awig) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dipengaruhi oleh masalah pokok yaitu konflik antar nelayan. Apapun munculnya konflik dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan perubahan pasar.

Sejak dulu, masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, baik yang ada di darat maupun di laut. Hal ini tercermin dari kebiasaan adat istiadat, yaitu upacara Sawen. Secara umum sawen adalah larangan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan yang berlaku di zona dan waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya melalui kesepakatan-kesepakatan lokal.



BAB III
 METODOLOGI PENELITIAN


3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dengan judul Pengelolaan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata – Nusa Tenggara Timur. Pemilihan lokasi penelitian Kabupaten Lembata terutama didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten Lembata yang merupakan kabupaten Pulau, memiliki cukup banyak potensi sumberdaya pesisir dan laut. Keadaan ini terjadi karena kabupaten ini, seluruh daratannya dikelilingi oleh lautan. Informasi lain adalah, di beberapa wilayah kecamatan/desa di kabupaten ini, masyarakat pesisir memiliki kearifan lokal (ritual-ritual) yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut.

Setelah mempertimbangkan karakteristik wilayah dari berbagai informasi dari narasumber, maka peneliti menentukan lokasi kecamatan yakni Kecamatan Wulandoni (Desa Wulandoni, Pantai Harapan dan Lamalera B), Kecamatan Omesuri ( Desa Balawuring, Lebewala dan Wailolong) dan Kecamatan Ile Ape (Desa Watodiri, Lamatokan dan Dulitukan). Pemilihan desa pun sangat tergantung pada informasi tokoh kunci (key person) mengenai ada tidaknya kearifan lokal pada setiap desa dalam kecamatan yang bersangkutan.

3.1.2. Waktu Penelitian

Waktu yang dipergunakan dalam penelitian mulai dari penuliasan proposal, kolokium, konsultasi sampai pada penyelesaian ujian dan finalisasi penuliasan tesis ini adalah selama 9 bulan terhitung dari bulan April sampai Desember 2005.

3.2.1. Lokasi kecamatan, digunakan teknik sampel wilayah (area probability sample), adalah teknik sampling yang dilakukan dengan mengambil wakil dari setiap wilayah yang terdapat dalam populasi (Arikunto, 1997). Hal ini didasarkan atas pertimbangan ciri atau karakteristik wilayah dari segi potensi sumberdaya alam pesisir dan nilai-nilai kearifan lokal yang hanya ada pada lokasi atau wilayah tersebut. Untuk lokasi kecamatan diambil sampel sebanyak 3 (tiga) wilayah kecamatan yakni kecamatan Ile Ape, Nagawutung dan Omesuri.

3.2.2. Tokoh Masyarakat (Tua Adat/Pemangku Adat) adalah institusi non formal yang tumbuh di sekitar masyarkat dan dipandang memahami permasalahan ritual kearifan lokal yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya peisisr dan laut, yang selanjutnya dapat disebut sebagai key persons. Penentuan key persons ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sample atau sampel bertujuan. Dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan pada strata, random atau daerah, tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 1997). Perlu disadari bahwa bahwa dalam penarikan sample purposive tidak hanya mencakup masalah-masalah putusan tentang orang, yakni subyek atau pelaku sebagai nara sumber data yang akan diamati dan diwawancarai tetapi juga tentang latar-latar, peristiwa-peristiwa dan proses-proses sosio-kultural, karena itu sample-sampel kualitatif cenderung puporsive (Mbete, 2005). Oleh karena penelitian ingin mengetahui dan menganalisis nilai-nilai keraifan lokal maka penentuan key persons akan dipilih dengan cermat dan disesuaikan dengan target pencapaian informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini, dengan jumlah responden untuk masing-masing desa 5-8 orang.

3.2.3. LSM (Care International dan Yayasan Pengembangan Masyarakat Pesisir), yang memiliki kepedulaian terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut, serta yang bergerak dalam bidang industri, jasa dan usaha-usaha perikanan baik penangkapan, budidaya maupun pengolahan. Pengambilan sampel pada intitusi ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yang akan disesuaikan dengan kebutuhan informasi.

3.2.4. Pemerintah Desa adalah institusi formal yang tumbuh dan berkembang di sekitar kawasan pesisir yang dipandang memahami berbagai permasalahan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut serta nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pesisir yakni kepala, desa, sekretarias desa, kepala dusun, mantan kepala desa. Pengambilan sampel pada intitusi ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yang akan disesuaikan dengan kebutuhan informasi.

3.2.5. Pemerintah Kecamatan adalah institusi formal pada tingkat hirarki pemerintahan yang memiliki fungsi dan dianggap memahami beberapa hal mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya adalah pesisir dan  laut yakni Camat, Kepala Urusan Pembangunan Desa, UPT Perikanan dan Kelautan. Penentuan sampel pada masing-masing intitusi ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yang akan disesuaikan dengan kebutuhan informasi.

3.2.6. Pemerintah Kabupaten adalah intitusi formal yang dianggap mempunyai kaitan erat dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Respondennya adalah Bupati, Ketua DPR, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan bersama staf, Staf Bappeda. Pengambilan sampel pada masing-masing intitusi ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yang akan disesuaikan dengan kebutuhan informasi.


3.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian bersumber dari data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari responden melalui hasil wawancara atau pengamatan. Sedangkan data sekunder diperoleh secara tidak langsung/melalui pihak kedua (instansi terkait) dengan melakukan studi dokumentasi atau literatur.


3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pendekatan yang diambil dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dapat mungkin terdapat pula data kuantitatif sejauh masih relevan dan bermanfaat untuk menjelaskan permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pemberdayaan kearifan lokal. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

3.3.1. Teknik observasi; teknik ini dilakukan untuk mendapatkan data dengan mengamati potensi sumberdaya alam pesisir yang terdapat di Kabupaten Lembata terutama pada wilayah atau kecamatan sampel. Potensi yang akan  diamati adalah kondisi umum perairan menyangkut kualitas perairan, keadaan vegetasi mangrove, lamun dan terumbu karang.

 3.3.2. Teknik wawancara; wawancara merupakan salah teknik penting dalam studi-studi pembangunan. Dalam wawancara terjadi percakapan sekalipun percakapan tetap dalam pengendalian dan terstruktur. Teknik ini lebih dikenal sebagai wawancara semi-terstruktur (semi structured interview) yakni wawancara yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang diharapkan diikuti dengan pertanyaan lanjutan untuk lebih menggali informasi dan secara lebih mendalam, Mikkelsen, (2003). Untuk memperoleh data primer maka dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview), dan dilakukan secara purposive dengan para informan atau responden yang dianggap paling banyak mengetahui permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yaitu pejabat Dinas Perikanan, Bapedalda, Bappeda, Camat dan Kepala Desa serta berbagai instansi terkait. Danim (2002), jika wawancara tidak dapat menjangkau responden yang jumlahnya relatif banyak, wawancara biasanya dilakukan kepada sejumlah responden yang jumlahnya relatif terbatas dan memungkinkan bagi peneliti untuk mengadakan kontak langsung secara berulang-ulang sesuai dengan keperluan. Wawancara mendalam juga ditujuhkan kepada para tokoh-tokoh kunci (key persons). Mikkelsen (2003), mengemukakan wawancara semiterstruktur secara mendalam dapat dilaksanakan dengan menggunakan empat cara yakni:

a. Wawancara Individual: wawancara ini dilaksanakan dalam suatu kesempatan pengambilan sampel atas responden yang dipilih dengan sengaja untuk memperoleh informasi atau data yang representatif.

b. Wawancara dengan informan kunci/tokoh-tokoh kunci (Key informan/key persons); wawancara dengan key informan/key persons bertujuan untuk mendapatkan informasi khusus yang berkaitan pengetahuan dan pemahaman terhadap kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir.

c. Wawancara Kelompok; dengan cara terstruktur dan tidak terstruktur. Teknik ini lebih memberikan akses pada sosok pengetahuan yang lebih besar dan secara mendalam tentang informasi dan data.


3.4. Teknik Analisisa Data

Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik anlisis potensi sumberdaya alam pesisir dan laut dapat digunakan analisis quantitative time series comparative yakni menganalisis berbagai potensi dengan melihat tren perubahan dari tahun ke tahun selama 4 sampai 5 tahun. Sedangkan untuk aspek-aspek sosial budaya dilakukan analisis kualitatif komparatif yakni mendeskripsikan tentang nilai-nilai dan cara pandang serta persepsi dan aspirasi masyarakat lokal terhadap nilai kearifan lokal dan makna dari penuturan-penuturan adat dalam berbagai ritual yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut.




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Gambaran Umum Kabupaten Lembata


4.1.1. Letak Geografis

Secara geografis Kabupaten Lembata terletak pada 080 040 – 080 40’ Lintang Selatan dan 1220 38’ –1230 57’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut: Utara berbatasan dengan Laut Flores, Selatan berbatasan dengan Laut Sawu, Timur berbatasan dengan Selat Mrica (Kabupaten Alor) dan Barat berbatasan dengan Selat Lamakera dan Selat Boleng (Kabupaten Flores Timur). Kabupaten Lembata merupakan satu kabupaten baru yang terbentuk sejak tahun 2000. Kabupaten ini, seluruh wilayah daratannya dikelilingi perairan laut, karena kabupaten ini merupakan satu pulau tersendiri yaitu Pulau Lembata (Lomblen/Kawula). Luas seluruh wilayah Kabupaten Lemabata adalah sebesar 4.660,37 km2 yang terdiri dari luas wilayah daratan 1.266,38 km2 (27,17%) dan luas wilayah perairan 3.393,995 km2 (72,83%). Secara administratif pemerintahan Kabupaten Lembata terdiri dari 8 (delapan) kecamatan dengan 5 (lima) kelurahan dan 113 desa. Dari 118 desa/kelurahan jumlah desa pesisir sebanyak 77 desa/kelurahan (65,25%) dan jumlah desa yang bukan tipologi desa pesisir sebanyak 41 desa (43,75%).


Luas wilayah daratan yang paling besar adalah Kecamatan Lebatukan dengan luas wilayah sebesar 241,90 km2 dan yang paling kecil adalah wilayah Kecamatan Buyasuri dengan luas wilayah 104,26 km2. Sedangkan jumlah desa terbanyak adalah wilayah Kecamatan Ile Ape dengan jumlah desa sebanyak 22 desa, sebaliknya wilayah yang jumlah desa paling sedikit adalah wilayah Kecamatan Nagawutun dan Wulandoni dengan jumlah desa masing-masing sebanyak 11 desa.

Kabupaten Lembata selain memiliki luas wilayah daratan yang cukup besar (1.266,38 km2), juga memiliki luas wilayah perairan laut sebesar 3.393,995 km2 dengan panjang garis pantai sepanjang 493 km yang tersebar di seluruh wilayah kecamatan.

Kecamatan Ile Ape memiliki keunikan tersendiri yakni selain memiliki garis pantai paling panjang yakni 102 km (25,95%), juga semua desa (22 desa) di wilayah kecamatan ini termasuk dalam tipologi desa pantai. Kecamatan Lebatukan menempati posisi kedua dengan memiliki panjang garis 81,4 km (16,51%), Kecamatan Omesuri 71,6 km (14,52%), menyusul Kecamatan Nagawutun 65,4 km (13,27%), Kecamatan Buyasuri 56,4 km (11,44%), Kecamatan Atadei 47,6 km (09,66%) dan Kecamatan Nubatukan memiliki panjang garis pantai yang paling kecil yakni 30,2 km (06,13%). Di wilayah Kecamatan Atadei, dari jumlah desa sebanyak 12, tetapi hanya memiliki dua desa pesisir.


4.1.2. Penduduk

Penduduk Kabupaten Lembata sampai pada tahun 2003 berjumlah 97.655 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 24.290, dengan tingkat kepadatan rumah tangga sebesar 4 dan penduduk sebesar 77 jiwa/km. Dari jumlah tersebut penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 44.435 jiwa (45,50%) dan perempuan sebanyak 53.220 jiwa (54,50 %). Kecamatan Nubatukan memiliki jumlah penduduk paling banyak yakni 20.761 (21,26%) dengan tingkat kepadatan 125 jiwa/km2, menyusul Kecamatan Buyasuri sebanyak 16.950 jiwa (17,36) dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi sebesar 163 jiwa/km2.


4.1.3. Topografi

Sebagian besar wilayah Kabupaten Lembata merupakan daerah pegunungan dan berbukit-bukit. Wilayah yang berupa dataran relatif sangat sedikit sekali. Dari seluruh desa/kelurahan terdapat 92 desa (79%) yang topografinya berbukit-bukit dan 25 desa (21%) merupakan wilayah yang datar. Tidak ditemukan sungai besar atau kecil yang dapat mengaliri sepanjang tahun. Kabupaten Lembata memiliki sebuah gunung berapi dan sampai saat ini masih aktif adalah Gunung Ile Ape yang terdapat di wilayah Kecamatan Ile Ape. Nama Kecamatan Ile Ape sesuai dengan nama gunung yang terdapat di wilayah itu. Hampir tidak ditemukan sungai besar maupun kecil di daerah Kecamatan Ile Ape.


4.1.4. Iklim dan Cuaca Kabupaten Lembata pada umumnya beriklim tropis dengan musim kemarau atau kering yang berlangsung lebih lama yakni dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan berlangsung dari bulan Nopember sampai bulan Maret. Kondisi ini menyebabkan jumlah curah sangat sedikit, tidak menentu dan tidak merata. Selama musim kemarau berlangsung angin bertiup dari tenggara (southeast monsoon wind) yang kering sebaliknya pada musim hujan, angin bertiup dari barat laut (northwest monsoon wind) yang basah, dan sangat mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim di wilayah Kabupaten Lembata. Keadaan ini hampir tidak pernah berubah dari tahun ke tahun sehingga hasil komoditas unggulan dari pertanian lahan kering belum dapat diharapkan.

 4.1.5. Perairan Laut

Perairan laut di Kabupaten Lembata dan sekitarnya merupakan yang unik karena fenomena biologi dan geo-ekologi perairan dipengaruhi oleh massa air yang berasal dari Laut Flores, Laut Banda, Laut Sawu dan dari Samudera Hindia serta muson barat dan muson timur. Wilayah perairan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bentuk-bentuk selat yang lebar dan dalam. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya dinamika oseonografi yang tinggi dengan keanekaragaman sumberdaya hayati laut (Dinas Perikanan Kab. Lembata, 2002).

Dinamika oseonografi sesuai hasil survey dan kajian dari Badan Riset Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2002 menunjukkan bahwa ciri perairan Kabupaten Lembata meliputi beberapa aspek antara lain yakni:

1)     Arus Air

Arus air permukaan di wilayah perairan utara Kabupaten Lembata mengalir ke arah timur dan di ujung pulau membelok ke selatan masuk selat Alor. Di bagian selatan Pulau Lembata, arus mengalir ke arah timur dan bertemu dengan arus yang datang dari arah berlawanan (arus dari Selat Ombai). Arus dari Selat Ombai tersebut sebagian membelok ke arah utara memasuki Selat Alor dan sebagian lagi membelok ke arah baratdaya sejajar pantai dan bertemu dengan arus dari barat. Keadaan arus di perairan Lembata yang berupa selat memiliki pola arus yang kompleks. Hal ini disebabkan karena selat tersebut merupakan daerah pertemuan arus dari utara dan selatan. Kecepatan arus permukaan menunjukkan nilai antara 6,7 cm/detik dan arus kedalaman 25 m dengan kecepatan antara 5 – 33,6 cm/detik.

2)     Suhu Perairan

 Suhu permukaan laut di perairan sekitar Lembata antara 24,79 – 30,01 0C. Dari hasil pengamatan, suhu permukaan di sebelah utara peraiaran Lembata 29,58 – 30.01 0C, sebelah selatan 27,91 – 29,310C, seebelah barat 26,50 – 29,59 0C dan sebelah timur 24,79 – 29,98 0C. Kisaran suhu di wilayah perairan utara Lembata tampak lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran suhu dibagian selatan. Kondisi ini disebabkan oleh adanya perbedaan massa air yang berasal dari Samudera Pasifik, sedangkan di sebelah selatan diduga dipengaruhi oleh massa air yang berasal Samudera Hindia yang merupakan lanjutan dari massa air yang mengalir dari selatan Jawa.

3)     Salinitas

Salinitas permukaan di perairan Lembata berkisar antara 39,25 – 34,85 psu. Salinitas di perairan sebelah utara berkirar antara 34,74 – 34,85 psu, sebelah selatan 34,23 – 34,82 psu, sebelah barat 34,44 – 34,84 psu dan perairan sebelah timur 34,37 – 34,82 psu. Variasi salinitas yang besar ditemukan di periaran sebelah barat dan timur. Ketebalan homogen lebih kurang 100 meter, hal ini memberikan indikasi adanya pertemuan arus di dalam selat.
4)     Kecerahan Air

Kecerahan air berkisar antara 7 – 22 meter. Kecerahan terendah ditemukan di perairan Teluk Lewoleba yakni 7 - 11 meter. Kondisi ini diduga disebabkan oleh andanya penduduk di kota Lewoleba sebagai ibukota kabupaten yang langsung berhadapan dengan Teluk Lewoleba, disamping adanya aktivitas dan mobilitas kapal dan perahu yang cukup tinggi di sekitar perairan Teluk Lewoleba, di mana dermaga pelabuhan kapal dan feri terletak di perairan Teluk Lewoleba.

5)     Plankton

Plankton merupakan indikator penting kesuburan suatu wilayah perairan, karena merupakan dasar dari piramida ekologi dan sistem rantai makanan pada suatu ekosistem perairan. Kelimpahan fitoplankton tertinggi ditemukan di perairan Teluk Lewoleba dengan kepadatan 63264 x 103 sel/m3 dan terendah di bagian utara periaran Lembata dengan kepadatan 76,8 x 103 sel/m3. Dengan demikian maka perairan di dalam Teluk Lewoleba lebih subur ditinjau dari segi kepadatan fitoplankton yang berada di dalamnya. Sedangkan di peairan laut bebas kepadatan fitoplanktonnya rendah, hal ini erat kaintannya dengan kuatnya arus di perairan bebas.

Hasil pengamatan Badan Riset Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2002 menunjukkan bahwa di wilayah periaran Lembata ditemukan kurang lebih 35 jenis fitoplankton yang didominasi oleh genera Chaetoceros (45,4%), Rhizololenia (15,2%), Asteorenella (8,4%) dan Skeletonema (8,2%).

Selain fitoplankton, zooplankton juga merupakan salah satu bagian plankton yang turut menentukan kesuburan suatu ekosistem perairan. Kelimpahan zooplankton di lapisan permukaan sekitar perairan Lembata berkisar antara 4575 – 114575 individu/m3. Berdasarkan pengamatan oleh badan yang sama pada tahun yang sama diperoleh hasil bawah kepadatan terendah ditemukan di perairan selatan dengan tingkat kepadatan zooplankton 4575 individu/m3 dan kepadatan tertinggi ditemukan di perairan Waijarang dengan tingkat kepadatan zooplankton sebesar 114575 individu/m3. Jumlah genera yang dapat diindektifikasi ketika itu adalah sebanyak 23 genus yang didominasi Calanus (31,6%), Oithona (31 %), Acartia (17,2%), dan Oikopleura (6,2%).


4.2. Kondisi Potensi Sumberdaya Perikanan

Kondisi umum potensi perikanan dan kelautan Kabupaten Lembata memiliki potensi perikanan dan kelautan yakni kondisi luas perairan lestari sumberdaya perikanan pelagis dan demersal dari Kabupaten Lembata dari tahun ke tahun

4.2.1. Potensi Lestari dan Produksi Penangkapan

Total potensi lestari perikanan tangkap Kabupaten Lembata sampai pada tahun 2004 sebesar 12.813 ton/tahun. Dari potensi lestari tersebut, jenis ikan pelagis sebesar 8.832,64 ton/tahun (64,93%) dan ikan demersal sebesar 4.484,64 ton/tahun (31,07%). Potensi perikanan sangat variatif terdiri dari berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis penting seperti tuna, cakalang, tongkol, tenggiri, udang besar (lobster), cumi-cumi, kepiting, rumput laut, teripang serta kerang-kerangan.

Potensi Lestari dan Produksi Penangkapan Ikan Pelagis dan Demesal selama lima tahun produksi penangkapan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan rata-rata kenaikan untuk jenis ikan pelagis sebesar 91,95% dan ikan demersal sebesar 40,92%. Produksi penangkapan untuk jenis pelagis pada tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 25,74%, tahun 2002 kenaikan sebesar 2,91%, tahun 2003 kenaikan sebesar 9,23% dan pada tahun 2004 mengalami kenaikan yang sangat signifikan yakni sebesar 329,43%. Sebaliknya untuk jenis ikan demersal pada tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 23,16%, tahun 2002 kenaikan sebesar 23,94%, tahun 2003 kenaikan sebesar 10,11% dan pada tahun 2004 juga mengalami kenaikan yang cukup tinggi yakni sebesar 106,47%.

Namun demikian jika dicermati, dari data di atas menunjukkan bahwa upaya penangkapan dan tingkat pemanfaatan belum maksimal. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor keterbatasan baik keterbatasan sumbedaya manusia, sarana dan prasarana penangkapan yang relatif masih kurang dan sederhana maupun dukungan sumber dana pembangunan perikanan di Kabupaten Lembata sebagai daerah otonom yang relarif masih terbatas pula.

Jenis-jenis komoditas yang bernilai ekonomis penting relatif masih lestari seperti jenis-jenis kerapu, kepiting, udang besar (lobster), kerang-kerangan. Keadaan ini menjadi potensial untuk pengembangan budidaya laut maupun pantai, dengan memanfaatkan ketersediaan benih-benih yang masih bersifat alami. yang didukung oleh kondisi perairan yang relatif masih jernih dan hangat karena belum adanya polusi baik dari sampah rumah tangga, industri maupun tidak adanya erosi lahan. Kondisi usaha perikanan tangkap relatif masih didominasi oleh usaha penangkapan yang bersifat tradisional dan berskala kecil. Jenis armada penangkapan yang dimiliki nelayan masih sederhana seperti sampan/jukung, perahu papan, motor tempel dan kapal motor umumnya berukuran 0 – 5 GT.

Kondisi ini membuat  masyarakat nelayan masih berkutat pada masalah bagaimana usaha agar dapat menjelajah dan memanfaatkan potensi perikanan di wilayah perairan yang lebih dalam. Faktor lain yang juga menjadi persoalan bagi nelayan adalah minimnya peralatan tangkap yang masih bersifat sederhana yang relatif masih didominasi oleh peralatan tangkat gill net dan pancing. Dengan demikian persentase tingkat pemanfaatannya pun masih relatif sedikit. Tingkat pemanfaatan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang relatif kecil kecuali pada tahun 2004 mengalami kenaikan mencapai 47,02%, dengan rata-rata pemanfaatan selama lima tahun sebesar 19,88% dari potensi lestari penangkapan sebesar 12.813 ton/tahun pada tahun 2004. Pada tahun 2000 pemanfaatan hanya mencapai 10,87%, pada tahun 2001 tingkat pemanfaatan 13,58%, selanjutnya pada tahun 2002 tingkat pemanfaatannya hanya mencapai 14,42% dan pada tahun 2003 tingkat pemanfaatan 13,51%, sedikit mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.


4.1.2. Perkembangan Armada Penangkapan

Armada penagkapan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah dan hasil tangkapan nelayan. Bagi nelayan tangkap yang usaha menangkap ikan di laut lepas armada pengkapan merupakan faktor yang sangat menentukan. Terdapat penambahan cukup signifikan jumlah armada penangkapan dari tahun ke tahun khususnya untuk jenis sampan/jukung, perahu papan dan motor tempel, meskipun pada tahun 2002 perahu papan dan motor tempel sedikit mengalami penurunan. Berbeda hal untuk jenis motor ketinting dan kapal motor 0 - 5 GT cenderung mengalami penurunan yang cukup berarti yakni terjadi pada tahun 2001 – 2004.

Peningkatan jumlah sampan/jukun dan perahu papan dari tahun ke tahun karena nelayan umumnya masih terikat oleh sistem penangkapan yang bersifat tradisional. Selain itu ketersediaan modal juga merupakan faktor yang mempengaruhi nelayan untuk beralih ke sistem penangkapan dan armada penangkapan yang lebih modern. Kuat dugaan bahwa banyak nelayan pada beberapa desa pesisir masih terikat sistem adat dan kearifan lokal seperti yang terdapat pada nelayan di Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B. Nelayan di kedua desa ini sangat kuat dengan dengan sistem adat dan ritual penangkapan yang mensyaratkan penangkapan dengan menggunakan perahu tradisonal (peledang). Hal yang sama juga ditemukan di Desa Pantai Harapan dan Desa Wulandoni, umumnya nelayan menggunakan armada penangkapan yang masih sederhana. Informasi yang diperoleh peneliti bahwa nelayan di kedua desa ini lebih banyak berstatus sebagai nelayan sambilan tambahan, bukan sebagai nelayan penuh. Masyarakat nelayan di kedua desa ini, juga memiliki sistem adat dan kearifan lokal dalam memanfaatkan hasil yang laut yang tidak serakah untuk menangkap secara berlebihan. Pada tahun 2003 dan 2004 terjadi peningakatan jenis armada penangkapan motor tempel. Kondisi ini terjadi karena ketika itu munculnya Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sehingga banyak kelompok nelayan terbentuk, akibatnya banyak nelayan yang kurang memiliki dukungan modal beralih dan terlibat pada program ini. Selain itu, pada tahun 2003 dan 2004 di NTT terdapat Program GEMALA (Gerakan Masuk Laut) yang dicanangkan oleh pemerintah NTT, maka banyak masyarakat pesisir yang sudah mulai berorientasi ke laut. Masyarakat yang tidak mampu menjelajah laut lepas, mereka lebih memilih berusaha budidaya rumput laut, sehingga peningkatan jumlah sampan dan juku bukan saja semata-mata untuk kepentingan sebagai armada penangkapan tetapi juga untuk kepentingan usaha budidaya rumput laut. Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya penurunan armada penangkapan kapal motor 0-5 GT seperti yang terlihat pada tabel 4.7 di atas.


4.2.3. Perkembangan Alat Penangkapan

Sama halnya dengan armada penangkapan, jenis dan alat tangkap juga merupakan faktor penting bagi nelayan tangkap dalam menentukan hasil usaha penangkapan. Data pada tabel 4.8 berikut memperlihatkan bahwa perkembangan jumlah alat tangkap dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup berarti pada semua jenis alat tangkap. Namun demikian jika dilihat secara cermat, maka terdapat penurunan jumlah alat tangkap khusus untuk jenis alat tangkap gill net pada tahun 2002 dan alat tangkap bagan pada tahun 2002, 2003 dan tahun 2004. Demikian juga, untuk alat tangkap jenis pancing mengalami penurunan pada tahun 2001 dan 2002 serta jenis alat tangkap bubu mengalami penurunan pada tahun 2002.

Secara rinci persentase kenaikan dan penurunan untuk masing-masing jenis alat tangkap selama tahun 2000 sampai 2004 sebagai berikut:

1) Purse siene; jika dibandingkan pada tahun 2000, maka pada tahun 2001 mengalami kenaikan jumlah sebesar 200%, dan seterusnya tahun 2002 mengalami kenaikan sebesar 241,67%, tahun 2003 kenaikan sebesar 87,80% dan pada tahun 2004 kenaikan sebesar 61 61 11,69%. Dengan demikian rata-rata kenaikan untuk jenis Purse siene selama empat tahun sebesar 135,29%. Ini merupakan suatu kenaikan yang cukup besar.

2) Gill Net; pada tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 0,78%, pada tahun 2002 mengalami penurunan sebesar -4,31%, pada tahun kenaikan lagi sebesar 30,31% dan pada tahun 2004 kenaikan sebesar 1,53% dengan rata-rata kenaikan untuk jenis alat tangkap Gill Net sebesar 7,08%.

3) Bagan; alat tangkap ini perkembangannya dari tahun ke tahun mengalami penurunan, meskipun pada pada tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 29,41%. Rata-rata persentase penurunan selama empat tahun mencapai -8,38%. Tahun 2002 peralatan ini mengalami penurunan mencapai -31,82%, dan selanjutnya pada tahun 2003 mengalami penurunan lagi mencapai -31,11%. Sedangkan pada tahun 2004 tidak mengalami kenaikan maupun penurunan (tetap = 0,00 %).

 4) Pancing; peralatan ini merupakan peralatan yang hampir dimiliki oleh semua nelayan dan merupakan peralatan yang jumlahnya paling banyak disamping gill net. Pada tahun 2001 alat tangkap pancing mengalami kenaikan 12,37%, namun pada tahun 2002 mengalami penurunan mencapai -15,51%. Pada tahun 2003 pancing kembali mengalami kenaikan yang cukup berarti yakni mencapai 59,37% dan pada tahun 2004 kenaikan hanya mencapai 1,00% dengan rata-rata kenaikan selama empat tahun sebesar 14,31%.

5) Bubu; peralatan ini mempunyai rata-rata kenaikan selama empat tahun dengan jumlah yang relatif kecil yakni sebesar 1,46%. Jika dilihat perkembangan per tahun, maka pada tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 1,09%, pada tahun 2002 mengalami penurunan sebesar -5,98%, namun pada tahun 2003 mengalami kenaikan lagi sebesar 10,44% dan pada tahun 2004 mengalami kenaikan hanya sebesar 0,30%.

6). Rumpon (alat bantu); Rumpon merupakan alat bantu penangkapan yang cukup banyak dimiliki oleh para nelayan di Lembata, menempati urutan kedua setelah purse siene. Rata-rata kenaikan selama empat tahun sebesar 23,19%, dengan rincian tahun 2001 mengalami kenaikan sebesar 31,58%, tahun 2002 kenaikan mencapai sebesar 12,00, tahun 2003 mengalami kenaikan lagi sebesar 37,50% dan pada tahun 2004 kenaikan sebesar 11,69%.

Seperti halnya pada armada penangkapan, perkembangan penggunaan alat tangkap dari tahun ke tahun, banyak nelayan juga relatif masih menggunakan alat tangkap gill net dan pancing. Jumlah kedua jenis alat tangkap ini secara signifikan lebih besar jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Kondisi ini pula lebih disebabkan oleh faktor keterbatasan modal dan banyaknya nelayan pada masyarakat pesisir yang berstatus sebagai nelayan sambilan tambahan. Faktor keterampilan nelayan juga merupakan hal yang turut berpengaruh.

Dalam hubungannya dengan kearifan lokal dan sistem adat, melalui wawancara individu maupun diskusi kelompok diperoleh informasi bahwa pada beberapa desa pesisir sangat taat terhadap ritual dalam penggunaan armada dan alat penangkapan. Banyak nelayan belum beralih dari penggunaan armada dan alat penangkapan yang lebih modern bukan saja karena dipengaruhi oleh masih kuatnya sistem kepercayaan tradisional dan kearifan lokal, namun pada dasarnya lebih dipengaruhi oleh keterbatasan modal, kesungguhan berusaha, pengalaman, pengetahuan dan keterampilan nelayan itu sendiri dalam melakukan kegiatan penangkapan (fishing) ke laut lepas.


4.3. Potensi Budidaya Perikanan

Potensi lahan budidaya perikanan laut di Kabupaten Lembata diperoleh gambaran luasan areal budidaya perikanan sebesar 886 Ha. Dari luas areal tersebut sesuai dengan kondisi perairan dan kelayakan ekologis cocok untuk dikembangkan jenis komoditas budidaya perikanan dengan distribusi luas areal untuk budidaya ikan (210 Ha), rumput laut (271 Ha) teripang (170 Ha) dan kerang mutiara (235 Ha).

Jumlah potensi areal budidaya yang ada belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pemanfaatan yang baru mencapai 180 Ha (20,32%). Kondisi ini disebabkan oleh masih terbatasnya sumberdaya manusia masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir. Belum banyak nelayan atau masyarakat pesisir yang memiliki keterampilan, ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memadai dalam kegiatan budidaya perikanan laut.

Pemanfaatan potensi lahan budidaya di Kabupaten lembata masih sangat terbatas dengan tingkat pemanfaatan sangat rendah. Untuk komoditas jenis ikan tingkat pemanfaatan baru (4,76%), rumput laut (7,38%), teripang (8.82%), dan kerang mutiara (1,67%). Masyarakat di kawasan pesisir masih terpasung oleh sistem dan pola-pola penangkapan ikan yang bersifat tradisional sehingga peningkatan dan pengembangan ekonomi nelayan bergerak sangat lambat. Disamping itu dukungan dana dalam rangka mengembangkan usaha budidaya masih sangat terbatas.

Potensi dan luas lahan budidaya untuk beberapa jenis komoditas di Kabupaten Lembata masih cukup menjajikan. Dewasa ini kegiatan budidaya laut yang sudah dikembangkan secara luas oleh masyarakat pesisir adalah kegiatan budidaya rumput laut. Menurut pengakuan dari beberapa petani rumput laut pada saat wawancara, mereka mengemukakan bahwa kegiatan budidaya rumput laut sudah banyak membatu dan memberikan hasil bagi masyarakat pesisir dalam meningkatkan pendapatan ekonominya. Produksi rumput laut tahun 2004 sebanyak 1.267 ton kering dengan nilai produksi sekitar Rp. 6.335.000.000,00 (enam milyard tiga ratus tiga puluh lima juta rupiah).

Namun demikian terdapat fenomena lain yang timbul pada masyarakat di wilayah pesisir yang berkaitan dengan semakin maraknya perkembangan usaha budidaya rumput laut adalah klaim masyarakat terhadap penggunaan lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut. Fenomena ini tidak hanya terjadi antara sesama petani rumput laut, melainkan juga antara nelayan-nelayan tangkap dengan petani rumput laut. Perahu-perahu para nelayan tangkapan mengalami kesulitan dalam mobilisasi keluar masuk karena kegiatan budidaya rumput laut dengan menggunakan sistem long line. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari belum adanya rencana tata ruang wilayah pesisir bersama zona-zona pemanfaatannya.

Untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas yang mengarah kepada konflik horisontal terhadap pemanfaatan ruang wilayah pesisir, maka diharapkan Pemerintah Kabupaten Lembata baik eksekutif maupun legislatis dengan otoritas dan kewenangan yang dimiliki dapat segera membuat perangkat peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah sehingga dampak yang mungkin ditimbulkan dari fenomena tersebut diatas dapat diantisipasi sedini mungkin.

Kegiatan budidaya lainnya adalah budidaya pembesaran kerapu dengan sistem jaring keramba apung (JKA) dan menggunakan benih alamiah. Kegiatan budidaya ini terdapat pada tiga lokasi yakni di Desa Tapulango, Teluk Lewoleing, Desa Lamawola dan Desa Lamatokan. Kegiatan budidaya ini dibawa bimbingan dan pendampingan Yayasan Bina Masyarakat Pesisir. Kegiatan budidaya ini agak membutuhkan teknologi dan keterampilan serta investasi modal yang cukup sehingga belum banyak nelayan yang berorientasi ke kegiatan ini. Namun menurut pengamatan kegiatan ini dengan melalui pendampingan banyak nelayan sudah mulai berminat dan menurut pengakuan mereka bahwa kegiatan semacam ini akan sangat membantu mereka dalam mengembangkan dan meningkatkan pendapatannya terutama ketika mereka tidak melaut, apalagi harga komoditas ini cukup menjanjikan.

Sedangkan budidaya kerang mutiara sudah ada sejak tahun 1999 di Teluk Tapulango, namun masyarakat di sekitar di kawasan ini diproteksi ruang geraknya sedemikian rupa, sehingga monopoli usaha dan lahan hanya terbatas investor yakni PT. Camar Sentosa. Hal ini sangat banyak merugikan masyarakat di sekitar kawasan karena dari aspek pemberdayaan masyarakat pesisir tidak tampak terjadi.


 4.4. Potensi Sumberdaya Manusia

Perkembangan jumlah sumberdaya manusia nelayan sampai pada tahun 2004 cenderung mengalami peningkatan, namun kondisi ini belum secara signifikan mempengaruhi besarnya hasil upaya penangkapan maupun kegiatan budidaya perikanan. Keadaan ini dapat dipahami karena peningkatan jumlah nelayan masih didominasi oleh nelayan sambilan dan nelayan sambilan utama. Penambahan jumlah nelayan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas keterampilan nelayan maupun armada dan jenis peralatan tangkap.

Terjadi kecenderungan peningkatan jumlah nelayan dari tahun ke tahun terutama terjadi peningkatan pada tahun 2003 dan 2004. Peningkatan jumlah nelayan ketika itu disebabkan oleh adanya motivasi dan dorongan oleh hadirnya Program Pemerintah baik melalui Program Pemberdayaan Eknonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) maupun Program GEMALA melalui Surat Keputusan Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 24 Tahun 2002 tentang Gerakan Masuk Laut. Namun demikian peningkatan jumlah nelayan tersebut belum secara optimal dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan karena banyak kelompok nelayan yang terbentuk demi mengadobsi sumber dana yang tersedia. Nelayan yang terpanggil bukan karena prosefesi sehari-hari sebagai nelayan melainkan hanya sebagai nelayan sambilan tambahan. Hal ini dapat dibuktikan melalui peningkatan jumlah nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan pada tahun 2003 dan 2004. Dalam pembentukan kelompok nelayan, aspek keterampilan, pengalaman dan profesionalitas tidak menjadi pertimbangan yang matang, sehingga keberlanjutan usaha nelayan menjadi tersendat-sendat bahkan mubazir.


4.5. Penanganan Pasca Panen Perikanan

Sarana, prasarana dan tingkat keterampilan nelayan dalam pengolahan pasca panen perikanan merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas dan standart mutu hasil pengolahan. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung dan melalui wawancara dengan para nelayan, maupun pihak-pihak terkait dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Lembata di peroleh informasi bahwa dari produksi perikanan tangkap yang dihasil oleh para nelayan, sebagian dipasarkan dalam bentuk ikan segar, dikonsumsi dan lainnya diolah dengan cara dikeringkan dengan cara yang relatif masih sederhana dan taradisional.

 Penanganan pasca panen perikanan yang baik harus diperhatikan mulai penanganan ikan di atas kapal atau perahu sampai pada ikan tersebut siap diolah lebih lanjut atau dipasarkan. Kapal-kapal ikan yang beroperasi di perairan Lembata umumnya terdiri atas dua kemlompok yakni pertama kelompok kapal milik nelayan tradisonal yang menangkap dan mendaratkan ikan hasil tangkapannya di perairan Lembata. Kelompok kapal jenis ini umumnya belum memiliki palka penyimpanan dan persediaan es sehingga lama waktu operasi hanya satu hari saja (only one day fishing) yakni berangkat sore dan pulang pagi hari.

Kapal atau perahu-perahu jenis ini, ikan hasil tangkapan biasanya tidak disortir terlebih dahulu menurut ukuran dan jenisnya dan disimpan saja di dalam perahu yang tidak diberi es, sehingga para nelayan berusaha untuk segera mendaratkan ikan hasil tangkapannya di sepanjang pantai terdekat dengan pemukiman penduduk atau desa tempat tinggal mereka.

Selanjutnya hasil penangkapan tersebut umumnya nelayan menjualnya di Pasar Lewoleba, Balawuring dan pasar tradisional (pasar desa) dengan cara tunai maupun dengan cara barter. Proses pengeringan masih sangat tradisional, sehingga belum menghasilkan hasil pengolahan yang berkualitas dan hygienis. Keadaan ini terlebih pada saat puncak musim ikan, dimana penanganan pasca panen hanya dilakukan dengan cara menjemur langsung di atas pasir yang sangat bergantung pada ada tidaknya sinar matahari.

Kelompok kedua adalah jenis kapal yang sudah memadai dan memenuhi standart mutu yakni kapal penangkap ikan tuna dan cakalang dengan alat tangkap (pole and line). Kelompok kapal jenis ini adalah milik PT. Dharma Samudera dan Mitra Mas yang bertempat di Maumere Kabupaten Sikka dan Larantuka Kabupaten Flores Timur. Kapal-kapal jenis ini memiliki kapasitas penangkapan kurang lebih 4 sampai 5 ton dan kesegaran ikan tetap dipertahankan karena memiliki palka berinsulasi sebanyak 2 buah dengan membawa es sebanyak 1.600 kg atau 40 balok es (@ 40 kg/balok). Dengan demikian teknik penanaganan ikan di atas kapal sudah memenuhi persyaratan dan standart mutu sehingga kualitas dan kesegaran ikan tetap terpelihara sampai ikan tersebut didaratkan.

Selain itu, harus diakui bahwa pemantauan terhadap kualitas produk pengolahan hasil perikanan belum ada karena institusi yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan kualitas pengolahan sebagai lembaga penjamin mutu belum dimiliki oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata.

Meskipun masih terdapat keterbatasan baik sumberdaya manusia maupun sarana dan prasarana pengolahan, namun di Kabupaten Lembata sudah terdapat beberapa jenis produk olahan yang dapat diproduksi dan dapat dipasarkan di beberapa tempat di Indonesia dengan kapasitas produksi yang dapat menjawab permintaan.


4.6. Infrastruktur Perikanan

Infrastruktur yang dimaksudkan di sini adalah sarana dan prasarana yang berhubungan dan menunjang aktivitas kelautan dan perikanan. Kabupaten Lembata sebagai Kabupaten baru, terbentuk pada tahun 2000, belum banyak memiliki sarana dan prasarana perikanan yang memadai. Kondisi demikian akan sangat sulit meningkatkan pendapatan nelayan.

Sarana perhubungan darat tercatat bahwa 49,4% dari total panjang jalan di Kabupaten Lembata yang panjangnya 422,95 km mengalami kondisi rusak berat. Keadaan ini berpengaruh terhadap akses pasar sehingga menyulitkan pemasaran hasil perikanan dan laut lainnya. Akibatnya sebagian hasil perikanan hanya dapat dipasarkan dengan sistem barter antara hasil perikanan dengan hasil pertanian pada pasar-pasar tradisional seperti di Desa Wulandoni, Lamalera A dan Lamalera B. Lebih lanjut keadaan ini menyebabkan hasil-hasil perikanan dipasarkan dalam bentuk olahan seperti ikan kering/asin dengan cara pengeringan dan pengasinan yang relatif masih sangat tradisional.

Untuk pemasaran jenis komoditas perikanan khusus, yang harus membutuhkan transportasi udara seperti lobster yang dijual dalam bentuk hidup juga mengalami kesulitan karena frekwensi penerbangan dari dan ke Lewoleba ibu kota Kabupaten Lembata hanya sekali dalam seminggu. Transportasi laut yang relatif cukup lancar, namun saat ini masih terbatas pada pengangkutan hasil-hasil perikanan dan kelautan lainnya dalam bentuk olahan.

Pasar Lewoleba sebagai salah satu pasar yang diharapkan cukup representatif untuk pemasaran hasil perikanan juga belum memiliki fasilitas yang memadai, belum memiliki petakan-petakan khusus untuk komoditas dan belum tertata secara baik serta fasilitas air bersih yang kurang di sekitarnya juga menyulitkan pemasaran hasil-hasil perikanan.

Kabupaten Lembata sampai saat ini baru memiliki sebuah unit TPI, namun belum dimanfaatkan sesuai fungsinya karena belum rampung. Disamping itu berbagai fasilitas pendukung lainnya seperti, pabrik es, cold storage juga belum dimiliki. Untuk memenuhi kebutuhan nelayan hanya mengandalkan penyediaan es dari freezer rumah tangga dan pasokan es dari Larantuka (Kabupaten Flores Timur) yang harus membutuhkan lama waktu perjalanan empat jam. Kondisi ini mempengaruhi nelayan dalam pengawetan dan pemasaran ikan-ikan segar serta pengolahan pasca panen lainnya. Disamping itu pabrik garam sebagai salah satu infrastruktur penyedia stok garam untuk pengolahan ikan asin juga belum tersedia di Kabupaten Lembata.


4.7. Potensi Kearifan Lokal

Masyarakat pesisir Kabupaten Lembata memiliki potensi dan kekayaan kearifan lokal yang cukup banyak. Kearifan tersebut dianut sebagai suatu bentuk peradaban dan sistem nilai serta pranata berkaitan dengan usaha pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam laut dan pesisir. Kekayaan kearifan lokal/tradsi tersebut menuntun mereka untuk selalu hidup selaras, harmonis dengan alam lingkungannya.


4.7.1. Kearifan Pemanfaatan Sumberdaya Laut di Kecamatan Wulandoni

Dalam memanfaatkan sumberdaya laut masyarakat di Kecamatan Wulandoni selalu mengikuti kebiasaan yang sudah menjadi tradisi adat yakni dengan melakukan acara ritual yang menurut sistem kepercayaan dan pengetahuan masyarakat setempat ritual tersebut dapat memberikan hasil usaha mereka sebagai nelayan maupun keselamatan mereka selama melaut.

 a. Kearifan di Desa Pantai Harapan Masyarakat nelayan Desa Pantai Harapan memiliki ritual yang berhubungan dengan usaha mereka sebagai nelayan dalam memanfaatakan sumberdaya laut. Ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat yakni:

1) Bito Berue; merupakan suatu tradisi adat yang dilakukan oleh nelayan setempat sebelum menggunakan sampan/juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di pantai dengan menggunakan bahan-bahan seperti ayam jantan yang jenggernya masih utuh. Jengger ayam dipotong oleh tua adat laut (Aho Male) , lalu darahnya dioles disekeling sampan/juku baru.

2) Lepa Nua Dewe, tradisi ini dilakukan untuk melepas pukat yang ukurannya kecil yang dalam bahasa setempat disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat tangkap tradisional masyarakat setempat untuk menangkap ikan serdin dan tembang biasanya pada musim-musim tertentu selalu muncul diperairan laut daerah setempat dalam jumlah yang sangat banyak.

3) Bruhu Brito, merupakan suatu tradisi oleh masyarakat nelayan setempat sebelum melepas pukat baru untuk menangkap jenis ikan selain tembang.

4) Tula Lou Wate, upacara ini merupakan tradisi dalam memberi makan kepada ”leluhur di laut” dengan maksud memanggil ikan agar ikan dapat berkumpul dan memberikan hasil tangkapan yang banyak.

Semua jenis upacara adat tersebut di atas dilakukan oleh tua adat laut yang dalam bahasa masyarakat setempat disebut Aho Male. Masyarakat setempat tampaknya sangat patuh dan taat terhadap sistem nilai setempat. Hal yang menarik di sini adalah meskipun tradisi-tradisi setempat lebih banyak pada usaha penangkapan, namun dalam ritual tersebut diwanti-wanti oleh Aho Male bahwa tidak boleh menangkap dalam jumlah yang sangat banyak.

Jika hasil tangkapan terlalu banyak, maka akan membawa resiko berupa sakit atau bencana lainnya di laut. Selain itu, adanya tradisi tersebut, masyarakat nelayan setempat selalu tercipta hubungan kerjasama yang harmonis dalam semangat gotong royong, tidak saling bersaing dalam usaha penangkapan, termasuk tidak saling merusak atau mencuri alat-alat tangkap yang dimiliki oleh sesama nelayan. Juga diakui bahwa adanya tradsi ini dapat menciptakan adanya kesadaran masyarakat nelayan untuk tidak menangkap dan memanfaatkan hasil-hasil laut secara bebas, berlebihan dan merusak sumberdaya laut.

b. Kearifan di Desa Wulandoni

Dalam hal usaha penangkapan masyarakat nelayan tradisional di Desa Wulandoni selalu melaksanakan acara ritual. Ritual biasanya dilakukan sebelum melepas pukat baru. Sebelum melepas pukat baru ke laut umumnya nelayan melakukan acara ritual terlebih dahulu dengan acara toto. Ritual, tradisi toto biasanya dilakukan di pinggir pantai dan dipimpin oleh tuan tanah (tua adat) setempat yang disapah dengan Lewo Tanah Alap.

Dalam acara ritual toto Tua Adat (Lewo Tanah Alap) akan melakukan penyembelian ayam jantan merah dan darah ayam dipercik atau dioles pada pukat dengan berjalan melingkari pukat. Kemudian ayam jantan merah yang sudah disembeli dimasak dengan cara dibakar, dan bersama dengan material lainnya (pisang, jangung titi, dan tuak) untuk selanjutnya dilakukan sesajen sebelum dimakan bersama. Makna penting dari ritual ini adalah agar alat tangkap (pukat) dapat memberikan hasil yang baik bagi usaha mereka.

Melalui wawancara individu dan diskusi kelompok dengan para nelayan diperoleh gambaran bahwa keraifan yang dimiliki oleh masyarakat setempat tidak semata-mata bermakna untuk mendapat hasil yang berlimpah, namun ritual semacam ini biasa dilakukan untuk menjaga keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri. Makna lainnya adalah dalam acara semacam ini mencerminkan ikatan sosial dan kebersamaan antara nelayan. Sebagai perwujudan dari kebersamaan dan ikatan sosial diantara masyarakat, maka hasil tangkapan untuk pertama kali dari pukat baru tersebut harus dibagi dan diberikan kepada para janda-janda dan jumpo-jumpo.

Penghargaan dan penghormatan terhadap Lewo Tanah Alap (Tua Adat) sangat tinggi, karena hasil tangkapan tua adat selalu mendapat kebagian. Tua Adat juga dihargai, jika sewaktu-waktu ditemukan ikan jenis besar yang terdampar seperti lumba-lumba, pari, penyu dan paus yang terdampar, sebelum ikan tersebut dipotong, nelayan yang menemukan harus terlebih dahulu menghubungi Lewo Tanah Alap, selanjutnya ikan tersebut dibagi-bagi dengan syarat Lewo Tanah Alap harus mendapat kebagian bagian kepala dan jantung dari ikan tersebut.

c. Kearifan di Lamalera Lamalera merupakan sebuah wilayah terdapat di Kecamatan Wulandoni yang terletak disebelah selatan bagian barat Kabupaten Lembata. Lamalera memiliki dua desa yang berdekatan yakni Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B. Secara sosio-cultur peradaban masyarakat di kedua desa ini tidak berbeda, karena pada dasarnya berasal dari asal usul yang sama.

Hasil pengamatan peneliti dan melalui wawancara mendalam dengan Tua Adat di desa ini diperoleh informasi bahwa masyarakat nelayan lamalera memiliki keunikan tersendiri terutama dalam hubungan dengan aktivitas melaut. Kearifan Lokal yang sudah menjadi budaya di Lamalera adalah budaya penangkapan ikan paus secara  tradisional. Budaya ini sudah lama dimiliki dimulai sejak zaman nenek moyang dan tetap dipegang teguh oleh setiap anggota masyarakat nelayan dan berlangsung sampai sekarang. Dalam hal penangkapan ikan paus tradisi dan budaya ini terus diwariskan ke generasi berikutnya. Ritual dan tahapan-tahapan tradisi tatacara adat tersebut merupakan suatu perpaduan yang sinergis dan harmonis antara adat dan religius serta harus dilakukan secara teliti, ketat, sempurna dan benar.

Tradisi dan tatacara adat dimaksud dimulai dari proses pembuatan perahu tradisional khusus digunakan penagkapan ikan paus yang dalam bahasa setempat disebut peledang, penyiapan peralatan dan sarana penunjang, peralatan penangkapan ikan paus, proses turun ke laut, pantangan-pantangan dan larangan-larangan yang harus dihindari serta tatacara pembagian hasil tangkapan. Aktvitas dan musim penangkapan ikan paus yang dikenal dengan istilah Leffa Nuang (musim turun ke laut), yang dilasanakan setiap tahun dan biasanya dimulai sejak bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Suatu hal yang menarik pada saat Leffa Nuang adalah berbagai ritus baik secara adat budaya maupun secara religius dipadukan dalam upacara pembukaan musim penangkapan ikan.

Beberapa upacara adat dan tahapan penting yang dilakukan pada Leffa Nuang adalah sebagai berikut:

• Upacara Tobu Nama Fatta’ ; adalah upacara di mana para Tua Adat Lamalera berkumpul bersama dengan semua nelayan di sebuah Kapel (Kne’) sejenis rumah ibadat orang Katolik yang berukuran kecil yang dibangun persis di pinggir pantai Lamalera. Dalam upacara Tobu Nama Fatta dibicarakan hal-hal yang prinsip yang berkaitan dengan aturan melaut. Selain itu juga dalam upacara Tobu Nama Fatta, dapat dijadikan semacam forum evaluasi terhadap berbagai kegiatan, hambatan para nelayan Lamalera pada musim penangkapan sebelumnya serta upaya-upaya  dan strategi yang harus diantisipasi dan dihadapi nelayan pada musim penangkapan sekarang. Setelah upacara ini para Tua Adat akan mengahdap Tuan Tanah Lamalera untuk meminta restu sehingga Leffa Nuang dapat dimulai.

 • Misa Arwah; merupakan kebaktian secara Katolik yang dipimpin oleh Pastor (Pendeta Katolik) yang bertujuan untuk mendoakan semua arwah leluhur yang meninggal di laut dan upacara misa ini dilaksanakan sehari sebelum kegiatan melaut (biasanya dilaksanakan pada setiap tanggal 30 April).

• Misa Leffa; adalah upacara kebaktian yang bertujuan untuk memohon berkat serta perlindungan dari Tuhan Allah Yang Mahakuasa (Ama rera wulan tana ekan) selama Leffa Nuang berlangsung. Pastor akan mereciki dan memberkati semua perahu (tena/peledang), perlengkapan perahu serta semua nelayan yang siap melaut. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada setiap tanggal 1 Mei.
• Tena Fulle; adalah upacara di mana salah satu perahu (peledang) tertentu yang dipercayakan untuk pertama kali melaut pada hari pertama yang didahuli dengan upacara ritual adat memberi makan kepada arwah leluhur bertempat di pinggir pantai dan dilakukan oleh Tua Adat (Ata Molang).

Bagi masyarakat nelayan Lamalera aktivitas Leffa Nuang merupakan suatu aktivitas yang sangat sakral dan memiliki resiko yang sangat tinggi, oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara personal dalam komunitas masyarakat harus dijaga agar tetap harmonis. Tidak boleh terdapat perselisihan antara nelayan atau kelompok masyarakat bahkan dalam keluarga tidak boleh terjadi pertengkaran antara suami – istri maupun dengan anak.

Keharmonisan tersebut diwujudkan dengan saling maaf memaafkan sebelum melaut, karena mereka sangat percaya bahwa jika terjadi perselisihan atau  pertengkaran Arwah Leluhur dan Allah Yang Mahakuasa tidak berkenan dan tidak akan memberikan berkat dan rahmat serta rezeki yang berlimpah. Mereka juga sangat percaya jika semua tahapan-tahap secara adat maupun agama tidak dilakukan dengan sempurna serta terjadi pertengakaran atau perselisihan maka dalam aktivitas melaut akan mengalami resiko yang dapat bersifat fatal, karena yang mereka hadapi ikan paus yang merupakan makhluk paling besar penghuni laut. Suasana kerjasama antara nelayan, pantangan seperti tidak boleh maki, mencuri menjadi tabu bagi nelayan Lamalera.


4.7.2. Kearifan Lokal di Kecamatan Omesuri

a.      Kearifan Lokal Desa Wailolong

Desa Wailolong merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Omesuri dan memiliki kearifan atau tradisi adat dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut maupun di darat. Di desa ini, terdapat sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka bahwa di laut ada penguasanya yang disebut ”hari” dan penguasa di darat yang disebut ”neda ”. Adanya sistem kepercayaan ini mendorong pemangku adat ”lemaq ” untuk melakukan ritual ’kolo umen bale lamaq” yakni upacara memberi makan kepada penguasa di laut sebelum mereka melakukan penangkapan, budidaya rumput laut maupun pengelolaan sumberdaya pesisir seperti penanaman bakau. Namun demikian tradisi ini hanya dilakukan oleh orang tertentu dan sifatnya perorangan, belum merupakan suatu kesepakatan bersama.

Melalui wawancara mendalam dengan tokoh kunci dan wawancara kelompok dengan masyarakat diperoleh gambaran informasi bahwa hasil-hasil usaha nelayan saat ini mengalami penurunan, sebagai akibat dari banyaknya hasil-hasil laut yang sudah hilang seperti agar-agar, bakau dan teripang. Terdapat aspirasi masyarakat desa ini khususnya masyarakat nelayan yang hidupnya sangat bergantung pada hasil-hasil laut, menghendaki agar ritual semacam ini perlu dilakukan secara bersama dan terus-menerus sehingga merupakan aturan atau norma serta tradisi yang mempunyai makna dapat mengatur tindakan-tindakan manusia terhadap pemanfaatan sumberdaya alam pesirsir dan laut di tempat itu.


b.     Kearifan Lokal Desa Lebewala

Masyarakat pesisir Desa Lebewala Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir. Dalam pemanfaatan sumberdaya teripang sistem nilai yang mengatur masyarakat setempat adalah ”poan kemer puru larang” yakni suatu tradisi larangan secara adat bagi masyarakat untuk tidak mengambil hasil-hasil laut secara bebas. Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua adat dan dukun-dukun melakukan ritual terlebih dahulu. Dukun (Ata Molang) akan melakukan ritual dan selanjutnya masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah kurang lebih 2 tau 3 hari, Ata Molang akan melakukan ritual pelarangan kembali wilayah perairan tersebut.

Selain Ata Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah Desa Lebewala juga memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara hukum yakni berupa sanksi denda dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan kambing jantan besar senilai satu juta rupiah. Dengan adanya sanksi secara adat dan atauran pemerintah tampaknya membuat masyarakat kawasan pesisir desa ini cukup jerah dalam melakukan tindakan pengurasakan atau pengambilan teripang secara bebas.


c.      Desa Balawuring

Desa Balawuring merupakan ibukota Kecamatan Kecamatan Omesuri dan merupakan suatu merupakan suatu wilayah perairan teluk yang cukup dalam sehingga di tempat ini terdapat sebuah dermaga yang dapat melayani pendaratan kapal-kapal ikan dan kapal-kapal perintis lainnya.

Karakteristik masyarakat di Desa Balawuring sedikit berbeda dengan masyarakat pesisir di desa-desa lainnya. Hal ini disebabkan oleh komunitas masyarakatnya yang cukup heterogen dan pola peradaban penduduk di wilayah desa ini sudah banyak dipengaruhi oleh masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang yang bermukim di wilayah pesisir di desa yakni dari suku Bajo dan Bugis. Oleh karena itu ritual yang berkaitan dengan kearifan lokal dan adat istiadat yang berhubungan dengan kegiatan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir sudah tidak ditemukan pada masyarakat di desa ini. Sebagai contoh banyak masyarakat dari Suku Bajo memiliki bangunan rumah panggung di atas laut. Mereka menebang pohon bakau dan selanjutnya digunakan sebagai bahan bangunan dan jembatang/jalan pengubung antara rumah yang satu dan lainnya. Perilaku masyarakat dan pola pemukinan seperti ini tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai dan aspek-aspek konservasi sumberdaya. Perilaku dan pola pemukiman semacam ini memberi dampak yang cukup besar terhadap kerusakan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir lainnya serta tingkat pencemaran limbah rumah tangga yang cukup tinggi di wilayah perairan Teluk Balawuring.


4.7.3. Kearifan Lokal Kecamatan Ile Ape

a.      Desa Watodiri Desa

Watodiri adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Ile Ape. Watodiri berasal dari ”wato” yang berarti batu dan ”diri” berarti berdiri, sehingga Watodiri berarti batu berdiri. Batu tersebut sampai kini masih berdiri tegak di pinggir pantai. Pemberian nama Desa Watodiri sebenarnya muncul kemudian yakni ketika terjadi pembentukan desa gaya baru di wilayah itu. Mulanya nama asli wilayah ini, lebih 82 82 dikenal oleh masyarakat setempat sejak zaman dulu adalah Lewu Kimakama yakni sebuah kampung yang kini menjadi sebuah dusun yang langsung berada di pesisir. Lewu Kimakama secara harafiah berarti ”kampung kulit kerang”.

Masyarakat pesisir Desa Watodiri memiliki pranata tradisional dan kearifan lokal dalam upaya konservasi lingkungan. Hasil wawancara dengan tokoh adat dan masyarakat setempat diperoleh gambaran bahwa mereka menyadari dan memahami tentang adanya saling ketergantungan antara kehidupan mereka dengan kehidupan makhluk lainnya yang hidup di bumi ini. Filosofi dasar ini tertuang pula dalam hasil kajian mengenai revitalisasi dan refungsionalisasi kearifan lokal dalam konservasi terumbu karang dan mangrove yang dilakukan oleh Kotan, et. al., (2003) di desa ini. Kotan, et.al., (2003), menjelaskan bahwa masyarakat di Desa Watodiri sangat menyadari akan eksistensi kehidupan mereka dengan eksistensi kehidupan makhluk lainnya dalam kebersamaan di bumi yang sama dan satu ini.

Khusus yang berhubungan dengan eksploitasi dan konservasi sumberdaya laut dan pesisir masyarakat memiliki kearifan yang disebut ”Badu”. Badu sampai kini masih diakui dan dianut serta tetap dipelihara secara baik oleh masyarakat setempat. Menurut penuturan tokoh-tokoh kunci dan masyarakat setempat bahwa badu dapat bermakna eksploitasi yaitu pada saat diperbolehkan tangkap (buka badu) dan juga bermakna konservasi yakni pada saat dilarang/ditutup (letu badu). Upacara penangkapan hasil-hasil laut secara bebas oleh masyarakat di wilayah ini baik yang berada di wilayah pesisir (Lewu Leing) maupun yang berada di pegunungan (Lewu Werang). Kegiatan ini bermakna memberi makan kepada banyak orang dan dinikmati bersama yang dalam bahasa masyarakat setempat disebut ”pau ribu ratu”.

Tahapan-tahapan pembukaan badu (buka badu) dilakukan sebagai berikut:

 • Penguasa wilayah laut atau penjaga pantai (Nama Watan) menyampaikan kepada Penguasa ulayat/adat (Kebelen Raya) bahwa ikan-ikan di perairan daerah badu sudah banyak sehingga sudah tiba saatnya kegiatan buka badu dapat dilaksanakan.

• Pemimpin ulayat (Kebelen Raya) bersama tokoh lainnya dan pemerintah setempat merencanakan dan menetapkan waktu yang tepat untuk dilaksanakan pembukan badu.

 • Berdasarkan kesepakatan waktu yang ditentukan oleh Kebelen Raya, penjaga pantai (Nama Watan) akan segera menyampaikan secara luas kepada para pemilik perahu, sampan dan pukat serta masyarakat luas di wilayah desa itu, termasuk juga mereka yang berada dipegunungan (Lewu Werang) untuk menangkap ikan-ikan di daerah pembukaan badu.

• Semua peralatan tangkap dan nelayan serta masyarakat harus melakukan ritiual sesajen yang dalam bahasa setempat disebut ”tunu muku manu” yang memiliki makna memberi makan kepada arwah/roh leluhur (pau lewotana) yang telah meninggal di laut. Acara ini dilakukan oleh seorang tua adat (Ata Molang) yang memiliki wewenang untuk melaksanakan ritual tersebut.

• Setelah ritual tunu muku manu dan pau lewotana selesai, penjaga pantai (Nama Watan) akan masuk ke dalam laut dan melepas pukat pertama, kemudian baru diikuti oleh yang lain. Sedangkan Kebelen Raya tidak melakukan penangkapan, namun Kebelen Raya selalu mendapat kebagian dari semua mereka yang memiliki perahu, sampan dan pukat.

• Upacara buka badu ini hanya berlangsung sehari dalam setahun yang pada waktu pagi sampai petang menjelang malam. Ketika hari mulai senja dan menyongsong malam Kebelen Raya bersama Nama Watan dan pemerintah desa setempat harus melakukan acara larangan/penutupan (letu badu). Acara ditandai dengan  penancapan sebuah kayu/tiang yang diikat dengan pucuk daun kelapa berwarnah putih. Selama wilayah perairan badu ditutup, masyarakat nelayan desa ini tidak diperkenankan melakukan aktivitas penangkapan ikan dan sumberdaya lainnya di dalam wilayah larangan, mereka hanya diperkenankan menangkap di luar dari wilayah badu . Kepatuhan dan ketaatan masyarakat terhadap sangat tinggi sesuai informasi dan penuturan masyarakat desa dan nara sumber. Tahapan-tahapan tersebut di atas harus dilakukan secara baik dan sampai kini masih terus dilakukan serta digunakan sebagai penuntun hidup dan kebersamaan mereka dengan alam lingkungan. Kuatnya nilai kearifan lokal ini sangat dipengaruhi oleh struktur kelembagaan adat di Kerajaan Lewu Kimakama di Watodiri seperti pada bagan struktur berikut.
 Revitalisasi dan Refungsionalisasi Konservasi Terumbu Karang dan Mangrove di NTT. Pembagian kerja dari struktur kekuasaan kelembagaan adat di atas adalah sebagai berikut: - Kebelen Raya; sebagai penguasa (Raja) yang memiliki peran sebagai penguasa dalam sistem pemerintahan adat baik di pegunungan (Lewu Werang) maupun di pantai (Lewu Leing) dan membawahi Beleng Lewhong. - Beleng Lewhong; memiliki peran semacam Perdana Menteri yang memimpin pemerintahan dalam praktek serta mengambil kebijaksanaan makro pemerintahan kampung (Lewotana) baik Lewu Werang maupun Lewu Leing. - Jaga/Niang; sebagai pelaksana teknis yang berada di bawah Beleng Lewhong, meliputi Jaga/Niang Nama Watan yang berperan sebagai penjaga/pelestari wilayah pesisir, dan Jaga/Niang Ile Wokal atau Onge Woi memiliki peran sebagai penjaga/pelestari wilayah pegunungan. - Unit fungsional dalam struktur dan kelembagaan adat ada 3 (tiga) yakni Atamukin yang memiliki fungsi kependetaan/imam dalam memimpin upacara persta syukuran, Beamimeng Beku Eweleng memiliki fungsi sebagai kemiliteran yang bertugas menjaga keamanan kampung dan mengusir gangguan musuh yang datang dari luar kampung dan lembaga fungsional yang ketiga adalah Ahu Kliki Manu Klewa yang memiliki fungsi sebagai dukun dan bertugas melindungi masyarakat dari berabagai wabah penyakit dan mengusir setan serta roh jahat/kekuatan gaib yang mengganggu warga kampung.

b. Desa Lamatokan Desa Lamaton adalah salah satu desa pesisir di wilayah Kecamatan Ile Ape. Masyarakat di wilayah ini juga memiliki pranata dan aturan adat yang bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat di wilayah desa ini berasal dari Suku Kedang, dan dalam kehidupan sehari-hari mereka menyadari akan betapa pentinnya sumberdaya laut dan pesisir demi menopang kehidupan mereka.

Dengan adanya kesadaran tersebut dan semakin meningkatnya kerusakan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan luar dan melintasi disekitar wilayah perairan tersebut maka mereka menetapkan daerah larangan dan masyarakat tidak boleh mengambil hasil-hasil laut yang terdapat di dalamnya. Tradisi larangan yang terdapat di Desa Lamatokan dikenal dengan nama ”Muro”. Tradisi ini masih berlaku sampai sekarang dan masyarakat memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap larangan tersebut. Larangan ini disertai dengan sanksi dan denda yang disepakati baik secara adat maupun melalui Peraturan Desa. Bentuk sanksi yang disepakati adalah berupa uang tunai sebesar satu juta rupiah dan kambing jantan dan babi besar seharga satu juta masing-masing satu ekor.

Semua hasil kesepakatan adat dan bentuk-bentuk sanksi yang telah disetujui oleh Tuan Tanah (Lewotana Alaweng) harus disosialisasi melalui pengumuman kepada masyarakat luas untuk diketahui dan dilaksanakan. Tugas ini biasanya dilakukan oleh pembantu Lewotana Alaweng yang dalam bahasa setempat ”Taran mekin taran wanan”. Disamping itu perangkat pemerintahan desa setempat juga turut memberikan sosialisasi kepada masyarakat baik para nelayan maupun non nelayan. Menurut pengakuan tokoh-tokoh kunci dan masyarakat nelayan setempat bahwa dengan adanya sanksi tersebut cukup efektif dan membuat jera tindakan nelayan yang biasanya melakukan merusak sumberdaya alam pesisir dan laut. Perilaku dan peradaban masyarakat seperti di atas ternyata memberi makna positif bagi upaya konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut.

Oleh karena itu sebelum melakukan usaha penangkapan ikan, budidaya maupun melakukan larangan selalu didahului dengan upacara ritual. Masyarakat nelayan di Desa Lamatokan sebelum melepas pukat, sampan dan yang perahu baru, maupun usaha budidaya rumput laut dan keramba jaring apung Balawaheng (pemimpin upacara) melakukan upacara ritual untuk memberi makan kepada arwah nenek moyang (leluhur) yang dalam sebutan mereka dikenal dengan nama ”Pau boe ama opo koda kewoka” dengan harapan semoga usaha mereka dapat membawa hasil yang banyak dan selalui dijauhi dari aral dan rintangan serta bahaya yang mengancam kehidupan dan usaha mereka. Acara ini harus dihadiri dan mendapat restu dari Tuan Tanah atau Tua Adat yang dalam sebutan masyarakat setempat adalah Lewotana Alaweng.

Setelah mendapat restu dari Lewotana Alaweng, pemimpin upacara ritual (Balawaheng) bersama pemilik pukat, sampan, dan perahu menuju ke Maung (semacam mesbah) yang terdapat di pantai untuk selanjutnya dilaksanakan acara ritual.

c. Desa Dulitukan Badu merupakan istilah yang digunakan untuk menangkap ikan tembang yang dalam bahasa setempat disebut ”kete” dan dilakukan secara masal oleh masyarakat empat desa (Tagawiti, Dulitukan, Kolipadan dan Palilolon) di hamparan Tanjung Bahagia Kecamatan Ile Ape. Tempat penangkapan ini berada pada sebuah teluk yang panjangnya kurang lebih 400 meter dari peraian laut Nereng dengan lebar sekitar 20 meter. Di sekitar teluk ini terdapat hamparan pohon bakau (mangrove) yang cukup lebat. Teluk Nereng ini berada di hamparan Tanjung Bahagia dan berhadapan dengan kota Lewoleba ibukota Kabupaten Lembata.

Waktu penangkapan ikan ini hanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu sekitar bulan Agustus sampai Oktober pada saat air surut dan biasanya terjadi pada siang hari. Tradisi ini berlangsung semenjak nenek moyang keempat desa ini berada di wilayah ini. Sebelum kegiatan badu dibuka untuk masyarakat umum, pemimpin adat (Kebelen Raya) dan penjaga pantai (Nama Watan) terlebih dahulu melakukan suatu upacara adat (ritual) yang bermakna meminta izin kepada penghuni laut dan roh-roh nenek moyang yang meninggal di laut dengan maksud supaya hasil tangkapan mereka berlimpah. Kegiatan ritual biasanya dilakukan di pinggir pantai di sekitar tempat penangkapan.

Peralatan yang dipakai untuk menangkap ikan ini adalah jalah dan jenis peralatan tradisional yang disebut pewai . Peralatan jala pada waktu itu hanya dimiliki 4 – 5 orang saja, sedangkan yang lainnya hanya memiliki peralatan taradisional pewai. Dengan peralatan yang dimiliki mereka dapat menangkap hasil yang banyak. Kegiatan ini dimaksudkan agar masyarakat di wilayah keempat desa ini tidak menggunakan hasil-hasil laut secara leluasa dan mereka juga menyadari dengan cara ini sumberdaya pesisir dan laut dapat dijaga dan dilestarikan sehingga ketika musim buka badu tahun berikutnya dapat memberikan hasil yang lebih banyak lagi.

Namun demikian tardisi ini yang baik dan memiliki makna konservasi ini sudah melai berangsur pudar dan bahkan ketika peneliti melakukan observasi dan wawancara kepada masyarakat dan pemimpin di wilayah diperoleh informasi bahwa tradisi badu sudah tidak lagi dilaksanakan oleh masyarakat setempat pada puluhan tahun terakhir. Disampaikan pula bahwa tidak dilaksanakan tradisi ini disebabkan oleh pertama, kurangnya sistem penguatan kelembagaan adat dan pewarisan kepada generasi berikutnya dalam melaksanakan upacara badu. Kedua, arus masuk dan keluarnya kapal-kapal yang melintasi wilayah perairan Teluk Nereng yang semakin ramai karena berhadapan langsung dengan kota Lewoleba. Ketiga, akhir-akhir ini terdapat semakin maraknya para nelayan yang melakukan cara penangkapan ikan dengan mengunakan bom dan racun lainnya.


4.8. Pembangunan Perikanan dan Pemberdayaan Kearifan Lokal Pembangunan Perikanan di Kabupaten Lembata, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan terbentuknya Kabupaten Lembata pada tahun 2000, pemerintah daerah dengan melalui keterbatasan sumberdaya manusia maupun dana, telah berusaha secara perlahan-lahan memberikan fokus perhatian terhadap pembangunan sektor ini. Pemerintah Kabupaten Lembata sangat menyadari akan keberadaan potensi sumberdaya laut yang cukup besar, maka arah dan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan tetap menjadi perhatian dari tahun ke tahun, meskipun program pengembangan dan kegiatan pembangunan perikanan serta dukungan dana diakui masih sangat kecil dari tahun ke tahun, jika dibandingkan dengan jumlah anggaran pembangunan seluruh Kabupaten Lembata maupun sektor lainnya.

Namun demikian komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata terhadap pembangunan sektor ini tetap menjadi perhatian serius. Komitmen tersebut dapat ditunjukkan melalui berbagai program dan kegiatan serta alokasi anggaran yang disetujui untuk pembangunan perikanan dan kelautan selama 5 tahun seperti yang tercantum dalam tabel 4.15 berikut.

Dalam aspek pemberdayaan masyarakat, kearifan lokal, sistem kepercayaan masyarakat, pengetahuan-pengetahuan tradisional, hukum adat yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan tampak belum menjadi perhatian yang serius. Jika dicermati dari program dan kegiatan yang ada dari tahun ke tahun tampak banyak yang berorientasi pada proyek. Penekanan program dan kegiatan pada aspek pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir masih sangat kurang. Lebih lanjut program-program dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan, rivitalisasi dan refungsionalisasi kearifan lokal, hukum adat tradisi dan budaya masyarakat pesisir dan nelayan dalam rangka penguatan kelembagaan lokal untuk memperkuat local governence hampir tidak mendapat perhatian sama sekali. Sementara di lain pihak, keberadaan kelembagaan lokal berserta kearifan lokal, tradisi, dan hukum adat, diakui memiliki peranan yang sangat strategis dalam mengadobsi berbagai program-program dan kegiatan pembangunan.

Data pada tabel 4.15 menunjukkan bahwa dari aspek program dan kegiatan maupun anggaran setiap tahun mengalami perubahan. Pada tahun 2000 ketika Kabupaten ini mulai terbentuk terdapat 2 program dan kegiatan dengan besar anggaran Rp. 415.250.000,00. Selanjutnya pada tahun 2001 dengan satu program yang mencakup tiga kegiatan dan dari segi dana mengalami peningkatan sebesar Rp. 660.000.000,00 (58,95%), Jika dibandingkan pada 2001, pada tahun 2002 hanya terdapat satu progam dengan kegiatannya tidak dijabarkan secara rinci, namun besarnya anggaran mengalami peningakatan menjadi Rp. 1.070.000.000,00 atau mengalami kenaikan sebesar 62,12%. Selanjutnya pada tahun 2003, dari aspek program dan kegiatan mengalami peningkatan yakni terdapat tiga program dan dijabarkan 14 kegiatan, namun dilihat dari sisi anggaran mengalami penurunan menjadi Rp. 724.800.000,00 atau mengalami penurunan sebesar -32,26% jika dibandingan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2004 terdapat tiga program dan dijabarkan dalam 13 kegitan dengan jumlah anggaran mengalami kenaikan sebesar 98,29% atau sebesar Rp. 1.437.225.000,00. Dengan demikian rata-rata kenaikan anggaran pembangunan Dinas Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Lembata selama lima tahun 37,42%. Jika dicermati dari total anggaran pembangunan seluruhnya maka alokasi dana untuk sektor ini masih terasa sangat kecil. Sebagai gambaran distribusi dan alokasi anggaran penunjang kegiatan Pembangunan Catur Program Kabupaten Lembata dapat dilihat pada tabel 4.16. Data tabel 4.16 menunjukkan bahwa alokasi dana untuk menunjang Program Pengembangan Ekonomi Rakyat pada tahun 2001 – 2004 secara berturut-turut mengalami peningkatan yakni 05,04%, 09,56%, 10,83% dan 12,32%. Suatu yang menggembirakan bahwa dari dana penunjang Catur Program tersebut sektor perikanan dan kelautan mendapat alokasi dana yang relatif cukup besar meskipun mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Dari tahun 2001 -2004 alokasi dana sektor perikanan yang diambil dari dana penunjang Catur Program Pengembangan Ekonomi Rakyat secara berturut-turut adalah 29,51%, 18,21%, 10,24% dan 17,91%. Angka ini terlihat cukup besar, namun jika dibandingkan dengan total anggaran dana penunjang Catur Program, maka sektor perikanan dan kelautan mengadobsi dana yang relatif masih sedikit yakni secara berturut dari tahun 2001 – 2004 adalah 01,49%, 01,74%, 01,11 dan 02,21%. Dengan demikian, maka perubahan dan kecepatan pertumbuhan pembangunan sektor perikanan dan kelautan masih sangat lambat.

Selain itu jika dicermati dari program dan kegiatan yang ada dari tahun ke tahun tampak banyak yang berorientasi pada proyek. Penekanan pada aspek pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir masih sangat kurang. Lebih lanjut program-program dan kegiatankegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan, rivitalisasi dan refungsionalisasi kearifan lokal, hukum adat tradisi dan budaya masyarakat pesisir dan nelayan dalam rangka penguatan kelembagaan lokal untuk memperkuat local governence hampir tidak mendapat perhatian sama sekali. Sementara di lain pihak keberadaan kelembagaan lokal berserta kearifan lokal, tradisi, dan hukum adat memiliki peranan yang sangat strategis dalam mengadobsi berbagai program-program dan kegiatan pembangunan.

4.9. Persepsi dan Aspirasi Masyarakat Tentang Kearifan Lokal 4.9.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Kearifan Lokal Persepsi masyarakat di lokasi sampel penelitian, terhadap nilai-nilai kearifan lokal, hukum adat, dan tradisi budaya sampai saat ini diakui masih sangat kuat. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dan melalui kegiatan wawancara mendalam baik secara individu maupun melalui wawancara dan diskusi kelompok terbatas diperoleh gambaran bahwa masyarakat pesisir sampai saat ini, masyarakat memandang bahwa nilai yang keraifan lokal terutama dalam kaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir merupakan bagian integral dan melekat dengan aktivitas kehidupan mereka.

Sistem nilai ini merupakan pranata yang dapat menuntun dan mengatur hubungan mereka dengan alam lingkungannya. Mereka memiliki pemahaman dan kepercayaan bahwa alam memiliki suatu kekuatan dan alamlah yang dapat memberi mereka rezeki serta keberuntungan. Dilain pihak mereka juga percaya bahwa pada kondisi tertentu, ketika penghuni alam ini, maksudnya manusia serakah dan bertindak dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut dan pesisir tidak sesuai dengan sistem nilai, hukum adat dan tradisi budaya yang dianut, maka alam akan bertindak sebaliknya yakni memberi sanksi dan hukuman kepada manusia.

Menurut sistem kepercayaan masyarakat setempat bentuk hukuman yang alam berikan kepada mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut dan pesisir yang tidak sesuai dengan kesepakatan adat dan tradisi masyarakat setempat, dapat berupa bencana alam, sakit yang tidak dapat diobati secara medis, kecelakaan baik di laut dan di darat (tenggelam, digigit ikan hiu, paus, ular atau jatuh dari pohon). Resiko dan hukuman alam ini dapat dialami secara fatal yakni menimbulkan kematian dan/atau hanya menimbulkan kecelakaan seperti luka, patah, hilang beberpa organ tubuh dan dapat juga menimbulkan kelumpuhan serta mempengaruhi gangguan kejiwaan (gila).

4.9.2. Aspirasi Masyarakat Terhadap Kearifan Lokal Masyarakat pesisir dan nelayan pada lokasi penelitian mempunyai aspirasi, gagasan, ide dan kehendak yang kuat untuk melestarikan, kearifan lokal, adat istiadat, dan hukum adat yang dimilikinya. Timbulnya aspirasi dan keinginan ini, dilandasi oleh adanya kesadaran masyarakat tentang nilai penting dan filosofi dasar kearifan lokal sebagai aspek penuntun moral dalam menata hubungan yang harmonis antara manusia dengan sumberdaya alam yang terdapat di sekitarnya. Mereka sangat menyadari bahwa nilai-nilai tersebut merupakan warisan leluhur yang perlu ditumbuh-kembangkan kembali agar menjadi penuntun moral dan pranata untuk mengatur masyarakat dalam menfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Kesadaran masyarakat dalam melestarikan kearifan lokal, adat istiadat dan hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, juga disebabkan oleh adanya kekewatiran akan pudarnya atau hilangnya nilai-nilai kearifan lokal. Fenomena lainnya adalah dewasa ini di mana-mana terjadi perilaku pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut cenderung bersifat destruktif dan tidak ramah lingkungan.

Selain itu masyarakat pada lokasi penelitian merasa pesimis dan meragukan implementasi hukum-hukum positip termasuk aparat penegak hukum. Respons masyarakat terhadap hukum-hukum positip yang ada dan berlaku sangat rendah. Hal ini disebabkan karena adanya kenyataan bahwa para pelaku pengursakan lingkungan yang ditangkap tidak jelas penyesaiannya dan tidak membuat jera terhadap para pelaku pengrusak lingkungan.

4.10. Peluang Pembedayaan Kearifan Lokal Kearifan lokal, tradisi dan hukum adat serta lembaga adat yang terdapat di Kabupaten Lembata memiliki peluang untuk dihidupkan dan ditumbuhkembangkan kembali sehingga dapat mengatur kehidupan dan menjadi pranata, norma dan aturan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Diakui oleh tokoh-tokoh kunci dan masyarakat di lokasi penelitian dan melalui informasi dari beberapa nara sumber dikatakan bahwa masyarakat memiliki kepatuhan dan ketaatan yang sangat tinggi terhadap nilai-nilai kearifan lokal, tradisi dan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut.

Cara pandang demikian memberi makna positip bagi penataan dan pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir. Adanya sistem nilai ini memberi kesadaran kepada lingkungan di sekitarnya. Mereka sadar sepehunya akan betapa pentingnya alam dapat menopang keberlanjutan kehidupan mereka, karena itu cara pandang masyarakat seperti ini hendaknya menjadi kekayaan (asset) budaya dan hukum adat yang paling bernilai dan bermanfaat sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen penting dalam memobilisasi kekuatan sosial untuk upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.

Dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut peranan lembaga adat berserta kearifan lokal, tradisi dan hukum adat memiliki peluang yang sangat strategis untuk dimanfaatkan dalam upaya pembinaan terhadap masyarakat pesisir dan nelayan. Aspek ini dapat dijadikan sebagai pintu masuk atau jembatan yang menghubukan antara program dan kegiatan pemerintah dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian apapun program yang direncanakan pemerintah diyakini akan dapat berjalan dengan cepat dan tepat sasaran sehingga memberikan dampak terhadap keberhasilan dan keberlanjutan program yang maksimal.

Dalam manajemen konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut aspek sosial budaya, tradisi dan kearifan lokal merupakan salah satu faktor pertimbangan yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa apa yang diprogramkan harus dapat diterima menjadi kebutuhan masyarakat setempat dengan tidak bertentangan dengan aspek sosial budaya yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Adanya rasa saling percaya, dan dengan kesungguhan hati, keiklasan semua komponen (stakeholders) yang terlibat serta adanya prinsip win-win solution, maka akan lebih memacu gerak langkah pembangunan perikanan dan kelautan. Dengan demikian masyarakat dan nelayan setempat dapat merasakan dan menikmati hasil usaha dan peran serta mereka. Lebih lanjut perubahan perilaku yang positif yang berkaitan dengan pengelolaan akan mampu bertahan dan menjadi dasar filosofi dalam membangun kehidupan bersama dengan makhluk lain secara serasi, selaras dan harmonis dengan lingkungan dalam satu komunitas ekologis.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah dikemukan pada bab terdahulu dan berdasarkan tujuan dari penelitian ini, maka dapat dikemukanan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

5.1.1. Potensi lestari perikanan tangkap di Kabupaten Lembata, Nusa Tengara Timur sampai tahun 2004 mencapai 12.813 ton/tahun. Sedangkan produksi penangkapan mengalami perkembangan kenaikan selama lima tahun, masing-masing untuk jenis ikan pelagis dengan rata-rata kenaikan 91,56% dan ikan demersal mengalami kenaikan rata-rata 40,92%. Dari potensi lestari dan produksi penangkapan tampak bahwa tingkat pemanfaatan selama lima tahun relatif masih kecil yakni hanya mencapai rata-rata tingkat pemanfaatan sebesar 19,88%. Hal ini dipengaruhi oleh faktor keterbatasan armada, alat penangkapan, kurang keterampilan terhadap teknologi penangkapan, dan dukungan dana.

5.1.2. Potensi budidaya perikanan yang terdapat di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur masih sangat tinggi dengan luas areal budidaya 886 Ha, yakni untuk budidaya ikan seluas 210 Ha, Rumput Laut 271 Ha, Teripang 170 Ha dan Kerang Mutiara seluas 235 Ha. Dari Luas 860 Ha tersebut persentase pemanfaatan baru mencapai 20,32% atau kurang lebih 180 Ha. Kondisi ini disebabkan oleh faktor keterbatasan sumberdaya manusia, keterampilan dan dukungan dana yang kurang memadai.

5.1.3. Pengolahan Pasca panen perikanan masih bersifat tradisional sehingga produk yang dihasilkan belum memenuhi syarat kualitas dan hygines. Hal disebabkan oleh faktor keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung pengolahan pasca panen baik mulai penanganan ikan di atas kapal maupun sampai ikan tersebut didaratkan dan diproses lebih lanjut. Keterbatasan lain adalah faktor keterampilan dan pengalaman nelayan serta belum adanya institusi atau lembaga pemantauan dan pembinaan terhadap kualitas produk pengolahan.

5.1.4. Kearifan Lokal yang terdapat di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (khusus pada lokasi penelitian) dan mempunyai hubungan yang erat dengan usaha dan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah Badu, Muro, Kolo Umen Bale Lamaq, Poan Kemer Puru Larang, Toto, Bito Berue, Lepa Nua Dewe, Bruhu Bito, Leffa Nuang. Tradisi dan kearifan tersebut memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

5.1.5. Pendekatan pemberdayaan kearifan lokal diharapan akan terjadi perubahan dasar perilaku sosial yang berkaitan dengan perilaku konservasi sumberdaya pesisir dan laut. Perubahan tersebut hanya dapat terlaksana apabila secara penuh didasarkan pada kesadaran, keiklasan dan kesungguhan semua pihak yang terlibat (stakeholders) dalam proses mobilisasi sosial. Perubahan perilaku dan struktur sosial tentu saja adalah nilai-nilai, norma-norma dan pranata-pranata yang menjadikan napas kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik dan bersifat permanen.

5.1.6. Program dan kegiatan serta alokasi dana pembangunan yang disusun lebih berorientasi pada bagaimana usaha untuk meningkatkan produksi penangkapan dan lebih bersifat proyek dan perencaaannya masih bersifat top down, kurang melibatkan masyarakat serta tidak bernuasa pemberdayaan nelayan sehingga perubahan peningkatkan produksi dan perilaku masyarakat nelayan terhadap aspek-aspek manajemen usaha belum membawa hasil yang maksimal.

5.1.7. Persepsi dan aspirasi lokal masyarakat pesisir dan nelayan di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur terhadap nilai-nilai kearifan lokal, tradisi adat dan hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir diakui masih sangat kuat dan masyarakat memiliki kepatuhan/ketaatan yang tinggi. Persepsi ini diwujudkan melalui berbagai upacara ritual pada sebelum dan sesudah melakukan usaha penangkapan maupun kegiatan budidaya, karena mereka menyadari bahwa eksistensi kehidupan mereka tidak terlepas dari eksistensi kehidupan makhluk lainnya dalam kebersamaan di bumi yang sama.

5.1.8. Peluang kearifan lokal, tradisi adat dan hukum adat merupakan pranata-pranata sosial budaya dan jaringan sosial yang dimiliki oleh masyarakat pesisir dan nelayan. Potensi ini sebagai modal sosial budaya (cultural capital) yang berharga yang memiliki peranan dalam memobilisasi perubahan perilaku sosial secara sadar dan keiklasan ke arah yang lebih baik dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir.

5.2. Saran-saran 5.2.1. Untuk lebih meningkatkan produski penangkapan dan tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Lembata, diperlukan fokus perencanaan yang tepat terhadap nelayan dengan status sebagai nelayan penuh sehingga sasaran program dan kegiatan proyek akan mencapai keberhasilan yang maksimal. Bagi nelayannelayan sambilan diperlukan peningkatan keterampilan tambahan melaui kegiatan pelatihan dan pemagangan baik menyangkut teknik penangkapan maupun aspekaspek manajemen pemasarana dan pengolahan pasca panen.

5.2.2. Untuk memanfaatkan potensi budidaya perikanan di Kabupaten Lembata yang masih sangat tinggi diperlukan perencanaan yang lebih menyentuh pada usaha peningkatkan keterampilan dan pengetahuan terhadap teknik-teknik budidaya melalui kegiatan pelatihan dan pemagangan serta studi banding di tempat-tempat yang sudah maju. Disamping itu dukungan dana dan aspek pemasaran hasil usaha budidaya perikanan harus dapat berpihak pada masyarakat nelayan bukan pada pengusaha.

5.2.3. Diperlukan program dan perencanaan untuk meningkatkan sarana dan prasarana pengolahan pasca panen perikanan karena hal ini dapat lebih memacu peluang usaha masyarakat nelayan. Dukungan dana dalam rangka peningkatan keterampilan dan pengalaman serta teknik-teknik pengolahan juga merupakan faktor yang menjadi perhatian.

5.2.4. Dalam merangkai implementasi kebijakan kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan, baik dalam usaha pemanfaatan maupun dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir di Kabupaten Lembata, perlu dipertimbangkan kekayaan kearifan lokal yang ada dan dilakukan identifikasi karakteristik sosial masyarakat pesisir secara cermat. Ini penting dilakukan dalam membentuk nilai dan sikap hidup serta peradaban sebagai dasar dan filosofi dalam membangun keserasian, keharmonisan antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, sehingga membawa hasil yang optimal.

5.2.5. Untuk itu dalam strategi pengelolaan, pengawasan sumberdaya pesisir dan pemberdayaan masyarakat diharapkan sedapat mungkin nilai kearifan lokal, tradisi/hukum adat beserta sistem kelembagaan yang ada, baik kelembagaan fisik berupa struktur masyarakat adat dan organisasi formal pemerintahan maupun lembaga swasta (dunia usaha dan LSM) maupun kelembagaan non fisik dalam bentuk perangkat aturan secara hirarkis Perda, Keputusan Bupati, Keputusan Camat, sampai Keputusan Desa hendaknya dapat mengakomodir dan memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup, bertumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

5.2.6. Diperlukan teknik, sistem dan mekanisme pengaturan tentang jenis-jenis maupun ukuran yang dapat ditangkap terutama jenis biota laut yang langkah dan dilindungi undang-undang maupun yang sementara matang telur dan jenis-jenis alat tangkap apa saja yang bole dipergunakan pada saat kegiatan pembukaan badu, sehingga tidak semua jenis maupun ukuran ikan dapat ditangkap dengan bebas. Gagasan ini hanya dapat terlaksana apabila adanya kesepakatan dan kesadaran bersama dalam masyarakat adat melalui sistem dan kelembagaan adat yang telah ada.

5.2.7. Melalui forum Musyawarah Masyarakat Adat, dan diintegrasikan dengan forum Musyawarah Masyarakat Desa, kiranya dapat dirumuskan secara secara jelas dan tegas bentuk sanksi-sangksi formal sesuai dengan berat ringannya pelanggaran. Sedangkan sanksi yang berkaitan dengan adat, tradisi larangan dikembalikan ke alam bersama penguasa alam dan ulayat.

Upacara buka badu ini hanya berlangsung sehari dalam setahun yang pada waktu pagi sampai petang menjelang malam. Ketika hari mulai senja dan menyongsong malam Kebelen Raya bersama Nama Watan dan pemerintah desa setempat harus melakukan acara larangan/penutupan (letu badu). Acara ditandai dengan penancapan sebuah kayu/tiang yang diikat dengan pucuk daun kelapa berwarnah putih.

Selama wilayah perairan badu ditutup, masyarakat nelayan desa ini tidak diperkenankan melakukan aktivitas penangkapan ikan dan sumberdaya lainnya di dalam wilayah larangan, mereka hanya diperkenankan menangkap di luar dari wilayah badu .

Kepatuhan dan ketaatan masyarakat terhadap sangat tinggi sesuai informasi dan penuturan masyarakat desa dan nara sumber. Tahapan-tahapan tersebut di atas harus dilakukan secara baik dan sampai kini masih terus dilakukan serta digunakan sebagai penuntun hidup dan kebersamaan mereka dengan alam lingkungan. Kuatnya nilai kearifan lokal ini sangat dipengaruhi oleh struktur kelembagaan adat di Kerajaan Lewu Kimakama di Watodiri seperti pada bagan struktur berikut.

Pembagian kerja dari struktur kekuasaan kelembagaan adat di atas adalah sebagai berikut: - Kebelen Raya; sebagai penguasa (Raja) yang memiliki peran sebagai penguasa dalam sistem pemerintahan adat baik di pegunungan (Lewu Werang) maupun di pantai (Lewu Leing) dan membawahi Beleng Lewhong. - Beleng Lewhong; memiliki peran semacam Perdana Menteri yang memimpin pemerintahan dalam praktek serta mengambil kebijaksanaan makro pemerintahan kampung (Lewotana) baik Lewu Werang maupun Lewu Leing. - Jaga/Niang; sebagai pelaksana teknis yang berada di bawah Beleng Lewhong, meliputi Jaga/Niang Nama Watan yang berperan sebagai penjaga/pelestari wilayah pesisir, dan Jaga/Niang Ile Wokal atau Onge Woi memiliki peran sebagai penjaga/pelestari wilayah pegunungan. - Unit fungsional dalam struktur dan kelembagaan adat ada 3 (tiga) yakni Atamukin yang memiliki fungsi kependetaan/imam dalam memimpin upacara persta syukuran, Beamimeng Beku Eweleng memiliki fungsi sebagai kemiliteran yang bertugas menjaga keamanan kampung dan mengusir gangguan musuh yang datang dari luar kampung dan lembaga fungsional yang ketiga adalah Ahu Kliki Manu Klewa yang memiliki fungsi sebagai dukun dan bertugas melindungi masyarakat dari berabagai wabah penyakit dan mengusir setan serta roh jahat/kekuatan gaib yang mengganggu warga kampung.

b. Desa Lamatokan

Desa Lamaton adalah salah satu desa pesisir di wilayah Kecamatan Ile Ape. Masyarakat di wilayah ini juga memiliki pranata dan aturan adat yang bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat di wilayah desa ini berasal dari Suku Kedang, dan dalam kehidupan sehari-hari mereka menyadari akan betapa pentinnya sumberdaya laut dan pesisir demi menopang kehidupan mereka. Dengan adanya kesadaran tersebut dan semakin meningkatnya kerusakan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan luar dan melintasi disekitar wilayah perairan tersebut maka mereka menetapkan daerah larangan dan masyarakat tidak boleh mengambil hasil-hasil laut yang terdapat di dalamnya. Tradisi larangan yang terdapat di Desa Lamatokan dikenal dengan nama ”Muro”. Tradisi ini masih berlaku sampai sekarang dan masyarakat memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap larangan tersebut. Larangan ini disertai dengan sanksi dan denda yang disepakati baik secara adat maupun melalui Peraturan Desa. Bentuk sanksi yang disepakati adalah berupa uang tunai sebesar satu juta rupiah dan kambing jantan dan babi besar seharga satu juta masing-masing satu ekor.

Semua hasil kesepakatan adat dan bentuk-bentuk sanksi yang telah disetujui oleh Tuan Tanah (Lewotana Alaweng) harus disosialisasi melalui pengumuman kepada masyarakat luas untuk diketahui dan dilaksanakan. Tugas ini biasanya dilakukan oleh pembantu Lewotana Alaweng yang dalam bahasa setempat ”Taran mekin taran wanan”. Disamping itu perangkat pemerintahan desa setempat juga turut memberikan sosialisasi kepada masyarakat baik para nelayan maupun non nelayan. Menurut pengakuan tokoh-tokoh kunci dan masyarakat nelayan setempat bahwa dengan adanya sanksi tersebut cukup efektif dan membuat jera tindakan nelayan yang biasanya melakukan merusak sumberdaya alam pesisir dan laut. Perilaku dan peradaban masyarakat seperti di atas ternyata memberi makna positif bagi upaya konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut.

Oleh karena itu sebelum melakukan usaha penangkapan ikan, budidaya maupun melakukan larangan selalu didahului dengan upacara ritual. Masyarakat nelayan di Desa Lamatokan sebelum melepas pukat, sampan dan yang perahu baru, maupun usaha budidaya rumput laut dan keramba jaring apung Balawaheng (pemimpin upacara) melakukan upacara ritual untuk memberi makan kepada arwah nenek moyang (leluhur) yang dalam sebutan mereka dikenal dengan nama ”Pau boe ama opo koda kewoka” dengan harapan semoga usaha mereka dapat membawa hasil yang banyak dan selalui dijauhi dari aral dan rintangan serta bahaya yang mengancam kehidupan dan usaha mereka. Acara ini harus dihadiri dan mendapat restu dari Tuan Tanah atau Tua Adat yang dalam sebutan masyarakat setempat adalah Lewotana Alaweng.

Setelah mendapat restu dari Lewotana Alaweng, pemimpin upacara ritual (Balawaheng) bersama pemilik pukat, sampan, dan perahu menuju ke Maung (semacam mesbah) yang terdapat di pantai untuk selanjutnya dilaksanakan acara ritual.

c. Desa Dulitukan Badu merupakan istilah yang digunakan untuk menangkap ikan tembang yang dalam bahasa setempat disebut ”kete” dan dilakukan secara masal oleh masyarakat empat desa (Tagawiti, Dulitukan, Kolipadan dan Palilolon) di hamparan Tanjung Bahagia Kecamatan Ile Ape. Tempat penangkapan ini berada pada sebuah teluk yang panjangnya kurang lebih 400 meter dari peraian laut Nereng dengan lebar sekitar 20 meter. Di sekitar teluk ini terdapat hamparan pohon bakau (mangrove) yang cukup lebat. Teluk Nereng ini berada di hamparan Tanjung Bahagia dan berhadapan dengan kota Lewoleba ibukota Kabupaten Lembata.

Waktu penangkapan ikan ini hanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu sekitar bulan Agustus sampai Oktober pada saat air surut dan biasanya terjadi pada siang hari. Tradisi ini berlangsung semenjak nenek moyang keempat desa ini berada di wilayah ini. Sebelum kegiatan badu dibuka untuk masyarakat umum, pemimpin adat (Kebelen Raya) dan penjaga pantai (Nama Watan) terlebih dahulu melakukan suatu upacara adat (ritual) yang bermakna meminta izin kepada penghuni laut dan roh-roh nenek moyang yang meninggal di laut dengan maksud supaya hasil tangkapan mereka berlimpah. Kegiatan ritual biasanya dilakukan di pinggir pantai di sekitar tempat penangkapan.


Peralatan yang dipakai untuk menangkap ikan ini adalah jalah dan jenis peralatan tradisional yang disebut pewai . Peralatan jala pada waktu itu hanya dimiliki 4 – 5 orang saja, sedangkan yang lainnya hanya memiliki peralatan taradisional pewai. Dengan peralatan yang dimiliki mereka dapat menangkap hasil yang banyak. Kegiatan ini dimaksudkan agar masyarakat di wilayah keempat desa ini tidak menggunakan hasil-hasil laut secara leluasa dan mereka juga menyadari dengan cara ini sumberdaya pesisir dan laut dapat dijaga dan dilestarikan sehingga ketika musim buka badu tahun berikutnya dapat memberikan hasil yang lebih banyak lagi. Namun demikian tardisi ini yang baik dan memiliki makna konservasi ini sudah melai berangsur pudar dan bahkan ketika peneliti melakukan observasi dan wawancara kepada masyarakat dan pemimpin di wilayah diperoleh informasi bahwa tradisi badu sudah tidak lagi dilaksanakan oleh masyarakat setempat pada puluhan tahun terakhir. Disampaikan pula bahwa tidak dilaksanakan tradisi ini disebabkan oleh pertama, kurangnya sistem penguatan kelembagaan adat dan pewarisan kepada generasi berikutnya dalam melaksanakan upacara badu. Kedua, arus masuk dan keluarnya kapal-kapal yang melintasi wilayah perairan Teluk Nereng yang semakin ramai karena berhadapan langsung dengan kota Lewoleba.

Ketiga, akhir-akhir ini terdapat semakin maraknya para nelayan yang melakukan cara penangkapan ikan dengan mengunakan bom dan racun lainnya.

4.8. Pembangunan Perikanan dan Pemberdayaan Kearifan Lokal Pembangunan Perikanan di Kabupaten Lembata, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan terbentuknya Kabupaten Lembata pada tahun 2000, pemerintah daerah dengan melalui keterbatasan sumberdaya manusia maupun dana, telah berusaha secara perlahan-lahan memberikan fokus perhatian terhadap pembangunan sektor ini. Pemerintah Kabupaten Lembata sangat menyadari akan keberadaan potensi sumberdaya laut yang cukup besar, maka arah dan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan tetap menjadi perhatian dari tahun ke tahun, meskipun program pengembangan dan kegiatan pembangunan perikanan serta dukungan dana diakui masih sangat kecil dari tahun ke tahun, jika dibandingkan dengan jumlah anggaran pembangunan seluruh Kabupaten Lembata maupun sektor lainnya.

Namun demikian komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata terhadap pembangunan sektor ini tetap menjadi perhatian serius. Komitmen tersebut dapat ditunjukkan melalui berbagai program dan kegiatan serta alokasi anggaran yang disetujui untuk pembangunan perikanan dan kelautan selama 5 tahun seperti yang tercantum dalam tabel 4.15 berikut.

Dalam aspek pemberdayaan masyarakat, kearifan lokal, sistem kepercayaan masyarakat, pengetahuan-pengetahuan tradisional, hukum adat yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan tampak belum menjadi perhatian yang serius. Jika dicermati dari program dan kegiatan yang ada dari tahun ke tahun tampak banyak yang berorientasi pada proyek. Penekanan program dan kegiatan pada aspek pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir masih sangat kurang. Lebih lanjut program-program dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan, rivitalisasi dan refungsionalisasi kearifan lokal, hukum adat tradisi dan budaya masyarakat pesisir dan nelayan dalam rangka penguatan kelembagaan lokal untuk memperkuat local governence hampir tidak mendapat perhatian sama sekali. Sementara di lain pihak, keberadaan kelembagaan lokal berserta kearifan lokal, tradisi, dan hukum adat, diakui memiliki peranan yang sangat strategis dalam mengadobsi berbagai program-program dan kegiatan pembangunan.

Data pada tabel 4.15 menunjukkan bahwa dari aspek program dan kegiatan maupun anggaran setiap tahun mengalami perubahan. Pada tahun 2000 ketika Kabupaten ini mulai terbentuk terdapat 2 program dan kegiatan dengan besar anggaran Rp. 415.250.000,00. Selanjutnya pada tahun 2001 dengan satu program yang mencakup tiga kegiatan dan dari segi dana mengalami peningkatan sebesar Rp. 660.000.000,00 (58,95%), Jika dibandingkan pada 2001, pada tahun 2002 hanya terdapat satu progam dengan kegiatannya tidak dijabarkan secara rinci, namun besarnya anggaran mengalami peningakatan menjadi Rp. 1.070.000.000,00 atau mengalami kenaikan sebesar 62,12%. Selanjutnya pada tahun 2003, dari aspek program dan kegiatan mengalami peningkatan yakni terdapat tiga program dan dijabarkan 14 kegiatan, namun dilihat dari sisi anggaran mengalami penurunan menjadi Rp. 724.800.000,00 atau mengalami penurunan sebesar -32,26% jika dibandingan pada tahun sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, S,. 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat, MSDP, UNDIP, Semarang.

Anggoro, S,. 2004, Metode Solusi Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Laut, MSDP, UNDIP, Semarang.

Anggoro, S,. 2004, Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah, MSDP, UNDIP, Semarang.

Afiati, N., 1999. Aspek Hayati Teknik Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Pesisir, Bapedalda, Semarang

Arikunto, S., Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Ed. V, Rineka Cipta, Yogjakarta.

Ataupah, 2004, Peluang Pemberdayaan Keraifan Lokal Dalam Pembangunan Kehutanan, Kupang.

Budiharsono, S., 2001, Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan, Pn. Pradnya Paramita, Jakarta.

Budiati, L., 2000, Manajemen Partisipatif Dalam Pengelolaan Lingkungan, Studi Kasus Pengelolaan Sungai Babon, UNDIP, Semarang.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional , 2001, Pedoman Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir Indonesia, Biro Kelautanan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 2004, Lembata Dalam Angka 2003, Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lembata.  

Bappeda, 2001, Data Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Lembata, Kerjasama Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Lembata.

Clark, J., Coastal Ecosystems Ecological Considerations for Management of the Coastal Zone, Department the Conservation Foundation  Masschu setts Avenue, N. W. Washington, D.C.

Dahuri, R., 1996, Ekosistem Pesisir, Makalah/Materi Kuliah, IPB, Bogor

----------., 1999, Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat, LiSPI berkerjasama dengan Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP, Jakarta.

 -------,. Et. al., 2001, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pn. Pradnya Paramita, Jakarta.

-------., 2000, Pengembangan dan Pembinaan Masyarakat Pesisir, LISPI, Jakarta.

 -------., 2001, Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia, LIPSI, Jakarta.

-------., 2001, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

 ---------.,2003, Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Perikanan dan Kelautahn, 2003, Modul Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terpadu, Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003, Strategi Nasional Implementasi (Code of Conduct for Responsible Fisheries), Direktorat Jendral Kelembagaan Internasional, Direktorat Jendral Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002, Pengkajian Sumberdaya Perikanan Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Balai Peneltian Perikanan Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata.

Danim S., 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung.

Ghofar, A., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Cipayung-Bogor.

Hidayat M. M., dan Surochiem As.,…, Pokok-pokok Strategi Pengembangan Masyarakat Pantai Dalam Mendorong Kemandirian Daerah, http://www.hangtuah.ac.id/Barudepan/ Humas/artikel.htm

Irianto, H., 2002, Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir (Studi Kasus Pemanfaatan dan Konfigurasi Ruang Kecamatan Bonang Kabupaten Demak Propopinsi Jawa Tengah), UNDIP, Semarang.

Ikawati, Y., et.al., 2000, Terumbu Karang di Indonesia, Pn. Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Jakarta.

Keraf, S. A., 2002, Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta.

Kusnadi, 2003, Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS, Yogjakarta

Kusnadi, 2002, Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan, LkiS, Yogjakarta.

Kotan, J., et.al., 2003, Revitalisasi dan Refungsionalisasi Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Terumbu Karang dan Mangrove di Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Bappeda dengan Universitas Nusa Cendana.

Koentjaraningrat, 1997, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Ed. III, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Latama, Gunarto, dkk., 2002, Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat, http://rudyct.tripod.com/sem1_023/group2_123.htm.

Nababan, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan dan Peluang, http://dte.gn.org.../makalah_ttg_psda_ berb-ma_di_pplh ipb.htm.

Nai, P., 2002, Pengelolaan Kawasan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat; Sebuah Catatan Pengalaman, Kupang.

Mikkelsen B., 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan, Sebuah Buku Pegangan Bagi Praktisi Lapangan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Mbete, A. Aro, 2005, Selayang Pandang Metode Penelitian Kualitatif, Unika Widya Mandira, 2005

Magister Manajemen Sumberdaya Pantai, 2001, Buku Pedoman Penyusunan Tesis, Pascasarjana, UNDIP, Semarang.

Purwanto, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Romimohtarto, K., dan Juwana S., 2001, Biologi Laut; Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut, Pn. Djambatan, Jakarta.

Supriharyono, 2000, Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Pn. Djambatan, Jakarta.

Suyanto, B., 1996, Kemiskinan dan Kebijakan Pembanguan; Kumpulan Hasil Penelitian, Aditya Media, Yogjakarta.

Satria, A., 2002, Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Pesisir, Kendari.

Soekamto, S., 2002, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Prasada, Jakarata  

Tohir M., 2002, Penelitian Sosial Budaya dari Memahami ke Melakukan dan Menuliskan, UNDP, Semarang.

Wahyono, A., 2001, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo, Yogjakarta.



Undang-Undang Negara RI Nomor 32 tentang Perikanan dan Kelautan, Tahun 2004