Rabu, 11 Februari 2015

Sejarah Singkat Novel dan Cerpen Indoinesia

1) Sejarah singkat Novel Indonesia


a) Masa Awal Novel Indonesia (1870-1900)


Masa ini didorong oleh kebutuhan menyediakan bahan bacaan bagi pribumi, Indo-Belanda, dan orang-orang Asia Timur lainnya. Apalagi setelah munculnya cultur stelsel (1856).

Masa ini ditandai dengan munculnya novel tertua Lawah-lawah Merah, karya Saduran yang ditulis E.F. Wiggers. Pada tahun 1896 terbit sebuah novel Hikayat Nyai Dasima, karya G. Francis. Pada masa ini penerbitan didominasi oleh terjemahan karya-karya Julius Verne dan Alexander Dumas.

b) Masa Novel Melayu Rendah (1900-1950)

Masa ini terdiri atas beberapa masa. Pertama, masa Lim Kim Hok (1884-1910). la menulis Syair Siti Akbari (1884). Sementara itu, pengarang yang semasa dengannya Oei Soei Tiong menulis Nyai Alimah (1904).

Kedua, masa perkembangan (1911-1923). Masa ini ditandai keberagaman tema novel yang ditulis. Pengarang yang menonjol pada masa ini ada dua orang. Gow Peng Liang menulis Lo Fen Koei (1903), Thio Tjin Boen menulis Oey Se (1903), dan Nyai Soemirah (1917).
Ketiga, masa cerita bulanan (1924-1945). Pada masa ini novel terbit setiap bulan. Pengarang yang menonjol pada masa ini adalah Kwee Tek Hoay. Ia menulis Boenga Roos dari Tjikembang (1927).
Keempat, Masa akhir (1945-1960-an). Masa ini ditandai dengan cerita bersambung dalam majalah Star Weekly.

Perlu dicatat kemunculan dua pengarang berhaluan sosialis. Pertama, Mas Marco Kantodikromo menulis Mata Gelap (1914), Student Hidjo (1919), Si Bedjo Jurnalis Berontak (1919), R.A. Tien (1919), dan Rasa Merdeka (1924). Kedua, Semaun antara lain menulis Hikayat Kadiroen (1922).


c) Masa Novel Balai Pustaka (1920-1950)


Pada awalnya Balai Pustaka (22 September 1917) bernama Komisi Bacaan Rakyat dan Pendidikan Pribumi (14 September 1908). Lembaga itu didirikan karena dua sebab. Pertama, berkembangnya bahasa Melayu Pasar atau Melayu Rendah. Kedua, tersebarnya `faham' yang membahayakan pemerintah jajahan melalui pers dan novel-novel Melayu Rendah.

Novel yang diterbitkan Balai Pustaka pertama kali justru novel berbahasa Sunda yaitu Baruang Ka Nu Ngarora, DK. Adriwinata (1914). Novel berbahasa Indonesia yang pertama yaitu Azab dan Sengsara.
Pada masa ini pengarang Sumatera begitu dominan. Baru pada dasawarsa 1930-an muncul pengarang-pengarang dari daerah lain seperti I. Gusti Nyoman Pandji Tisna, M.R. Dayoh, dan lain-lain. Sekalipun demikian Raja Balai Pustaka, Nur Sutan Iskandar masih terus menulis sampai tahun 1945-an


d) Masa Peralihan (1930-1945)


Masa ini dikenal sebagai masa Pujangga Baru (1933). Gerakan intelektual yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah, selain menerbitkan majalah kebudayaan, juga menerbitkan novel. Novel Belenggu (1940), Armijn Pane dan Layar Terkembang (1936), Sutan Takdir Alisjahbana diterbitkan Pujangga Baru dan berbeda dengan novel-novel Balai Pustaka (kecuali Salah Asuhan).
Pada masa peralihan ini terbit pula Palawija, Karim Halim sebagai propaganda perang Jepang. Namun, pada masa inipun berkembang pula "Sastra Bawah Tanah" yang bersifat nasionalisme. Mereka melanjutkan apa yang dirintis Pujangga Baru. Mereka itu antara lain Chairil Anwar, Usman Ismail, dan Idrus.


e) Masa Setelah Kemerdekaan (1945-1955)


Pengarang-pengarang yang produktif masa ini setidaknya ada empat orang. Pertama, Achdiat Kartamihardja menulis Atheis (1948). Kedua Mochtar Lubis menulis Tak Ada Esok (1951), Jalan Tak Ada Ujung (1952). Ketiga, Pramudya Ananta Toer menulis Perburuan, Keluarga Gerilya, dan Di Tepi Kali Bekasi
(1950), Mereka yang Dilumpuhkan (1951/1952). Keempat, ldrus menulis Perempuan dan Kebangsaan (1950), juga novelet Aki (1950).

Karya-karya tersebut berkisar tentang masa penjajahan Jepang atau masa revolusi. Para pengarang ini juga menulis pada masa berikutnya.


f) Masa Mutakhir (1955-Sekarang)


Masa mutakhir baru mulai tahun 1970-an, terutama setelah terbitnya majalah Horison (1966). Majalah tersebut menjadi ajang eksperimen bagi banyak pengarang.
1970-an lahirlah novel- novel Putu Wijaya dan Iwan Simatupang. Budi Darma menulis 1980-an. Novel-novel pada masa ini memiliki ciri mencolok dengan munculnya idiom-idiom nonkonvensional. Novel-novel tersebut memang tidak harus "mirip" dengan kenyataan historis. Tradisi ini sebenarnya telah dirintis oleh Armijn Pane dalam Belenggu.


2) Sejarah Singkat Cerpen Indonesia

Perkembangan cerpen Indonesia terbagi atas beberapa dekade berikut.

a) Dekade 30-an, yaitu masa awa1 pertumbuhan cerpen yang dimulai pertengahan tahun 30-an sampai dengan tahun 40-an, para pengarangnya antara lain Muhammad Kasim, Suman HS, Armijn Pane, dan Idrus.

b) Dekade 40-an, meliputi masa 1945 sampai dengan 1955. Para penulis pada masa ini antara lain Pramudya Ananta Toer, Achdiat Kartamihardja, Moehtar Lubis, Trisno Sumardjo, dan Asrul Sani.

c) Dekade 50-an, meliputi penulis Kisah dan Sastra. Para penulis pada masa ini antara lain Nugroho Notosusanto, Soebagio Sastrowardoyo, Riyono Pratikno, N.H. Dini, Trisnoyuwono, Ajip Rosidi, Bur Rasuanto, Alex Leo, A.A. Navis, S.M. Ardan, Djamil Suherman, dan Motinggo Busye.

d) Dekade 60-an, yaitu mereka yang menulis sejak Horison (1966-an) terbit hingga sekarang. Para penulis itu antara lain Wildan Yatim, Umar Kayam, Budi Darma, Putu Wijaya, dan Danarto. Tentu saja lahir kemudian generasi selanjutnya seperti Seno Gumira Ajidarma, dkk yang menulis pada tahun 1980-1990-an.

Penting juga dikemukakan orientasi cerita pendek Indonesia. Orientasi tersebut sebagai berikut.
a) Orientasi cerita rakyat, dipelopori oleh Muhammad Kasim dan Suman HS.
b) Orientasi sosial zamannya, dipelopori oleh Hamka dan Idrus.
c) Orientasi ide kedalaman, dipelopori oleh Armijn Pane.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar